
Mulai Pulih, Harga Minyak Masih Dibayangi Aksi Rusia dan Arab
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
03 April 2018 19:44

London, CNBC Indonesia- Harga minyak kembali naik pada hari Selasa (3/4/2018), didorong proyeksi perlambatan produksi minyak mentah AS. Meski begitu, harga komoditas ini masih dibayangi aksi dagang Rusia yang akan menggenjot produksi maupun Arab yang berencana menurunkan harga jual.
Kecemasan mewarnai pasar keuangan setelah China pekan lalu mengumumkan rencana menetapkan tarif tambahan pada 128 produk AS, memperdalam perselisihan antara dua negara ekonomi terbesar dunia dan memicu kekhawatiran tentang dampak masalah ini pada pertumbuhan global.
Harga minyak mentah Brent terakhir naik 47 sen hari ini di US$68,11 per barelnya (08:56 GMT), sementara harga minyak West Texas Intermediate naik 39 sen menjadi US$63,40 per barel.
Harga minyak turun lebih dari 3% pada hari Senin, menandai penurunan harian terbesar sejak Juni, menyusul penjualan yang tajam di Wall Street karena sektor teknologi mendapat kecaman.
"Untuk minyak, politik memicu kekacauan pasar dengan sengketa perdagangan dan pemerintah AS yang secara geopolitik berupaya keras dengan cara apa pun untuk menaikkan harga," kata Julius Baer, kepala komoditas dan penelitian makro di Norbert Ruecker.
Greg McKenna, kepala strategi pasar di lembaga broker berjangka AxiTrader, mengatakan para trader akan dibayangi kecemasan untuk waktu lebih lama, membuat banyak penjualan terjadi.
"Itu membuat harga rentan terhadap berita buruk," katanya, menunjuk pada peningkatan produksi Rusia dan kemungkinan penurunan harga minyak fisik di Arab Saudi.
Manajer keuangan menaikkan proyeksi mereka terhadap harga minyak mentah Brent, ke level tertinggi dalam catatan harga pekan lalu, membawa total kepemilikan berjangka dan opsi jangka panjang ke ekuivalen yang lebih dari 615 juta barelnya.
"Dengan posisi hedge fund yang masih menjulang berlebihan di atas pasar, aksi ambil untung harusnya membebani harga minyak selama beberapa minggu mendatang," kata Ruecker dari Julius Baer.
Brent mencapai harga tertinggi di tahun 2018, yaitu US$71,28 per barelnya pada Januari, namun setelanya kesulitan untuk melewati level harga itu. Dua kali rally pekan lalu tidak berhasil mencapai harga US$71per barel.
Tekanan juga datang dari pasar fisik, di mana eksportir utama Arab Saudi diperkirakan akan mengurangi harga untuk semua jenis minyak yang dijualnya ke Asia pada Mei mendatang, sementara produksi dari Rusia, produsen terbesar dunia, mencapai level tertinggi dalam 11 bulan.
Arab Saudi dan Rusia telah memimpin upaya berkelanjutan oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan produsen utama lainnya di luar OPEC untuk mengurangi kembali output untuk dapat menaikkan harga minyak.
Pasar juga menunggu data persediaan bahan bakar dari American Petroleum Institute, yang akan dirilis pada hari Selasa.
(gus/gus) Next Article Harga Minyak Dunia Terbantu Pelemahan Dolar AS
Kecemasan mewarnai pasar keuangan setelah China pekan lalu mengumumkan rencana menetapkan tarif tambahan pada 128 produk AS, memperdalam perselisihan antara dua negara ekonomi terbesar dunia dan memicu kekhawatiran tentang dampak masalah ini pada pertumbuhan global.
Harga minyak turun lebih dari 3% pada hari Senin, menandai penurunan harian terbesar sejak Juni, menyusul penjualan yang tajam di Wall Street karena sektor teknologi mendapat kecaman.
"Untuk minyak, politik memicu kekacauan pasar dengan sengketa perdagangan dan pemerintah AS yang secara geopolitik berupaya keras dengan cara apa pun untuk menaikkan harga," kata Julius Baer, kepala komoditas dan penelitian makro di Norbert Ruecker.
Greg McKenna, kepala strategi pasar di lembaga broker berjangka AxiTrader, mengatakan para trader akan dibayangi kecemasan untuk waktu lebih lama, membuat banyak penjualan terjadi.
"Itu membuat harga rentan terhadap berita buruk," katanya, menunjuk pada peningkatan produksi Rusia dan kemungkinan penurunan harga minyak fisik di Arab Saudi.
Manajer keuangan menaikkan proyeksi mereka terhadap harga minyak mentah Brent, ke level tertinggi dalam catatan harga pekan lalu, membawa total kepemilikan berjangka dan opsi jangka panjang ke ekuivalen yang lebih dari 615 juta barelnya.
"Dengan posisi hedge fund yang masih menjulang berlebihan di atas pasar, aksi ambil untung harusnya membebani harga minyak selama beberapa minggu mendatang," kata Ruecker dari Julius Baer.
Brent mencapai harga tertinggi di tahun 2018, yaitu US$71,28 per barelnya pada Januari, namun setelanya kesulitan untuk melewati level harga itu. Dua kali rally pekan lalu tidak berhasil mencapai harga US$71per barel.
Tekanan juga datang dari pasar fisik, di mana eksportir utama Arab Saudi diperkirakan akan mengurangi harga untuk semua jenis minyak yang dijualnya ke Asia pada Mei mendatang, sementara produksi dari Rusia, produsen terbesar dunia, mencapai level tertinggi dalam 11 bulan.
Arab Saudi dan Rusia telah memimpin upaya berkelanjutan oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan produsen utama lainnya di luar OPEC untuk mengurangi kembali output untuk dapat menaikkan harga minyak.
Pasar juga menunggu data persediaan bahan bakar dari American Petroleum Institute, yang akan dirilis pada hari Selasa.
(gus/gus) Next Article Harga Minyak Dunia Terbantu Pelemahan Dolar AS
Most Popular