Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi dunia sedang berduka akibat pandemi virus corona (Coronavirus Disease 2019/Covid-19) yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China mendorong sejumlah negara masuk jurang resesi.
Pandemi Covid-19 ini telah memicu pembatasan wilayah atau lockdown di seluruh negara guna memitigasi penyebaran, sehingga berdampak pada terhentinya roda perekonomian global. Ketika aktivitas ekonomi terganggu maka berujung pada jurang resesi, yaitu pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi dalam kurun dua kuartal berturut.
Bank Dunia (World Bank) mencatat, aktivitas ekonomi di antara negara-negara maju menyusut drastis hingga 7% di tahun 2020 dan IMF meramalkan ekonomi global di 2020 akan -4,9%. Sementara ekonomi negara berkembang juga menyusut hingga 2,5%. Ini merupakan pertama kalinya ekonomi negara berkembang terkontraksi sejak 60 tahun lalu.
Bahkan, dua negara maju seperti Singapura dan Korea Selatan telah resmi mengalami resesi ekonomi. Terbaru, Bank of Korea (BoK) mengumumkan bahwa produk domestik bruto (PDB) Negeri Ginseng tersebut secara kuartalan di kuartal II-2020 tercatat minus 3,3%, sedangkan di kuartal sebelumnya ekonomi minus 1,3%.
Sebelum Korea Selatan, Singapura telah lebih dulu terjerat ke dalam resesi. Kabar buruk ini disampaikan oleh Kementerian Perdagangan dan Industri (MTI) Singapura pada Selasa (14/7/2020). Secara kuartalan, ekonomi Singapura di kuartal II 2020 berkontraksi atau minus 41,2%. Sementara secara tahunan, PDB anjlok 12,6%.
Lalu bagaimana dengan ekonomi Bumi Pertiwi, apakah akan mengalami hal yang sama?
Bank Indonesia (BI) telah melihat proyeksi perekonomian Indonesia akan mencatatkan pertumbuhan negatif pada kuartal II-2020. Dan kemungkinan besar juga pertumbuhan negatif ini tetap lanjut pada kuartal III-2020. Dengan ramalan ini artinya RI akan masuk jurang resesi.
"Forecast-forecast termasuk BI bahwa kuartal II pertumbuhan ekonomi akan negatif. Pertumbuhan di triwulan III (juga) dari BI kami perkirakan kemungkinan masih negatif," ujar Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI Juda Agung, Kamis (23/7/2020).
Ramalan BI ini bukan tanpa sebab. Apalagi sejak diserang pandemi Covid-19, perekonomian dunia memang tertekan termasuk Indonesia.
Kemungkinan resesi juga diungkapkan oleh Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Febrio Kacaribu. Ada kemungkinan PDB di kuartal III juga negatif.
Ia mengaku pemerintah saat ini sedang bekerja keras agar pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2020 tidak terkontraksi seperti proyeksi pada kuartal II yang kemungkinan pertumbuhan ekonominya akan minus 2% sampai 4,3%.
Selain itu, Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) memperkirakan Indonesia masuk ke zona resesi.
"Hasil kalkulasi INDEF menunjukkan bahwa perekonomian Indonesia akan tumbuh negatif di triwulan II dan memasuki zona resesi di triwulan III 2020. Pada triwulan II 2020 ekonomi diproyeksi tumbuh negatif di kisaran -3,26 persen (skenario sedang) hingga -3,88 persen (skenario berat)," tulis lembaga riset independen dan otonom yang berdiri pada Agustus 1995 ini.
INDEF melihat, pada triwulan III-2020, ancaman pertumbuhan ekonomi negatif juga masih membayangi perekonomian Indonesia.
"Hal ini terlihat dari proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang berpotensi negatif di kisaran -1,3% (skenario sedang) hingga -1,75% (skenario berat). Waspada dan siap siaga memitigasi kemungkinan resesi ekonomi menjadi pilihan kebijakan yang tidak terelakkan," tulis INDEF.
Seandainya RI pun mengalami resesi, lalu investasi apa yang layak dipertimbangkan oleh investor ritel?
Ada beberapa jenis investasi yang bisa jadi pilihan karena mudah untuk dilakukan dan memiliki risiko yang tidak terlalu besar. Investasi tersebut mulai dari saham, emas, obligasi hingga reksa dana, yang kesemuanya punya karakter dan keunggulan masing-masing.
Berinvestasi adalah salah satu cara yang strategis untuk dapat menghasilkan uang yang lebih. Kendati demikian, banyak hal yang perlu diperhatikan dalam memilih jenis dan produk atau instrumen investasi. Hal ini dikarenakan setiap orang memiliki kebutuhan, tujuan dan pribadi yang berbeda-beda.
Kala resesi hadir di Tanah Air, instrumen investasi seperti emas bisa menjadi pilihan. Kebanyakan orang tentu suka mengenakan emas sebagai perhiasan. Selain sebagai aksesoris, ternyata emas memiliki berbagai manfaat yang lebih berarti. Emas memiliki nilai yang cukup stabil.
Sehingga jika Anda ingin memulai investasi, emas bisa menjadi pilihan. Jika emas batangan dinilai terlalu mahal maka Anda bisa membeli perhiasan terlebih dahulu untuk dijadikan aset.
Mengacu data sepanjang pekan ini harga logam mulia emas yang diproduksi PT Aneka Tambang Tbk (Antam) untuk kepingan 100 gram yang lumrah dijadikan acuan naik sebesar Rp 33.000 atau 3,67% menjadi Rp 931.120/gram pada Sabtu (25/7/2020) dari Rp 898.120/gram pada Sabtu lalu (18/7/2020).
Kenaikan harga emas Antam tersebut seiring dengan lonjakan harga emas dunia di pasar spot ke rekor baru sejak sembilan tahun silam. Di mana sepekan ini (week on week/WoW) harga emas dunia membukukan kenaikan yang signifikan sebesar US$ 92,07 atau 5,09% ke level US$ 1.900,98/troy ons pada (24/7/2020) dari level US$ 1.808,9/troy ons di penutupan hari Jumat lalu (17/7/2020).
Investasi emas yang dianggap sebagai lindung nilai (hedging) di saat ketidapastian ekonomi akibat pandemi virus corona, menunjukkan bahwa instrumen yang satu ini merupakan aset safe haven yang paling dicari ketika situasi ekonomi berada di jurang resesi.
Selain emas, ada juga aset safe haven lainnya seperti yen Jepang. Sama seperti emas, mata uang valuta asing yang satu ini kerap dijadikan incaran investor di kala ketidakpastian ekonomi dan geopolitik.
Sepekan ini mata uang yen Jepang (JPY) terpantau menguat terhadap dolar AS, kini yen berada di level 106,12/US$ pada penutupan perdagangan Jumat (24/7/2020) menguat 0,81% dari level 106,99/US$ pada penutupan Jumat lalu (17/7/2020). Sementara terhadap rupiah, mata uang yen juga menguat sebesar 0,26% ke level Rp 136,96/JPY dari Rp 136,61/JPY.
Berikutnya ada obligasi, investasi jenis obligasi membuat Anda harus menanamkan sejumlah modal untuk sebuah perusahaan tertentu. Dimana nantinya Anda akan mendapatkan surat mengenai saham obligasi tersebut. Dalam surat akan tertera berapa jumlah dan berapa lama Anda akan memberikan pinjaman pada perusahaan tersebut.
Selain itu, ada juga obligasi ritel negara, imbal hasilnya dapat dibayarkan setiap bulan dan dapat diperdagangkan di pasar sekunder, biasanya lebih tinggi dari rata-rata deposito bank BUMN. Ada dua produk, pertama yaitu obligasi negara ritel (ORI) dan sukuk ritel (SR).
Sebagai informasi, hasil penjualan Obligasi Ritel negara Seri ORI017 yang berakhir pada 9 Juli 2020 sebesar Rp18,33 triliun. Minat masyarakat terhadap ORI 017 ini sangat besar, hal ini terlihat dari pemesanan yang sudah melebihi target penerbitan senilai Rp 10 Triliun. Apalagi ORI 017 bersifat tradable atau bisa diperdagangkan kembali setelah masa holding period.
Meski ditawarkan saat pandemi Covid-19, masyarakat ternyata cukup antusias untuk menyerap ORI017. Terbukti seri ORI017 ini memecahkan rekor penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) ritel tertinggi sejak dijual secara online pada 2018 lalu. Hal ini baik secara nominal, jumlah total investor hingga jumlah investor baru.
Sebanyak 2.002 orang investor tercatat membeli ORI017 dengan nominal Rp 1 juta, angka ini naik 123% dibanding dengan pembelian sebelumnya yaitu ORI016 dengan nominal yang sama.
Berdasarkan keterangan resmi Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan Kementerian Keuangan RI di Jakarta, Senin (13/7/2020) dari total investor ORI017 sebanyak 42.733 orang, porsi investor baru lebih dominan, yaitu 56% dari total investor atau sebanyak 23.949 orang.
Sementara mengacu data sepekan ini, harga obligasi rupiah pemerintah Indonesia yang bertenor 10 tahun terapresiasi 1,94% dengan penurunan yield 13,4 basis poin (bps) menjadi 6,909% dari 7,043%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder, sehingga ketika harga naik maka akan menekan yield turun, begitupun sebaliknya. Yield menjadi acuan keuntungan investor di pasar surat utang dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
Sementara saham, yang tercermin dari Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan sepanjang pekan ini terpantau menguat tipis sebesar 0,07% ke level 5.082,99 pada penutupan perdagangan Jumat kemarin (24/7/2020) dari level 5.079,58 pada penutupan perdagangan Jumat lalu (17/7/2020).
Dari keempat jenis instrumen investasi, yaitu emas, valas, obligasi dan saham, yang paling menguntungkan sepanjang pekan ini adalah investasi emas yang naik sebesar 3,67% diikuti oleh obligasi yang menguat 1,94%, lalu valas untuk mata uang yen sebagai safe haven yang sebesar 0,26% dan terakhir adalah saham yang menguat tipis hanya sebesar 0,07%.
Bagaimanapun juga, harga emas akan mendapat dukungan dari kebijakan bank sentral global yang menerapkan tingkat suku bunga rendah. Selain itu, kebijakan bank sentral di sejumlah negara dalam memberikan pelonggaran kuantitatif (QE) dengan membeli aset-aset finansial berbasis utang yang memicu penurunan yield (imbal hasil obligasi) juga membuat emas menjadi lebih menarik di mata investor.
Stimulus besar-besaran menjadi pendukung harga emas untuk menguat lantaran adanya ancaman inflasi yang nyata ke depannya. Emas sebagai aset lindung nilai (hedging) atau safe haven jadi kebanjiran permintaan ketika ada ancaman inflasi yang tinggi dan penurunan nilai tukar mata uang.
"Orang menggunakan emas sebagai aset safe-haven dan juga banyak yang percaya bahwa inflasi akan naik di kuartal mendatang," kata Phil Streible, kepala strategi pasar di Blue Line Futures di Chicago, melansir Reuters.
TIM RISET CNBC INDONESIA