
PBB: Sapi & Kedelai Lebih Mengkhawatirkan Ketimbang Sawit
Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
26 April 2018 17:09

Nusa Dua, CNBC Indonesia - Belakangan ini, industri kelapa sawit menerima sorotan dari berbagai pihak karena dianggap merusak hutan dan mencemari lingkungan.
Namun, United Nation Development Program (UNDP) yang merupakan bagian dari PBB mengatakan masih ada komoditas lain yang lebih merusak lingkungan daripada kelapa sawit.
"Sejujurnya, ada diskusi besar tentang kedelai, khususnya di Amerika Latin, yang dituding sebagai penggerak polusi. Daging sapi juga [menyebabkan] deforestasi yang sangat besar saat memperluas produksinya karena membutuhkan satu hektar per satu ekor sapi," kata Pascale Bonzom, Global Project Manager for Good Growth Partnership UNDP yang fokus di Indonesia, Brazil, Liberia dan Paraguay, hari Kamis (26/4/2018).
Bonzom mengungkapkan gagasan itu ketika berbincang dengan para jurnalis di sela-sela acara International Conference on Oil Palm and Environtment (ICOPE) yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali.
Hal tersebut disebabkan oleh kepercayaan dan kebiasaan masyarakat yang masih menganggap cara tradisional sebagai solusi terbaik untuk menciptakan kualitas dan rasa paling enak.
"Laju deforestasi yang disebabkan oleh daging sapi itu terbesar dan tercepat di dunia," tambahnya.
Meskipun begitu, belum ada tuntutan bagi para pengusaha daging sapi maupun kedelai untuk membuat sertifikasi produknya sebagai hasil pertanian berkelanjutan. Tapi, Tuntutan itu justru dihadapi para pengusaha kelapa sawit, baik yang berskala besar maupun kecil.
Bonzom menjelaskan hal itu disebabkan oleh permintaan pasar kelapa sawit yang jumlahnya lebih besar jika dibandingkan dengan kedelai dan daging sapi.
"Kelapa sawit lebih menuntut sertifikasi karena permintaan daging sapi dan kedelai tidak terlalu tinggi, alhasil kesadaran [tentang industri berkelanjutan] pun tidak terlalu tinggi," katanya.
Ia juga mengatakan permintaan itu masih akan terus meningkat walaupun terdapat ancaman pelarangan penggunaan produk minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dari Uni Eropa.
"Saya rasa permintaan tidak akan berkurang karena permintaan dari China dan Afrika terus tumbuh. Apa yang terjadi di Uni Eropa memang menjadi perhatian untuk Indonesia, Malaysia dan Kolumbia. Namun, kita harus lebih mengkhawatirkan jika pasar ini mulai mempengaruhi pasar dengan permintaan yang berkelanjutan," ucap Bonzom.
(ray/ray) Next Article Untuk Roti Sampai BBM, Ini Jenis CPO yang Diekspor RI ke UE
Namun, United Nation Development Program (UNDP) yang merupakan bagian dari PBB mengatakan masih ada komoditas lain yang lebih merusak lingkungan daripada kelapa sawit.
"Sejujurnya, ada diskusi besar tentang kedelai, khususnya di Amerika Latin, yang dituding sebagai penggerak polusi. Daging sapi juga [menyebabkan] deforestasi yang sangat besar saat memperluas produksinya karena membutuhkan satu hektar per satu ekor sapi," kata Pascale Bonzom, Global Project Manager for Good Growth Partnership UNDP yang fokus di Indonesia, Brazil, Liberia dan Paraguay, hari Kamis (26/4/2018).
Hal tersebut disebabkan oleh kepercayaan dan kebiasaan masyarakat yang masih menganggap cara tradisional sebagai solusi terbaik untuk menciptakan kualitas dan rasa paling enak.
"Laju deforestasi yang disebabkan oleh daging sapi itu terbesar dan tercepat di dunia," tambahnya.
Meskipun begitu, belum ada tuntutan bagi para pengusaha daging sapi maupun kedelai untuk membuat sertifikasi produknya sebagai hasil pertanian berkelanjutan. Tapi, Tuntutan itu justru dihadapi para pengusaha kelapa sawit, baik yang berskala besar maupun kecil.
Bonzom menjelaskan hal itu disebabkan oleh permintaan pasar kelapa sawit yang jumlahnya lebih besar jika dibandingkan dengan kedelai dan daging sapi.
"Kelapa sawit lebih menuntut sertifikasi karena permintaan daging sapi dan kedelai tidak terlalu tinggi, alhasil kesadaran [tentang industri berkelanjutan] pun tidak terlalu tinggi," katanya.
Ia juga mengatakan permintaan itu masih akan terus meningkat walaupun terdapat ancaman pelarangan penggunaan produk minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dari Uni Eropa.
"Saya rasa permintaan tidak akan berkurang karena permintaan dari China dan Afrika terus tumbuh. Apa yang terjadi di Uni Eropa memang menjadi perhatian untuk Indonesia, Malaysia dan Kolumbia. Namun, kita harus lebih mengkhawatirkan jika pasar ini mulai mempengaruhi pasar dengan permintaan yang berkelanjutan," ucap Bonzom.
(ray/ray) Next Article Untuk Roti Sampai BBM, Ini Jenis CPO yang Diekspor RI ke UE
Tags
Related Articles
Recommendation


Potret Detik-Detik Tsunami 4 Meter Hantam Rusia Usai Gempa M 8,7

Waspada Tsunami 10 Wilayah RI Usai Gempa Rusia, Ini Estimasi Waktunya

Serangan Harimau Teror Warga Jakarta, 800 Orang Pemburu Turun Tangan

Usai Rojali-Rohana, RI Siap-Siap "Diserbu" Robeli

Terungkap Penghasilan Ojol Sebulan Kerja 6 Jam/Hari, Ternyata Segini

Kesenggol Danantara, 7 Saham Ini Langsung Ngamuk!

Sri Mulyani Bocorkan 2 Sektor Usaha Paling Untung dari Tarif AS 19%

PPATK Blokir Rekening Nganggur atau Dormant, Ini Aturan dari Bank
Most Popular