
Internasional
Kisah Singkat Sang Jenius, Stephen Hawking
Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
14 March 2018 14:49

London, CNBC Indonesia - Stephen Hawking meninggal dunia di usia 76 tahun hari Rabu (14/3/2018). Ia adalah ilmuwan modern yang paling terkenal dari Inggris, seorang jenius yang mendedikasikan hidupnya untuk mengungkap rahasia alam semesta.
Hawking lahir pada tanggal 8 Januari 1942, 300 tahun setelah kematian bapak sains modern Galileo Gelilei. Ia yakin sains adalah takdirnya.
Namun, takdir juga memberi kenyataan pahit untuk Hawking.
Ia menghabiskan sebagian besar hidupnya di atas kursi roda karena lumpuh akibat penyakit amyotrophic lateral sclerosis (ALS), sebuah penyakit motor neuron yang menyerang saraf pengendali gerakan spontan.
Tak disangka, Hawking menyangkal prediksi bahwa ia akan hidup selama beberapa tahun saja. Ia mengatasi melemahnya mobilitas dan kemampuan berbicara yang membuatnya lumpuh dan mampu berkomunikasi hanya lewat komputer speech synthesizer yang dipasang di tubuhnya.
"Saya cukup sering ditanya, bagaimana rasanya mengidap ALS?" tulisnya suatu ketika seperti dikutip oleh AFP. "Jawabannya adalah, biasa saja."
"Saya berusaha sebisa mungkin menjalankan kehidupan normal, dan tidak memikirkan kondisi saya ataupun menyesali hal-hal yang tidak bisa saya kerjakan karena [penyakit] ini, yang mana tidak sebanyak itu."
Namun, Stephen William Hawking jauh dari kata normal.
Di balik tubuhnya yang semakin tidak berdaya, tersimpan pemikiran tajam tentang kekagumannya pada alam semesta; bagaimana alam semesta terbentuk dan berakhir.
"Tujuan saya sederhana," katanya suatu ketika. "Yaitu pemahaman lengkap tentang semesta, mengapa seperti itu, dan mengapa ia ada."
Sebagian besar karyanya berpusat pada menggabungkan teori relativitas, yaitu hubungan antara ruang dan waktu, dengan teori kuantum, yaitu bagaimana partikel terkecil di semesta berperilaku, untuk menjelaskan penciptaan dan pengaturan semesta.
Hawking lahir pada tanggal 8 Januari 1942, 300 tahun setelah kematian bapak sains modern Galileo Gelilei. Ia yakin sains adalah takdirnya.
Namun, takdir juga memberi kenyataan pahit untuk Hawking.
Tak disangka, Hawking menyangkal prediksi bahwa ia akan hidup selama beberapa tahun saja. Ia mengatasi melemahnya mobilitas dan kemampuan berbicara yang membuatnya lumpuh dan mampu berkomunikasi hanya lewat komputer speech synthesizer yang dipasang di tubuhnya.
"Saya cukup sering ditanya, bagaimana rasanya mengidap ALS?" tulisnya suatu ketika seperti dikutip oleh AFP. "Jawabannya adalah, biasa saja."
"Saya berusaha sebisa mungkin menjalankan kehidupan normal, dan tidak memikirkan kondisi saya ataupun menyesali hal-hal yang tidak bisa saya kerjakan karena [penyakit] ini, yang mana tidak sebanyak itu."
Namun, Stephen William Hawking jauh dari kata normal.
Di balik tubuhnya yang semakin tidak berdaya, tersimpan pemikiran tajam tentang kekagumannya pada alam semesta; bagaimana alam semesta terbentuk dan berakhir.
"Tujuan saya sederhana," katanya suatu ketika. "Yaitu pemahaman lengkap tentang semesta, mengapa seperti itu, dan mengapa ia ada."
Sebagian besar karyanya berpusat pada menggabungkan teori relativitas, yaitu hubungan antara ruang dan waktu, dengan teori kuantum, yaitu bagaimana partikel terkecil di semesta berperilaku, untuk menjelaskan penciptaan dan pengaturan semesta.
Next Page
Hidup di Bumi Berisiko
Pages
Most Popular