Maslahat Listrik 35 Ribu Megawatt

Gustidha Budiartie, CNBC Indonesia
25 April 2018 11:13
Maslahat Listrik 35 Ribu Megawatt
Foto: Istimewa/Warta PLN/pln.co.id
Benarkah program listrik 35.000 megawatt (MW) tidak realistis dan tidak dibutuhkan?

Jakarta, CNBC Indonesia- Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui bahwa akses terhadap listrik adalah kunci untuk mengurangi kemiskinan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat di suatu kawasan.

Ini bukan hanya berlaku di Indonesia, tapi juga di seluruh belahan dunia. Tercantum jelas dalam inisiatif global Sustainable Energy For All pada September 2011 yang memasukkan akses universal untuk layanan energi modern sebagai salah satu komitmen yang harus dipenuhi oleh setiap negara.

Komitmen ini kemudian diadopsi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan masuk sebagai salah satu 17 program Sustainable Development Goals. Untuk pembangunan yang berkelanjutan (sustainable), listrik dan pelayanan energi modern lainnya harus bisa dinikmati oleh semua penduduk di dunia pada 2030.

Kondisi kelistrikan Indonesia saat ini bisa dibilang sudah maju pesat ketimbang satu dasawarsa lalu. Tahun 2007 rasio elektrifikasi Indonesia masih berada di angka 63,3%, artinya ada 36,7% dari 240 juta penduduk Indonesia yang belum bisa mengakses listrik.

Maslahat Listrik 35 Ribu Megawatt


Setiap tahun, rasio ini digenjot oleh pemerintah, hingga akhirnya bisa mencapai 95% di akhir 2017 lalu. Selisih lebih dari 30% yang dikejar dalam 10 tahun itu bukan dicapai tanpa susah payah.

Langkah mengejar rasio elektrifikasi atau tingkat aksesibilitas listrik di masyarakat ini sudah dilakukan sejak Juli 2006 ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerbitkan Perpres Nomor 71 Tahun 2006 yang memerintahkan PLN melakukan percepatan pembangunan pembangkit listrik sebanyak 10 ribu Megawatt (MW) dalam 5 tahun.

Program ini dikenal kemudian dengan nama FTP I. FTP 1 saat itu digagas karena terjadinya defisit listrik di beberapa wilayah di Indonesia. Sumatera contohnya, yang bisa terkena pemadaman berhari hari akibat defisit listrik hingga 330 MW saat itu.

Belum lagi proyeksi akan terjadinya krisis di Pulau Jawa pada 2018 yang rata-rata rasio elektrifikasinya baru di kisaran 85%. Proyeksi inilah yang kemudian menyebabkan proyek FTP 1 memfokuskan pembangunan 35 PLTU batu bara di Jawa.

Progress tahap I berjalan lambat, namun pertumbuhan ekonomi dan penduduk kian melonjak membuat pemerintah menggagas kembali percepatan proyek listrik yang dikenal FTP II. Melalui Permen ESDM Nomor 15 Tahun 2010, proyek 10 ribu Megawatt yang kedua pun diresmikan. Kali ini dengan sedikit perbaikan di porsi bauran energi, jika di FTP I seluruhnya mengandalkan batu bara, FTP II mulai memasukkan pembangkit berbahan bakar gas, hidro, dan panas bumi.

Dua proyek ini kurang berakhir ciamik, hingga 2014 diketahui masih menyisakan 7.000 MW pembangkit yang belum dibangun. Ini belum ditambah dengan adanya beberapa pembangkit dari program percepatan yang mengalami kerusakan dan tak berfungsi sesuai harapan.

Pembangunan yang meleset dari target ditambah pembangkit yang tak berfungsi kemudian membuat konsumsi BBM untuk pembangkit pun meningkat di periode 2012-2013. Untuk menyalakan listrik, negara terpaksa membakar minyak jenis HSD dan MFO hingga 55 juta barel setara minyak (BOE).

Inilah kondisi yang terjadi hingga 2014, hingga akhirnya pemerintah merancang kebutuhan energi dengan asumsi-asumsi ekonomi yang dipatok pada saat itu. Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksi pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 8% pada 2020 dengan laju pertumbuhan penduduk 1,3% per tahun.

Dengan angka itu, kebutuhan listrik diperkirakan bisa mencapai 5.000 MW per tahun, sementara kemampuan PLN hanya bisa menyediakan sebanyak 4.000 MW. Artinya jika tidak dikebut, setiap tahun Indonesia kekurangan listrik 1.000 MW.

Defisit listrik, asumsi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pembangkit yang malfungsi, laju pertumbuhan penduduk, konsumsi BBM untuk pembangkit yang masih besar, segala hal inilah yang akhirnya mendorong Presiden Joko Widodo mencetuskan program 35.000 MW pada Mei 2015.

Keputusan yang wajar jika melihat kondisi kelistrikan yang terjadi saat itu. Segala upaya dilakukan pemerintah untuk mengentaskan kekhawatiran defisit listrik di masa depan. Mulai dari penerbitan aturan untuk pembebasan lahan yang kerap jadi hambatan, kebijakan revaluasi aset dan skema pendanaan, serta membuka kesempatan lebih banyak untuk swasta berpartisipasi membangun pembangkit.

Soal daerah yang defisit listrik, solusi sementaranya adalah menyewa kapal pembangkit MVPP untuk mengaliri setrum ke daerah tersebut, sambil menunggu rampungnya pembangunan pembangkit. Kondisi pun mulai membaik, dari puluhan daerah yang berstatus siaga dan belasa yang berstatus defisit per 2016 tersisa 14 wilayah yang siaga listrik dan 5 wilayah yang defisit.

Dari rasio elektrifikasi 85% di 2015 menjadi 95% di 2017, dan akhirnya tak ada lagi wilayah di Indonesia yang masuk kategori defisit listrik. Kondisi berubah lagi dengan melambatnya laju pertumbuhan ekonomi dari semula 6% setahun jadi di rata-rata 5% per tahun. Ini membuat proyeksi kebutuhan dan konsumsi listrik berubah.

[Gambar:Video CNBC]
Lantas, dengan kondisi seperti ini apakah proyek 35.000 MW sudah tidak penting lagi? Jika bicara angka, ekonomi Indonesia tetap tercatat tumbuh meski dengan laju yang lebih lambat. Setiap pertumbuhan ekonomi sebesar 1%, perlu tambahan pasokan listrik sebesar 1,5% per tahun.

Meski rasio elektrifikasi sudah tinggi, yakni mencapai 95%, dan kapasitas listrik terpasang sudah mencapai 60 GW, konsumsi listrik per kapita Indonesia terhitung masih rendah jika dibagi dengan 260 juta penduduk Indonesia.  Konsumsi listrik per kapita Indonesia (berdasarkan data per 2014) merupakan salah satu yang terendah di Asia, yakni 811,90 KwH per Kapita. Dibanding negara-negara ASEAN saja, konsumsi per kapita Indonesia berada di urutan ke-6 di bawah Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. 

Maslahat Listrik 35 Ribu Megawatt
Sumber: World Bank, diolah oleh Tim Riset CNBC Indonesia

Dibandingkan dengan negara-negara lainnya di Asia, seperti China (3.927,04 KwH/kapita), Jepang (7.819,71 KwH/kapita), Korea Selatan (10.496,51 KwH/kapita), Arab Saudi (9.444,22 KwH/kapita), dan Hong Kong (6.083 KwH/kapita), Indonesia juga masih tertinggal jauh. 

Konsumsi listrik per kapita Indonesia yang di kisaran 800-an KwH setara dengan India (805,6 KwH/kapita), dan tipis saja di atas rata-rata konsumsi listrik negara Lower Middle Income sebesar 769,05.  Namun secara time series, konsumsi listrik per kapita Indonesia mengindikasikan pertumbuhan yang konsisten positif dari tahun ke tahun, meski melambat pada 2014 (4,99%) dibandingkan dengan periode 2010-2012 yang tumbuh di atas 7%.

Maslahat Listrik 35 Ribu Megawatt
Sumber: World Bank, diolah oleh Tim Riset CNBC Indonesia

Anggota Dewan Energi Nasional Tumiran mengimbau untuk hati-hati menyatakan bahwa Indonesia dalam kondisi surplus listrik dengan kondisi saat ini. Menurut data PLN, konsumsi listrik per kapita Indonesia pada 2017 berada di angka 994 kilowatt hour (Kwh).Angka ini jauh lebih rendah dari Malaysia yang mencapai 4.500 Kwh per kapita pada 2014 dan China 2.500 Kwh per kapita.

China sendiri saat itu memiliki kapasitas listrik terpasang hingga 1.600 GW.Kekhawatiran Tumiran ini wajar, karena terdapat korelasi yang kuat antara konsumsi listrik per kapita dengan Indeks Pembangunan Manusia (IDM). Semakin tinggi konsumsi semakin cepat pula pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan target pembangunan sosial suatu negara.

Ambang batas terendahnya ada di angka 500 per Kwh. Angka ini didasarkan pada jumlah pemakaian minimal listrik yang digunakan untuk penerangan dan memompa air. Garis batas untuk membedakan konsumsi listrik antara negara maju dan berkembang ada di angka 4000 Kwh per kapita.

Ini artinya, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah yang besar untuk memenuhi kebutuhan listrik nasional.Bicara dari sisi ketahanan dan kedaulatan energi, soal listrik juga tidak bisa dengan mudah dibilang tanpa masalah hanya karena listrik yang terpasang sudah cukup.

Salah satu teori ketahanan energi menekankan prinsip 5S, yakni Supply, Sufficiency, Surety, Survivability, dan Sustainability.Kondisi listrik saat ini, tanpa mengebut program 35.000 MW, masih berada di persoalan supply yakni kecukupan pasokan. Masih harus memastikan soal sufficiency atau ketercukupan sumber energi, surety yakni akses terhadap energi yang mudah dan harga terjangkau, survivability yakni daya tahan energi saat terjadi guncangan atau kondisi luar biasa, dan sustainability yang mempersoalkan pembangunan pembangkit yang ramah lingkungan.Proyek 35.000 MW sebenarnya berupaya menjawab empat faktor di atas.

Dari sisi bauran energi, ada perbaikan dibandingkan dengan program FTP I dan II lalu yang sangat mengandalkan batu bara.Dalam program ini, energi bersih seperti gas, biogas, panas bumi, mendapatkan ruang yang lebih baik dari sebelumnya. Agar tetap terjangkau tarif listriknya, kebijakan seperti membolehkan PLN untuk mengelola wilayah kerja panas bumi pun diberikan.

Untuk ketahanan energi, juga perlu diingat beberapa wilayah yang tercatat defisit pasokan energinya masih berstatus tambalan sementara dengan kapal-kapal pembangkit.Untuk itu, dilihat dari sisi kebutuhan listrik dan kondisi di atas proyek 35 ribu MW masih sangat krusial untuk dilaksanakan. Ini jika pemerintah ingin mencapai kedaulatan energi yang hakiki di mana tidak berpusat pada pasokan listrik saja, tapi juga sumber energi yang lebih ramah dan tidak tergantung dari impor, tarif yang terjangkau, dan tentunya daya tahan dari energi tersebut.***
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular