
Warning! Bakal Makin Banyak Negara Tak Bisa Bayar Utang

Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga pemeringkat S&P mengungkap fakta mengerikan soal dampak pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19). Berbagai negara, termasuk negara maju, berisiko mengalami penurunan peringkat utang.
Roberto Sifon-Arevalo, Managing Director S&P Sovereign Group, membisikkan kepada Reuters bahwa ongkos lonjakan anggaran kesehatan dan bantuan sosial di berbagai negara akan melemahkan kemampuan untuk membiayai. Biasanya kenaikan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 15-60 poin persentase terjadi selama 4-5 tahun, tetapi sekarang dalam hitungan bulan.
Laporan Institute of International Finance (IIF) menyebut bahwa total utang rumah tangga, perusahaan, dan pemerintah di seluruh dunia pada kuartal III-2020 mencapai US% 253 triliun. Jumlah ini setara dengan 322% terhadap PDB.
Apalagi penyebaran virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini masih jauh dari kata selesai. Saat ini vaksin anti-virus corona belum tersedia, masih dalam tahap pengembangan.
Perlu hitungan tahun agar vaksin ini bisa disuntikkan ke miliaran manusia di seluruh dunia. Itu pun dengan catatan vaksinnya aman dan manjur, tidak menimbulkan efek samping yang berlebihan.
Oleh karena itu, pemerintah di berbagai negara belum bisa berleha-leha. Belanja negara masih harus ditingkatkan untuk menopang perekonomian.
Di tengah penerimaan negara yang nyungsep karena penurunan aktivitas ekonomi, mau tidak mau belanja itu didanai dari utang. Beban utang yang semakin membengkak sementara penerimaan negara mampet tentu membuat kemampuan untuk membayar dipertanyakan.
Hasilnya, ada risiko peringkat utang berbagai negara bakal turun. Peringkat utang alias rating mencerminkan kemampuan penerbit obligasi (surat utang) untuk membayar kewajibannya.
"Anda bicara soal rating di Uni Eropa, atau negara-negara maju seperti Jepang dan Amerika Serikat (AS), yang memberikan stimulus fiskal dalam jumlah besar. Kita bisa melihat ke mana ini akan mengarah, semakin lama akan semakin sulit untuk memberlakukan reformasi struktural seperti disiplin fiskal. Saat itu lah Anda akan melihat ke mana rating bergerak," jelas Sifon-Arevalo, seperti dikutip dari Reuters.