
Bisnis Media
Jalan Terjal Media Massa Konvensional Belum Berakhir
Arys Aditya, CNBC Indonesia
13 January 2018 15:07

- Mayoritas manajemen media massa tersebut memilih untuk menutup edisi cetak dan melakukan transformasi atau migrasi menuju laman digital.
- PricewaterhouseCoopers (PwC) menyatakan pada 2021, industri E&M Indonesia hanya mampu meraup pendapatan US$23-US$25 miliar, di bawah rata-rata pendapatan negara yang disurvei US$41 miliar.
Jakarta, CNBC Indonesia — Dalam dua-tiga tahun terakhir, masyarakat Indonesia disuguhi perkembangan industri media massa konvensional yang cukup berdarah-darah.
Sejumlah nama besar yang telah memiliki basis pembaca loyal dan malang-melintang sejak belasan, bahkan puluhan tahun, dipaksa tutup karena tidak bisa mengikuti arus informasi digital. Harian Soccer, Jurnal Nasional, Sinar Harapan, The Jakarta Globe, Tabloid Bola, Majalah HAI dan terakhir, Rolling Stone Indonesia memutuskan untuk menghentikan percetakannya.
Mayoritas manajemen media massa tersebut memilih untuk menutup edisi cetak dan melakukan transformasi atau migrasi menuju laman digital. Taktik ini menjadi favorit mengingat pertumbuhan pembaca via daring melesat cepat dalam satu dasawarsa terakhir.
Belum lagi strategi sebagian perusahaan media massa yang mengurangi atau membatasi penerbitan di sejumlah daerah, seperti yang dilakukan oleh Koran Sindo dan Koran Tempo.
Ini selaras dengan data Serikat Perusahaan Pers (SPS). SPS menyebutkan, jumlah penerbitan media cetak secara nasional pada 2017 merosot menjadi 850 penerbitan atau tersisa tinggal 57,54% dari 2003 yang mencapai 2.002 penerbitan.
Dari sisi tiras atau eksemplar yang terjual, selama 15 tahun dari 2002-2017, nyaris tidak ada laju pertumbuhan yang signifikan yakni ada di kisaran 17 juta eksemplar. Padahal, pada 2013 perusahaan penerbitan media massa sempat memiliki prospek cerah yaitu sanggup menjual hingga 22,34 juta eksemplar.
Adapun, ceruk pembaca potensial di Indonesia yang tercermin dari pertumbuhan jumlah penduduk terus melaju. Menurut World Bank, jumlah penduduk Indonesia mencapai 261,1 juta pada 2017, atau bertambah 43,6 juta orang sejak 2002.
Masa kelam media massa konvensional nampaknya akan tetap berlanjut dalam beberapa tahun ke depan.
PricewaterhouseCoopers (PwC), lembaga audit dan konsultan global yang berbasis di London, melansir riset menarik bertajuk ‘Perspectives from the Global Entertainment and Media Outlook 2017–2021: Curtain up! User experience takes center stage’.
Dalam riset itu, PwC melakukan survei terhadap 54 negara dengan klasifikasi 17 segmen atau subsektor bisnis dalam klasifikasi industri entertainment & media (E&M).
Pada 2021, industri E&M Indonesia hanya mampu meraup pendapatan US$23-US$25 miliar, di bawah rata-rata pendapatan negara yang disurvei US$41 miliar.
Sementara, laju pertumbuhan investasi tahun majemuk atau compound annual growth rate (CAGR) industri E&M Indonesia sebesar 9%-10%, dua kali lipat dari pertumbuhan global yang hanya 4,2%.
Dari riset yang sama, PwC menyebutkan proyeksi pertumbuhan hasil investasi rata-rata sepanjang 2017-2021 untuk radio, TV, buku, majalah dan koran minus. Terparah, pertumbuhan pendapatan dari koran yang mencapai minus 8,3%. Artinya, pebisnis dan investor media massa konvensional untuk jenis-jenis tersebut harus berasumsi kalau dirinya merugi sekitar 4%-8% per tahun.
Melihat proyeksi PwC hingga tiga tahun ke depan, para bos dan manajemen media massa konvensional sepertinya perlu mencari strategi untuk terus berlaga dalam arus bisnis dan untuk memahami zeitgeist pembaca hari ini. Atau kalau hal itu telah ditemukan, mungkin kini saatnya untuk mempercepat eksekusi.
Sejumlah nama besar yang telah memiliki basis pembaca loyal dan malang-melintang sejak belasan, bahkan puluhan tahun, dipaksa tutup karena tidak bisa mengikuti arus informasi digital. Harian Soccer, Jurnal Nasional, Sinar Harapan, The Jakarta Globe, Tabloid Bola, Majalah HAI dan terakhir, Rolling Stone Indonesia memutuskan untuk menghentikan percetakannya.
Mayoritas manajemen media massa tersebut memilih untuk menutup edisi cetak dan melakukan transformasi atau migrasi menuju laman digital. Taktik ini menjadi favorit mengingat pertumbuhan pembaca via daring melesat cepat dalam satu dasawarsa terakhir.
Ini selaras dengan data Serikat Perusahaan Pers (SPS). SPS menyebutkan, jumlah penerbitan media cetak secara nasional pada 2017 merosot menjadi 850 penerbitan atau tersisa tinggal 57,54% dari 2003 yang mencapai 2.002 penerbitan.
![]() |
Dari sisi tiras atau eksemplar yang terjual, selama 15 tahun dari 2002-2017, nyaris tidak ada laju pertumbuhan yang signifikan yakni ada di kisaran 17 juta eksemplar. Padahal, pada 2013 perusahaan penerbitan media massa sempat memiliki prospek cerah yaitu sanggup menjual hingga 22,34 juta eksemplar.
Adapun, ceruk pembaca potensial di Indonesia yang tercermin dari pertumbuhan jumlah penduduk terus melaju. Menurut World Bank, jumlah penduduk Indonesia mencapai 261,1 juta pada 2017, atau bertambah 43,6 juta orang sejak 2002.
Masa kelam media massa konvensional nampaknya akan tetap berlanjut dalam beberapa tahun ke depan.
PricewaterhouseCoopers (PwC), lembaga audit dan konsultan global yang berbasis di London, melansir riset menarik bertajuk ‘Perspectives from the Global Entertainment and Media Outlook 2017–2021: Curtain up! User experience takes center stage’.
Dalam riset itu, PwC melakukan survei terhadap 54 negara dengan klasifikasi 17 segmen atau subsektor bisnis dalam klasifikasi industri entertainment & media (E&M).
Pada 2021, industri E&M Indonesia hanya mampu meraup pendapatan US$23-US$25 miliar, di bawah rata-rata pendapatan negara yang disurvei US$41 miliar.
Sementara, laju pertumbuhan investasi tahun majemuk atau compound annual growth rate (CAGR) industri E&M Indonesia sebesar 9%-10%, dua kali lipat dari pertumbuhan global yang hanya 4,2%.
Dari riset yang sama, PwC menyebutkan proyeksi pertumbuhan hasil investasi rata-rata sepanjang 2017-2021 untuk radio, TV, buku, majalah dan koran minus. Terparah, pertumbuhan pendapatan dari koran yang mencapai minus 8,3%. Artinya, pebisnis dan investor media massa konvensional untuk jenis-jenis tersebut harus berasumsi kalau dirinya merugi sekitar 4%-8% per tahun.
Melihat proyeksi PwC hingga tiga tahun ke depan, para bos dan manajemen media massa konvensional sepertinya perlu mencari strategi untuk terus berlaga dalam arus bisnis dan untuk memahami zeitgeist pembaca hari ini. Atau kalau hal itu telah ditemukan, mungkin kini saatnya untuk mempercepat eksekusi.
(roy) Next Article Senja Kala Media Massa Cetak
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular