Jakarta, CNBC Indonesia - Jika ada seorang investor dengan kekayaan US$ 1 juta (setara Rp 14 miliar, kurs Rp 14.000/US$) atau lebih di pasar modal, mungkin mereka berpikir bahwa fenomena terjadinya gelembung pasar saham alias bubble bakal terjadi dalam waktu dekat ini.
Benarkah demikian?
Menurut survei terbaru dari E-Trade Financial (Grup Morgan Stanley), jawabannya adalah investor mestinya tetap berinvestasi di saham, dengan lebih menekankan pada sektor-sektor yang undervalued (saham dengan nilai di bawah fundamentalnya).
Berdasarkan survei, dikutip CNBC International, hanya 9% para orang kaya yang disurvei oleh E-Trade berpikir bahwa pasar sama sekali belum mendekati fenomena bubble.
Adapun kelompok investor kaya lainnya berfikir:
- 16% merasa bahwa saat ini fenomena bubble sudah lewat.
- 46% merasa bahwa fenomena bubble belum terjadi, tapi akan terjadi.
- 29% merasa bahwa fenomena bubble sedang terjadi.
Namun para investor tajir ini tidak lari dari pasar atau memarkirkan dananya ke uang tunai.
Faktanya, di tengah meningkatnya kekhawatiran fenomena bubble, para investor kaya ini mengatakan bahwa sikap toleransi atas risiko investasi mereka telah meningkat secara signifikan pada kuartal pertama 2021 dan mayoritas memperkirakan saham-saham di kuartal pertama tahun 2021 akan cuan.
Proses distribusi vaksinasi vaksin Covid-19 yang memang agak lambat dan prospek paket stimulus di AS lebih besar yang akan digelontorkan oleh Presiden terpilih Joe Biden membuat investor melihat ada prospek harga saham ke depan.
"Ada keyakinan lebih luas soal ekonomi yang akan membaik dan tanda-tanda bahwa ada faktor-faktor [positif] di pasar bergerak lebih tinggi," kata Mike Loewengart, Manager Investasi Divisi Manajemen Modal E-Trade Financial, dilansir CNBC, Senin (18/1).
Survei dari E-Trade Morgan Stanley ini dilakukan dari 1 Januari hingga 7 Januari lalu, dengan menggunakan sampel online warga AS dari 904 investor aktif mandiri yang mengelola setidaknya US$ 10.000 di akun trading online dan kumpulan data para orang kaya yang dipecah secara eksklusif oleh CNBC International. Ini terdiri dari 188 investor dengan aset US$ 1 juta atau lebih yang dapat diinvestasikan.
Sikap kontradiksi yang tampak di tengah tren bullish pasar saham global saat kekhawatiran bubble meningkat sepertinya tidak sekuat yang diperkirakan.
Pasar saham yang bullish ini seolah melawan setiap risiko yang dibayangkan di tengah pandemi ini, dan para analis terus meyakini bahwa tren bullish pasar saham dengan resistensi terkecil semakin meningkat.
Hanya saja, tren bullish pasar saham ini dinilai memerlukan beberapa perubahan portofolio investasi dengan fokus yang lebih besar pada sektor-sektor saham yang masih undervalued.
NEXT: Temuan survei lainnya soal investasi saham
Berikut ini adalah beberapa hasil dari survei E-Trade yang menunjukkan pola pikir investor saat ini di tengah desakan dan tarikan antara risiko dan keuntungan.
1. Orang Kaya Makin Banyak Berinvestasi
Dengan kondisi pasar saham yang sudah naik tinggi, membuat fenomena bubble ini tak terelakkan. Namun di antara para investor yang tajir ini, bahkan dengan kekhawatiran fenomena bubble yang meningkat, jumlah mereka yang berinvestasi justru semakin bertambah.
Sebanyak 64% orang kaya menambah investasinya, atau naik 9 poin dari persentase pada kuartal keempat 2020. Jumlah ini sebanding dengan 57% dari total investor di dunia yang kini juga sedang naik daun.
Di antara investor ini, ada yang mentoleransi risiko meningkat 8 poin menjadi 24% di triwulan ke-1 tahun ini.
Mayoritas (63%) dari mereka mengatakan, bahwa mereka tetap pada level yang sama dengan kuartal terakhir 2020. Hanya 13% orang kaya yang mengatakan toleransi risiko mereka menurun.
"Investor kaya tidak mengharapkan return yang besar dengan mengharapkan pasar naik tidak lebih dari 5% pada kuartal ini, tetapi setelah pasar menguat, mereka siap memasang target yang aman," kata Mike Loewengart, Manager Investasi Divisi Manajemen Modal E-Trade Financial.
"Sebanyak 59% mengharapkan di kuartal berikutnya, bisa untung di saham-saham yang masuk indeks S&P 500, dengan 43% dari mereka melihat return yang didapat tidak melebihi 5%."
Mereka berpikir pasar akan turun pada kuartal berikutnya, terkoreksi dari 28% menjadi 22%.
2. Ingin Merotasi Portfolio
Meskipun risiko bisa hadir bagi banyak orang, namun dari potensi risiko ini membuat semakin banyak investor yang mengubah atau merotasi portofolionya.
Perubahan portofolio ke saham-saham yang value added, small-cap, dan sektor-sektor yang tertekan akibat pandemi seperti energi dan keuangan sudah menjadi fenomena yang diprediksi sebelumnya.
Sebanyak 6% dari sepertiganya sudah membuat perubahan pada alokasi portofolio mereka yang telah meningkat selama dua kuartal berturut-turut. Sedangkan 7%-nya telah mengubah portofolionya ke dalam uang tunai, walaupun saat ini telah meningkat 5%.
Meskipun pertumbuhan saham telah melesat dalam beberapa tahun terakhir, investor kini mengambil kesempatan untuk berpindah ke sektor yang berorientasi pada siklus tertentu.
3. Saham "Work-From-Home" Sudah Mulai Redup
Menurut survei, setiap investor yang melakukan perubahan portofolio, mereka percaya diversifikasi itu membuat investasinya aman.
"Ada faktor momentum. Orang-orang ingin terus percaya di mana mereka telah melihat keuntungan yang kuat, itu akan terus berlanjut, tetapi beberapa menyadari [saham diversifikasi] itu tidak bisa naik selamanya," kata Loewengart.
Walaupun saat ini sektor keuangan berpotensi meningkat paling signifikan, namun sektor teknologi, apalagi kesehatan kenaikan harga sahamnya berpotensi melebihi sektor keuangan, karena faktor vaksinasi masih sangat diminati oleh investor.
4. Peluang Pasar Global yang Lebih Menarik
Data menunjukkan minat investasi di luar negeri semakin pesat dibanding pasar domestik, karena orang kaya tersebut sudah lama berkecimpung di saham-saham di bursa Wall Street, Amerika Serikat (AS).
Orang kaya tersebut lebih tertarik berinvestasi ke luar negeri, karena yield-nya menjanjikan. Investor kaya yang lebih tertarik berinvestasi di pasar global naik menjadi 36% pada kuartal pertama tahun ini.
5. Tensi Politik AS yang Mulai Menurun
Jika risiko politik dan pemilu menjadi faktor utama di kuartal ke-4 tahun 2020, investor beranggapan bahwa di kuartal pertama tahun ini, risiko politik AS akan mengalami penurunan. Survei menjelaskan bahwa investor tidak lagi khawatir akan hal itu.
Investor yang masih khawatir terkait risiko politik AS telah menurun menjadi 30% pada kuartal pertama tahun ini. 12% pesimis akan prospek positif ekonomi AS dibawah pemerintahan Biden, sementara 60% optimis Biden dapat merubah arah ekonomi AS ke zona positif.
6. Tidak Mau Repot Ambil Risiko
Fase terbaru dari pasar yang bullish, pascapandemi telah ditandai dengan selera risiko yang baru, seperti tren maraknya IPO (penawaran umum saham perdana) dan instrumen investasi baru, seperti cryptocurrency (bitcoin).
Orang kaya tersebut bahkan di tengah adanya risiko, cenderung tidak tertarik pada jenis investasi di sektor-sektor berikut ini:
Sektor | Investor Keseluruhan | Investor Kaya |
Big Tech | 53% | 52% |
Teknologi Kebersihan | 51% | 46% |
Properti/Real Estate | 42% | 36% |
Investasi | 44% | 36% |
Energi Tradisional | 33% | 28% |
Saham IPO | 31% | 25% |
Crypto (Bitcoin, etc.) | 30% | 19% |
Cannabis Stock | 30% | 18% |
Perusahaan Cangkang | 24% | 16% |