Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berhasil menguat di perdagangan pasar spot. Akhirnya rupiah menguat setelah berhari-hari lesu.
Pada Selasa (15/9/2020), US$ 1 dibanderol Rp 14.800 kala pembukaan pasar spot. Rupiah menguat 0,4% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Kemarin, rupiah menutup perdagangan pasar spot di posisi Rp14.860/US$, sama persis dengan posisi penutupan akhir pekan lalu alias stagnan. Ini membuat rupiah tidak pernah menguat selama lima hari perdagangan beruntun. Dalam lima hari tersebut, depresiasi rupiah mencapai 0,88%. Pelemahan rupiah yang sudah cukup dalam itu membuatnya berpeluang mencatat technical rebound.
Depresiasi rupiah terjadi saat dolar AS sejatinya sedang melemah. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,39%.
Jadi, sepertinya sentimen domestik yang membuat rupiah tertekan. Dua pekan lalu, pasar dihebohkan oleh dinamika hubungan pemerintah dan Bank Indonesia (BI).
Untuk mengamankan pembiayaan anggaran yang meningkat akibat penanganan pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19), BI diminta masuk untuk membeli obligasi pemerintah di pasar primer. Tahun ini, BI menjadi pembeli Surat Berharga Negara (SBN) untuk pemenuhan kebutuhan anggaran kepentingan umum (public goods) senilai hampir Rp 400 triliun. Sementara sampai 2022, BI diharapkan tetap menjadi pembeli siaga (standby buyer) SBN sesuai dengan UU No 2/2020.
Masuknya BI di pasar primer (baik lelang, greenshoe options, sampai private placement) akan menyebabkan peningkatan jumlah uang beredar. Selain menimbulkan risiko inflasi, rupiah juga dipandang semakin 'murah' karena pasokan yang meningkat.
S&P mengingatkan bahwa peringkat utang Indonesia bisa turun gara-gara kebijakan yang disebut burden sharing tersebut. Bukan tidak mungkin peringkat (rating) utang Indonesia bisa turun.
"Program pembelian obligasi bisa mempengaruhi kemampuan bank sentral di negara-negara berkembang untuk merespons krisis pada masa mendatang. Tentu bisa juga berdampak terhadap rating obligasi negara tersebut," sebut Andrew Wood, S&P Global Ratings Credit Analyst, seperti dikutip dari keterangan tertulis.
Jika investor sampai punya persepsi bahwa pemerintah punya ketergantungan jangka panjang terhadap pembiayaan dari bank sentral, maka otoritas moneter akan kehilangan kredibilitas. Bank sentral akan dipandang melakukan monetisasi, menggunakan pembiayaan defisit fiskal sebagai sarana 'mencetak uang' yang mengancam stabilitas fleksibilitas kebijakan moneter dan perekonomian secara luas.
Akibatnya, risiko penurunan peringkat obligasi menjadi meninggi. Ketika rating obligasi turun, maka investor akan menjauh dari pasar SBN. Ini bisa menjadi sentimen negatif bagi rupiah.
Kemudian pekan lalu, sentimen lain menjadi pemberat langkah rupiah yaitu rencana pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di DKI Jakarta. PSBB yang lebih ketat dari masa transisi itu mulai berlaku kemarin hingga dua pekan ke depan. Ada kekhawatiran gerak roda ekonomi akan seret, meski PSBB yang berlaku tidak seketat perkiraan sebelumnya.
Plus, saat ini sudah menjelang akhir kuartal III-2020. Setiap akhir kuartal, kebutuhan valas korporasi meningkat untuk keperluan pembayaran utang jatuh tempo, dividen, dan sebagainya.
TIM RISET CNBC INDONESIA