
Begini Korelasi Kenaikan Bunga Acuan BI & Obligasi Korporasi
Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
23 August 2018 16:45

Premium ini merupakan pemanis jika peringkat (rating) obligasi baru yang berniat ditawarkan lebih rendah dibandingkan dengan acuannya, yang juga mencerminkan lebih besarnya risiko yang harus ditanggung calon investor. Kembali ke konsep awal investasi, high risk= high return, higher risk= higher coupon.
Begini simulasinya. Satu emiten swasta produsen susu menerbitkan obligasi senilai Rp 1 triliun dengan tenor 3 tahun yang berkupon 8% berperingkat AA. Sebut saja namanya PT AA.
Baru berjalan setahun, ada perusahaan lain dari sektor persusuan yang ingin menerbitkan obligasi korporasi bertenor 3 tahun dengan besaran sama yaitu Rp 1 triliun, tetapi rating yang dia dapat hanya A karena perusahaan lebih kecil dan lebih berisiko. Mari sebut dia PT A.
PT A ini akhirnya perlu menjadikan kupon dan tingkat imbal hasil (yield) obligasi susu PT AA sebagai acuan penentuan kupon obligasinya yang akan terbit.
Mari asumsikan yield PT AA sudah turun dari 8% menjadi 7,5% setelah setahun berada di pasar. Namun, seiring dengan adanya kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia, yield obligasi itu di pasar merambat naik menjadi 7,8% akibat aksi jual investor di pasar. Aksi jual berarti harga turun, yang berarti ada kenaikan yield. Pergerakan harga dan yield saling bertolak belakang di pasar.
Belum selesai di angka 7,8% saja, karena PT A juga perlu menambah premium kepada kupon obligasinya agar menarik lebih banyak calon investor untuk memberli efek surat utangnya tadi. Misalnya premium ditetapkan 1% dari angka acuan, yang berarti kupon penetapan PT A adalah 8,8% untuk obligasinya yang tenor 3 tahun.
Itulah beban dana (cost of fund) yang harus dibayarkan PT A setelah adanya kenaikan suku bunga acuan. Jika tidak ada kenaikan suku bunga acuan, atau dia menunda penerbitan hingga suku bunga acuan kembali turun, maka kupon yang ditetapkan untuk obligasinya bisa lebih kecil dari 8,8%.
Pilihan tentu tergantung oleh puluhan hal. Namun, semua tergantung dengan strategi masing-masing pihak. Jika mendesak, tetap terbitkan obligasi. Jika bisa menunggu, tunggulah dengan mempersiapkan hal lain.
(irv/hps)
Begini simulasinya. Satu emiten swasta produsen susu menerbitkan obligasi senilai Rp 1 triliun dengan tenor 3 tahun yang berkupon 8% berperingkat AA. Sebut saja namanya PT AA.
Baru berjalan setahun, ada perusahaan lain dari sektor persusuan yang ingin menerbitkan obligasi korporasi bertenor 3 tahun dengan besaran sama yaitu Rp 1 triliun, tetapi rating yang dia dapat hanya A karena perusahaan lebih kecil dan lebih berisiko. Mari sebut dia PT A.
Mari asumsikan yield PT AA sudah turun dari 8% menjadi 7,5% setelah setahun berada di pasar. Namun, seiring dengan adanya kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia, yield obligasi itu di pasar merambat naik menjadi 7,8% akibat aksi jual investor di pasar. Aksi jual berarti harga turun, yang berarti ada kenaikan yield. Pergerakan harga dan yield saling bertolak belakang di pasar.
Belum selesai di angka 7,8% saja, karena PT A juga perlu menambah premium kepada kupon obligasinya agar menarik lebih banyak calon investor untuk memberli efek surat utangnya tadi. Misalnya premium ditetapkan 1% dari angka acuan, yang berarti kupon penetapan PT A adalah 8,8% untuk obligasinya yang tenor 3 tahun.
Itulah beban dana (cost of fund) yang harus dibayarkan PT A setelah adanya kenaikan suku bunga acuan. Jika tidak ada kenaikan suku bunga acuan, atau dia menunda penerbitan hingga suku bunga acuan kembali turun, maka kupon yang ditetapkan untuk obligasinya bisa lebih kecil dari 8,8%.
Pilihan tentu tergantung oleh puluhan hal. Namun, semua tergantung dengan strategi masing-masing pihak. Jika mendesak, tetap terbitkan obligasi. Jika bisa menunggu, tunggulah dengan mempersiapkan hal lain.
![]() |
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular