
Internasional
Angkatan Kerja dan Industrialisasi Jadi Kunci Dominasi China
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 January 2018 11:12

Jakarta, CNBC Indonesia - China, negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia, menempelkan namanya di balik mayoritas produk yang beredar di seluruh penjuru dunia.
Data Bank Dunia menunjukkan bahwa sepanjang 2016, nilai ekspor China mencapai US$2,09 triliun (Rp 27,9 kuadriliun), jauh meninggalkan Amerika Serikat (AS) di posisi kedua dengan $1,45 triliun.
Unggulnya China di kancah perdagangan antarnegara disebabkan oleh beberapa faktor.
Faktor pertama adalah angkatan kerja Negeri Tirai Bambu ini yang begitu banyak. Besarnya angkatan kerja ini bisa menjadi modal kuat bagi industrialisasi.
Namun, sepertinya modal ini akan menyusut dalam beberapa tahun ke depan. Pertumbuhan angkatan kerja China turun drastis tahun 2017 menjadi kurang dari 785,5 juta jiwa dibandingkan sekitar 787 juta jiwa setahun sebelumnya.
Dampak kebijakan satu keluarga satu anak (one child policy) yang diterapkan selama 1979-2015 mulai terasa.
Tingginya jumlah angkatan kerja di China menyebabkan upah buruh jadi relatif murah. Namun, kini upah buruh di China terus tumbuh dengan cepat sehingga era upah murah dianggap sudah berakhir.
Faktor lainnya adalah peranan pemerintah yang sangat mendukung industrialisasi.
Pemerintah China tidak ragu memberikan insentif kepada para pelaku usaha. Misalnya, pada 2016 pemerintah China memberikan fasilitas fiskal untuk mendukung ekspor, di antaranya melalui pengembalian pajak (tax rebate) untuk impor mesin dan alat-alat listrik.
Fasilitas seperti ini tentu membuat harga produk China menjadi kompetitif karena beban perusahaan menjadi lebih kecil.
Namun, fasilitas fiskal pemerintah China tidak jarang membuat negara lain gerah. China sering mendapat tudingan melakukan praktik dagang tidak sehat seperti dumping, subsidi, dan sebagainya.
Produk baja dari China, misalnya, dikeluhkan oleh banyak negara. Sebagai respons, sejumlah negara termasuk Indonesia menerapkan bea masuk anti-dumping terhadap produk baja China.
Tim Riset CNBC Indonesia
(prm/prm) Next Article Wabah Corona, Ekspor RI ke China Anjlok!
Data Bank Dunia menunjukkan bahwa sepanjang 2016, nilai ekspor China mencapai US$2,09 triliun (Rp 27,9 kuadriliun), jauh meninggalkan Amerika Serikat (AS) di posisi kedua dengan $1,45 triliun.
Pilihan Redaksi |
Faktor pertama adalah angkatan kerja Negeri Tirai Bambu ini yang begitu banyak. Besarnya angkatan kerja ini bisa menjadi modal kuat bagi industrialisasi.
Dampak kebijakan satu keluarga satu anak (one child policy) yang diterapkan selama 1979-2015 mulai terasa.
![]() Sumber: Bank Dunia |
![]() Sumber: China Ministry of Human Resources and Social Security 1 RMB = Rp 2.075 |
Pemerintah China tidak ragu memberikan insentif kepada para pelaku usaha. Misalnya, pada 2016 pemerintah China memberikan fasilitas fiskal untuk mendukung ekspor, di antaranya melalui pengembalian pajak (tax rebate) untuk impor mesin dan alat-alat listrik.
Fasilitas seperti ini tentu membuat harga produk China menjadi kompetitif karena beban perusahaan menjadi lebih kecil.
Namun, fasilitas fiskal pemerintah China tidak jarang membuat negara lain gerah. China sering mendapat tudingan melakukan praktik dagang tidak sehat seperti dumping, subsidi, dan sebagainya.
Produk baja dari China, misalnya, dikeluhkan oleh banyak negara. Sebagai respons, sejumlah negara termasuk Indonesia menerapkan bea masuk anti-dumping terhadap produk baja China.
Tim Riset CNBC Indonesia
(prm/prm) Next Article Wabah Corona, Ekspor RI ke China Anjlok!
Most Popular