Pak Jokowi, Ini yang Harus Dilakukan untuk Genjot PDB RI

Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
05 February 2018 15:49
Ini upaya yang harus dilakukan pemerintah untuk menggairahkan kembali perekonomian domestik.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2017 hanya mencapai 5,07%. Bahkan dibandingkan dengan negara-negara tetangga, pertumbuhan ekonomi Indonesia kalah jauh dibandingkan Vietnam dan Filipina.

Ada beberapa penyebab yang membuat ekonomi Indonesia hanya tumbuh di angka tersebut. Kondisi perekonomian yang belum sepenuhnya pulih pasca berakhirnya era komoditas menjadi penyebab utama akselerasi ekonomi melambat.

Lantas, apa saja yang perlu dilakukan Presiden Joko Widodo untuk menggeliatkan kembali perekonomian?

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto mengatakan, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan untuk kembali menggeliatkan gairah perekonomian. Ada satu syarat, agar pertumbuhan ekonomi Indonesia meningkat.

“Seluruh komponen (konsumsi rumah tangga, investasi, dan ekspor) harus bagus semua. Karena tiga komponen itu sharenya besar sekali terhadap PDB,” kata Suhariyanto saat ditemui di gedung BPS, Senin (5/2/2018).

Dalam upaya menjaga konsumsi, pengendalian inflasi terutama yang bersumber dari makanan bergejolak (volatile food) menjadi penting. Sementara itu, yang berkaitan dengan investasi, maka kepastian piranti hukum dan regulasi menjadi penting.

“Kalau ekspor, sebenarnya performance sudah bagus. Tapi kita lebih rendah dari negara-negara tetangga. Nah ini yang harus digenjot sesuai arahan Presiden,” kata Suhariyanto.

Selain BPS, CNBC Indonesia pun merangkum berbagai solusi dari sejumlah ekonom terkait upaya yang harus dilakukan pemerintah untuk menggairahkan kembali perekonomian domestik. Berikut petikannya :

Ekonom Bank BCA David Sumual

David menilai, fokus pemerintah di era Presiden Joko Widodo dalam beberapa tahun ke belakang adalah percepatan pembangunan infrastruktur. Dampak pembangunan tersebut, kata David, hanya bersifat jangka panjang.

Dalam jangka pendek, kata dia, Indonesia sudah tidak bisa lagi mengandalkan ekspor non migas sebagai penopang perekonomian. Perlu adanya diversifikasi produk, sehingga bisa memberikan nilai tambah bagi perekonomian.

“Saya ingat, terakhir kita lakukan itu tahun 1980-an. Karena total ekspor kita terhadap PDB di ASEAN itu paling rendah dari Malaysia dan Singapura karena hanya mengandalkan komoditas,” katanya.

Sementara dalam jangka panjang, konsistensi kebijakan, dan perbaikan kualitas sumber daya manusia, diharapkan dapat meningkatkan peringkat kemudahan berusaha. Hal itu, diharapkan menjadi katalis positif bagi calon investor yang tertarik menanamkan modalnya di Indonesia.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede

Josua memandang, kontribusi sektor manufaktur sepanjang 2017 terus menurun. Sementara di sisi lain, sektor jasa tumbuh lebih cepat dibandingkan sektor padat karya. Artinya, serapan tenaga kerja pun belum optimal.

Berdasarkan data BPS, sektor jasa lainnya menyumbang 8,66% terhadap PDB 2017. Adapun sektor industri, hanya tumbuh sekitar 4,27%. Padahal, struktur sektor industri mencapai 20,16% terhadap PDB.

“Pemerintah perlu fokus dalam re-industrialisasi khususnya dalam mendorong investasi di sektor manufaktur dan sektor padat karya. Sehingga dapat meningkatkan produktivitas nasional dan daya saing di pasar internasional,” katanya.

Menurut Josua, mendorong sektor padat karya lainnya seperti pertanian dan perdagangan diperlukan, untuk menyerap tenaga kerja lebih besar. Ujung-ujungnya, diharapkan hal tersebut bisa meningkatkan daya beli masyarakat.

Terkait dengan upaya mendorong arus investasi, simplifikasi perizinan berusaha perlu dilakukan. Konsistensi kebijakan pemerintah pun memegang perananan penting, dalam meningkatkan investasi yang masuk ke Indonesia.

“Dengan demikian, diharapkan perrtumbuhan ekonomi akan tumbuh lebih tinggi mendekati level potensi, serta berkesinambungan dan juga berkualitas,” katanya.

Kepala Ekonom CIMB Niaga Adrian Panggabean

Menurut Adrian, kepastian dan ketegasan hukum menjadi hal yang perlu dicermati pemerintah. Alasannya, hal tersebut berkaitan langsung dengan pondasi investor, apakah Indonesia dianggap sebagai destinasi menarik untuk investasi jangka panjang.

“Selaijn itu, struktur industri manufaktur harus kokoh, dan tidak terlalu bergantung pada impor barang modal dan impor barang pembantu,” katanya.

Pemerintah Masih Optimistis

Dalam kesempatan berbeda, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengaku masih optimis, pertumbuhan ekonomi tahun ini sesuai target. Meskipun sejak 2014, target pertumbuhan ekonomi pemerintah tidak mencapai target.

Alasannya, pagelaran Pilkada 2018, Asian Games, dan pertemuan tahunan IMF-World Bank Oktober mendatang bisa meningkatkan konsumsi masyarakat. Adapun sepanjang 2017, konsumsi rumah tangga hanya mencapai 4,95%.

“Masih (optimis). Pengeluaran konsumsi akan membaik, sepanjang kita bisa mempertahankan pertumbuhan investasi di 2017,” tegasnya.

CNBC Indonesia Review

Pemerintah perlu mempercepat program deregulasi yang sekarang masih digencarkan. Program ini, sebagaimana dikeluhkan oleh pengusaha, belum juga dijalankan di daerah-daerah.

Produk ekonomi kreatif bisa menjadi salah satu pendongkrak pertumbuhan ekonomi ke depan. Hal ini mengingat Indonesia memiliki keunggulan kompetitif dibanding negara-negara lain dalam hal produk ekonomi kreatif. Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mencatat kontribusi ekonomi kreatif terhadap PDB mencapai Rp 1.000 triliun. Hal ini bisa menjadi opsi di tengah penurunan harga komoditas.

Selain itu, perlambatan industri perlu menjadi perhatian seluruh pihak. Benar, sekarang adalah era ekonomi digital. Namun ada baiknya Indonesia melakukan re-industrialisasi dengan lebih tertib. Re-industrialisasi bisa menciptakan pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif karena mampu menciptakan jutaan lapangan kerja.
(dru) Next Article Loyo! PDB Kuartal IV-2019 Tumbuh 4,97%, Terendah Sejak 2016

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular