
Waspada! Yield Obligasi Tinggi, Perusahaan Tahan Eskpansi
Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
14 September 2018 18:08

Jakarta, CNBC Indonesia - Koreksi harga pasar surat berharga negara (SBN) yang sudah terjadi sejak awal tahun sudah mengangkat tingkat imbal hasil (yield). Kenaikan yield tersebut membuat cost of fund yang harus dikeluarkan untuk menerbitkan surat utang, sehingga sejumlah perusahaan menunda penerbitan obligasi.
Hal tersebut tercermin dari yield salah satu SBN yang jadi acuan utama yaitu seri FR0064 yang bertenor 10 tahun. Koreksi harga telah mengangkat yield acuan 10 tahun sebesar 221 basis poin (bps) dari posisi akhir 2017 6,4% menjadi 8,52%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Bagaimana hubungan antara yield pasar obligasi pemerintah di pasar dengan keengganan korporasi menerbitkan instrumen utangnya di pasar modal? Berapa selisihnya?
Sesuai dengan prinsip risiko instrumen investasi, di mana suku bunga tidak berisiko (atau berisiko sangat kecil) tentu menjadi acuan bagi instrumen investasi lain. Dari kelasnya, urutan pertama yang dapat menjadi acuan investasi surat berharga tentulah suku bunga acuan bank sentral Indonesia, yaitu suku bunga reverse repo 7 hari (7 days reverse repo rate/7DRRR). Saat ini 7DRRR berada pada 5,5%.
Setelah suku bunga itu, di posisi kedua ada deposito berjangka perbankan, terutama BUMN yang bunganya lumrah lebih murah (rendah) dibandingkan swasta. Saat ini rerata suku bunga deposito berjangka 12 bulan yang ditawarkan 19 bank utama di Indonesia sebesar 4,96%.
Suku bunga Deposito Berjangka (TD) 12
*) Suku bunga 12 bulan terendah
Sumber: Cermati.com
Untuk instrumen yang risikonya lebih tinggi daripada deposito, tentu return yang diharapkan lebih tinggi. Setelah deposito, obligasi negara tentu menjadi pilihan. Saat ini ada 39 seri surat berharga negara (SBN) rupiah yang beredar dan dapat ditransaksikan, dan untuk mengetahui pergerakannya biasanya pelaku pasar surat utang mengacu pada empat seri acuan (benchmark).
Dari seluruh seri acuan itu, seri FR0064 yang bertenor 10 tahun menjadi salah satu seri yang paling sering diperhatikan dan ditransaksikan di pasar. Seperti yang sudah disebutkan di atas, yield SBN 10 tahun sedang berada pada 8,52%.
Setelah SBN, ada surat utang korporasi. Saat ini, salah satu yield obligasi korporasi yang paling bisa dijadikan acuan adalah yang memiliki peringkat A dan bertenor 5 tahun.
Tenor 5 tahun menjadi salah satu tenor yang paling umum digunakan sebuah perusahaan untuk menentukan waktu jatuh tempo obligasinya yang akan terbit. Setelah tenor 5 tahun, ada tenor 3 tahun dan tenor 1 tahun. Obligasi tenor 7 tahun pernah diterbitkan, tetapi jarang, apalagi tenor yang 10 tahun.
Untuk tenor 5 tahun tersebut itu, berdasarkan harga wajar obligasi harian yang dikeluarkan PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI, Indonesia Bond Pricing Agency) kemarin, selisihya dengan SBN tenor serupa 229 basis poin.
Saat ini, seri SBN acuan 5 tahun berada pada 8,41%, sehingga yield wajar obligasi korporasi tenor 5 tahun adalah 10,7%. Sebut saja perusahaan ini bernama PT Satu Tbk.
Yield wajar itu juga lumrah dijadikan acuan penetapan kupon obligasi korporasi yang baru terbit, atau yang biasa disebut beban penerbitan atau beban pinjaman (cost of fund). Sehingga, angka 10,7% juga dapat disebut sebagai kupon wajar obligasi korporasi yang diterbitkan sekarang ini, ketika pasar sedang berkontraksi.
Dari obligasi korporasi berperingkat A dan bertenor 5 tahun tersebut, tentu penentuan kuponnya akan mengacu pada SBN tenor sama. Jika koreksi yang terjadi di pasar SBN terjadi sejak tahun lalu langsung disandingkan dengan kenaikan yield, maka angka pengurang yaitu 221 bps yang bertemu dengan 10,7% akan menghasilkan yield wajar 8,49%. Sebut saja perusahaan kedua ini dengan sebutan PT Dua Tbk yang lebih dulu menerbitkan obligasi pada akhir tahun lalu.
Angka 8,49% juga dapat disebut sebagai kupon wajar penerbitan obligasi korporasi bertenor 5 tahun berperingkat A yang terbit pada akhir 2017. Kedua angka kupon wajar, yaitu 8,49% dan 10,7% tentu menjadi angka yang dapat membandingkan kenaikan cost of fund perusahaan yang ingin menerbitkan obligasi di dua waktu yang berbeda, PT Dua Tbk pada akhir 2017 dan PT Satu Tbk pada September 2018.
Dengan penghitungan yang disederhanakan, jika penerbitan kedua instrumen sama-sama Rp 1 triliun, maka kupon yang harus dibayarkan perusahaan PT Satu Tbk yang menerbitkan dengan kupon 10,7% adalah 10,7% x Rp 1 triliun = Rp 107 miliar per tahun x 5 tahun = Rp 535 miliar.
Bandingkan dengan PT Dua Tbk yang menerbitkan obligasi dengan kupon 8,49% adalah 8,49% x Rp 1 triliun = Rp 84,9 miliar per tahun x 5 tahun = Rp 424,5 miliar. Sehingga, selisih kupon yang harus dibayarkan antara PT Satu Tbk dan PT Dua Tbk adalah Rp 110,5 miliar.
Cost of fund yang lebih tinggi itulah biasanya yang dapat membuat perusahaan yang agresif justru bersemangat menerbitkan instrumen utang baru, dibandingkan dengan menunggu tren kenaikan suku bunga tahun depan yang justru semakin jelas potensi kenaikannya.
Pada 26 September tahun ini, bank sentral AS berpotensi menaikkan suku bunga satu kali, dan hingga akhir tahun juga berpotensi naik sekali lagi. Tahun depan, jika kondisi memungkinkan, bank sentral AS juga berpotensi menaikkan suku bunga minimal sekali lagi. Setiap kenaikan suku bunga AS yaitu Fed Fund Rate, ada kemungkinan akan disusul kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia.
Hal serupa yang lebih miris pasti juga dirasakan oleh perusahaan yang memerlukan dana berdenominasi dolar AS, yang membuat mereka harus mendapatkan dana dari penerbitan obligasi denominasi asing juga di tengah kondisi pelemahan rupiah, yang berarti ada dua beban dalam satu waktu yaitu dolar AS dan kupon.
Bagi perusahaan yang lebih konservatif dan moderat, tentu pilihan utama yang muncul adalah mundur perlahan dan menunda rencana penerbitan instrumen, atau bahkan membatalkannya sama sekali sambil menunggu kondisi lebih adem dan mencari alternatif pendanaan lain.
Cara lain tersebut adalah dengan cara menjual sebagian saham perusahaan sendiri atau anak usaha kepada publik (IPO), atau kepada investor strategis (private placement).
Untuk perusahaan yang sudah tercatat di bursa (listing), maka pendanaan yang paling murah saat ini (dibandingkan dengan menerbitkan obligasi atau pinjaman bank yang akan naik seiring dengan tren suku bunga) tentu penerbitan saham baru (rights issue).
Tunda Penerbitan
Kenaikkan yield tersebut menjadi pemicu sejumlah perusahaan menunda penerbitan obligasi. Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menyebutkan memiliki mandat pemeringkatan untuk instrumen surat utang dalam bentuk obligasi dan surat utang jangka menengah (medium term notes/MTN) senilai Rp 70 triliun. Namun Rp 20 triliun diantaranya tak jadi terbit karena kenaikan kupon.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/hps) Next Article Beli SBN di Pasar Sekunder Lebih Cuan? Ini Penjelasannya
Hal tersebut tercermin dari yield salah satu SBN yang jadi acuan utama yaitu seri FR0064 yang bertenor 10 tahun. Koreksi harga telah mengangkat yield acuan 10 tahun sebesar 221 basis poin (bps) dari posisi akhir 2017 6,4% menjadi 8,52%. Besaran 100 bps setara dengan 1%.
Bagaimana hubungan antara yield pasar obligasi pemerintah di pasar dengan keengganan korporasi menerbitkan instrumen utangnya di pasar modal? Berapa selisihnya?
Setelah suku bunga itu, di posisi kedua ada deposito berjangka perbankan, terutama BUMN yang bunganya lumrah lebih murah (rendah) dibandingkan swasta. Saat ini rerata suku bunga deposito berjangka 12 bulan yang ditawarkan 19 bank utama di Indonesia sebesar 4,96%.
Suku bunga Deposito Berjangka (TD) 12
Bank | Suku bunga | |
Bank Mandiri Tbk, PT | 4.25% | |
Bank Negara iNondiesa Tbk, PT | 4.50% | |
Bank Rakyat Indonesia Tbk, PT | 4.5% | |
Bank Central Asia Tbk, PT | 5% | |
Bank Pan Indonesia Tbk, PT | 5.75% | |
BPD Jawa Barat Tbk, PT | 5.50% | |
Bank CIMB Niaga Tbk, PT | 5.75% | |
Bank Tabungan Negara Tbk, PT | 5.25% | |
Bank Mayapada Tbk, PT | 5.00% | |
Bank Tabungan Pensiunan Nasional Tbk, PT | 6.25% | |
BTPN Jenius | 5.25% | |
BPD DKI Jakarta, PT | 5.25% | |
Bank OCBC NISP Tbk, PT | 4.8% | |
Bank Danamon Indonesia Tbk | 5% | |
Bank Bukopin Tbk, PT | 5.50% | |
Bank Sinarmas Tbk, PT | 5.00% | |
Bank Maybank Indonesia Tbk, PT | 4.25% | |
Bank Mega Tbk | 4.00% | |
Bank UOB Indonesia | 3.50% | |
Rerata | 4.96% | |
*) di bawah Rp 2 miliar | ||
Sumber: Cermati.com |
Sumber: Cermati.com
Untuk instrumen yang risikonya lebih tinggi daripada deposito, tentu return yang diharapkan lebih tinggi. Setelah deposito, obligasi negara tentu menjadi pilihan. Saat ini ada 39 seri surat berharga negara (SBN) rupiah yang beredar dan dapat ditransaksikan, dan untuk mengetahui pergerakannya biasanya pelaku pasar surat utang mengacu pada empat seri acuan (benchmark).
Dari seluruh seri acuan itu, seri FR0064 yang bertenor 10 tahun menjadi salah satu seri yang paling sering diperhatikan dan ditransaksikan di pasar. Seperti yang sudah disebutkan di atas, yield SBN 10 tahun sedang berada pada 8,52%.
Setelah SBN, ada surat utang korporasi. Saat ini, salah satu yield obligasi korporasi yang paling bisa dijadikan acuan adalah yang memiliki peringkat A dan bertenor 5 tahun.
Tenor 5 tahun menjadi salah satu tenor yang paling umum digunakan sebuah perusahaan untuk menentukan waktu jatuh tempo obligasinya yang akan terbit. Setelah tenor 5 tahun, ada tenor 3 tahun dan tenor 1 tahun. Obligasi tenor 7 tahun pernah diterbitkan, tetapi jarang, apalagi tenor yang 10 tahun.
Untuk tenor 5 tahun tersebut itu, berdasarkan harga wajar obligasi harian yang dikeluarkan PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI, Indonesia Bond Pricing Agency) kemarin, selisihya dengan SBN tenor serupa 229 basis poin.
Saat ini, seri SBN acuan 5 tahun berada pada 8,41%, sehingga yield wajar obligasi korporasi tenor 5 tahun adalah 10,7%. Sebut saja perusahaan ini bernama PT Satu Tbk.
![]() risk, return, investasi |
Yield wajar itu juga lumrah dijadikan acuan penetapan kupon obligasi korporasi yang baru terbit, atau yang biasa disebut beban penerbitan atau beban pinjaman (cost of fund). Sehingga, angka 10,7% juga dapat disebut sebagai kupon wajar obligasi korporasi yang diterbitkan sekarang ini, ketika pasar sedang berkontraksi.
Dari obligasi korporasi berperingkat A dan bertenor 5 tahun tersebut, tentu penentuan kuponnya akan mengacu pada SBN tenor sama. Jika koreksi yang terjadi di pasar SBN terjadi sejak tahun lalu langsung disandingkan dengan kenaikan yield, maka angka pengurang yaitu 221 bps yang bertemu dengan 10,7% akan menghasilkan yield wajar 8,49%. Sebut saja perusahaan kedua ini dengan sebutan PT Dua Tbk yang lebih dulu menerbitkan obligasi pada akhir tahun lalu.
Angka 8,49% juga dapat disebut sebagai kupon wajar penerbitan obligasi korporasi bertenor 5 tahun berperingkat A yang terbit pada akhir 2017. Kedua angka kupon wajar, yaitu 8,49% dan 10,7% tentu menjadi angka yang dapat membandingkan kenaikan cost of fund perusahaan yang ingin menerbitkan obligasi di dua waktu yang berbeda, PT Dua Tbk pada akhir 2017 dan PT Satu Tbk pada September 2018.
Dengan penghitungan yang disederhanakan, jika penerbitan kedua instrumen sama-sama Rp 1 triliun, maka kupon yang harus dibayarkan perusahaan PT Satu Tbk yang menerbitkan dengan kupon 10,7% adalah 10,7% x Rp 1 triliun = Rp 107 miliar per tahun x 5 tahun = Rp 535 miliar.
Bandingkan dengan PT Dua Tbk yang menerbitkan obligasi dengan kupon 8,49% adalah 8,49% x Rp 1 triliun = Rp 84,9 miliar per tahun x 5 tahun = Rp 424,5 miliar. Sehingga, selisih kupon yang harus dibayarkan antara PT Satu Tbk dan PT Dua Tbk adalah Rp 110,5 miliar.
Cost of fund yang lebih tinggi itulah biasanya yang dapat membuat perusahaan yang agresif justru bersemangat menerbitkan instrumen utang baru, dibandingkan dengan menunggu tren kenaikan suku bunga tahun depan yang justru semakin jelas potensi kenaikannya.
Pada 26 September tahun ini, bank sentral AS berpotensi menaikkan suku bunga satu kali, dan hingga akhir tahun juga berpotensi naik sekali lagi. Tahun depan, jika kondisi memungkinkan, bank sentral AS juga berpotensi menaikkan suku bunga minimal sekali lagi. Setiap kenaikan suku bunga AS yaitu Fed Fund Rate, ada kemungkinan akan disusul kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia.
Hal serupa yang lebih miris pasti juga dirasakan oleh perusahaan yang memerlukan dana berdenominasi dolar AS, yang membuat mereka harus mendapatkan dana dari penerbitan obligasi denominasi asing juga di tengah kondisi pelemahan rupiah, yang berarti ada dua beban dalam satu waktu yaitu dolar AS dan kupon.
Bagi perusahaan yang lebih konservatif dan moderat, tentu pilihan utama yang muncul adalah mundur perlahan dan menunda rencana penerbitan instrumen, atau bahkan membatalkannya sama sekali sambil menunggu kondisi lebih adem dan mencari alternatif pendanaan lain.
Cara lain tersebut adalah dengan cara menjual sebagian saham perusahaan sendiri atau anak usaha kepada publik (IPO), atau kepada investor strategis (private placement).
Untuk perusahaan yang sudah tercatat di bursa (listing), maka pendanaan yang paling murah saat ini (dibandingkan dengan menerbitkan obligasi atau pinjaman bank yang akan naik seiring dengan tren suku bunga) tentu penerbitan saham baru (rights issue).
Tunda Penerbitan
Kenaikkan yield tersebut menjadi pemicu sejumlah perusahaan menunda penerbitan obligasi. Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) menyebutkan memiliki mandat pemeringkatan untuk instrumen surat utang dalam bentuk obligasi dan surat utang jangka menengah (medium term notes/MTN) senilai Rp 70 triliun. Namun Rp 20 triliun diantaranya tak jadi terbit karena kenaikan kupon.
Direktur Utama Pefindo Salyadi Saputra mengatakan mayoritas perusahaan tersebut tak jadi menerbitkan surat utang lantaran rating yang diperoleh tak sesuai dengan ekspektasi perusahaan, sehingga tingkat kupon dari surat utang tersebut akan lebih tinggi dari yang ditargetkan sebelumnya.
"Paling banyak karena rating tidak sesuai jadi ratingnya tidak cukup bagus rating dengan target sebelumnya. Kebetulan paling banyak MTN rencananya mereka, bukan obligasi," kata Salyadi kepada CNBC Indonesia, Selasa (21/8).
Dia merinci, dari nilai Rp 20 triliun tersebut sebesar Rp 15 triliunnya berupa MTN yang diterbitkan oleh beberapa korporasi dan empat diantaranya akan diterbitkan perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Sementara Rp 5 triliun lainnya adalah instrumen obligasi.
"Kalau yang Rp 5 triliun ini karena tidak terlalu butuh, mungkin likuiditas perusahaannya bagus jadi kalau mau menerbitkan obligasi bisa tahun depan," kata dia.
Menurut dia, kenaikan suku bunga oleh Bank Indonesia sepanjang tahun ini sebesar 125 bps hingga ke 5,5% tak terlalu berpengaruh pada potensi penerbitan surat utang. Alasannya karena biasanya korporasi sudah memperkirakan kenaikan suku bunga tersebut.
"Paling banyak karena rating tidak sesuai jadi ratingnya tidak cukup bagus rating dengan target sebelumnya. Kebetulan paling banyak MTN rencananya mereka, bukan obligasi," kata Salyadi kepada CNBC Indonesia, Selasa (21/8).
Dia merinci, dari nilai Rp 20 triliun tersebut sebesar Rp 15 triliunnya berupa MTN yang diterbitkan oleh beberapa korporasi dan empat diantaranya akan diterbitkan perusahaan yang tercatat di Bursa Efek Indonesia. Sementara Rp 5 triliun lainnya adalah instrumen obligasi.
"Kalau yang Rp 5 triliun ini karena tidak terlalu butuh, mungkin likuiditas perusahaannya bagus jadi kalau mau menerbitkan obligasi bisa tahun depan," kata dia.
Menurut dia, kenaikan suku bunga oleh Bank Indonesia sepanjang tahun ini sebesar 125 bps hingga ke 5,5% tak terlalu berpengaruh pada potensi penerbitan surat utang. Alasannya karena biasanya korporasi sudah memperkirakan kenaikan suku bunga tersebut.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/hps) Next Article Beli SBN di Pasar Sekunder Lebih Cuan? Ini Penjelasannya
Most Popular