
Internasional
Kisah Singkat Sang Jenius, Stephen Hawking
Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
14 March 2018 14:49

Pada tahun 1974 saat berusia 32 tahun, ia menjadi salah satu anggota termuda di lembaga penelitian paling bergengsi di Inggris, Royal Society.
Di tahun 1979 ia mendapatkan gelar sebagai Lucasian Professor of Mathematics di Cambridge University, di mana ia pindah dari Oxford University untuk mempelajari astronomi dan kosmologi teoritis.
Pemegang gelar bergengsi tersebut sebelumnya adalah ilmuwan Inggris di abad ke-17 yang menemukan teori gravitasi, Isaac Newton.
Pada akhirnya Hawking menguji teori gravitasi Newton di tahun 2007 saat berusia 65 tahun. Ia terbang menggunakan penerbangan tanpa beban di Amerika Serikat sebagai percobaan pendahuluan dari penerbangan luar angkasa sub-orbit yang diharapkan dapat terwujud.
Tentu saja, dia tidak memandang perjalanan itu semata-mata sebagai hadiah ulang tahun.
Ia justru ingin menunjukkan bahwa kelumpuhan bukanlah batasan untuk berprestasi dan bersemangat tentang ruang angkasa, yang ia yakini sebagai letak takdir umat manusia.
“Menurut saya umat manusia tidak memiliki masa depan jika tidak masuk ke ruang angkasa,” katanya.
“Saya yakin kehidupan di bumi saat ini berada di risiko kemusnahan yang semakin tinggi akibat berbagai bencana, seperti pemanasan global, perang nuklir, virus rekayasa genetik ataupun bahaya lainnya.”
Baru-baru ini, dia mengatakan kecerdasan buatan (artificial intelligence/ AI) dapat berkontribusi terhadap pemusnahan penyakit dan kemiskinan, sembari memperingatkan potensi bahayanya.
“Singkatnya, kesuksesan dalam membuat AI bisa menjadi hal terbesar dalam sejarah peradaban kita.
“Selain keuntungan, AI juga akan mendatangkan petaka, seperti senjata otonom berkekuatan tinggi atau cara-cara terbaru bagi beberapa pihak untuk menekan banyak pihak,” kata Hawking di tahun 2016, saat berbicara di pembukaan Pusat Riset AI terbaru di Cambridge University. (prm)
Di tahun 1979 ia mendapatkan gelar sebagai Lucasian Professor of Mathematics di Cambridge University, di mana ia pindah dari Oxford University untuk mempelajari astronomi dan kosmologi teoritis.
Pemegang gelar bergengsi tersebut sebelumnya adalah ilmuwan Inggris di abad ke-17 yang menemukan teori gravitasi, Isaac Newton.
Tentu saja, dia tidak memandang perjalanan itu semata-mata sebagai hadiah ulang tahun.
Ia justru ingin menunjukkan bahwa kelumpuhan bukanlah batasan untuk berprestasi dan bersemangat tentang ruang angkasa, yang ia yakini sebagai letak takdir umat manusia.
“Menurut saya umat manusia tidak memiliki masa depan jika tidak masuk ke ruang angkasa,” katanya.
“Saya yakin kehidupan di bumi saat ini berada di risiko kemusnahan yang semakin tinggi akibat berbagai bencana, seperti pemanasan global, perang nuklir, virus rekayasa genetik ataupun bahaya lainnya.”
Baru-baru ini, dia mengatakan kecerdasan buatan (artificial intelligence/ AI) dapat berkontribusi terhadap pemusnahan penyakit dan kemiskinan, sembari memperingatkan potensi bahayanya.
“Singkatnya, kesuksesan dalam membuat AI bisa menjadi hal terbesar dalam sejarah peradaban kita.
“Selain keuntungan, AI juga akan mendatangkan petaka, seperti senjata otonom berkekuatan tinggi atau cara-cara terbaru bagi beberapa pihak untuk menekan banyak pihak,” kata Hawking di tahun 2016, saat berbicara di pembukaan Pusat Riset AI terbaru di Cambridge University. (prm)
Next Page
Politik dan Budaya Pop
Pages
Most Popular