Newsletter

AS Beri Dua Kabar Gembira Sekaligus! Pasar RI Happy Weekend?

Muhammad Reza Ilham Taufani, CNBC Indonesia
11 August 2023 06:12
Bendera AS
Foto: AFP via Getty Images/SUZANNE CORDEIRO
  • IHSG dan rupiah menguat pada perdagangan kemarin tetapi SBN masih diburu investor
  • Wall Street menguat setelah inflasi AS bergerak di bawah ekspektasi pasar
  • Data inflasi AS dan klaim pengangguran serta perkembangan di China akan menjadi sentimen utama pasar hari ini

Jakarta, CNBC Indonesia- Pasar keuangan Tanah Air secara mayoritas terapresiasi pada perdagangan kemarin, hari Kamis (10/8/2023). Mata uang rupiah perkasa terhadap dolar AS, bursa saham menguat, dan Surat Berharga Negara (SBN) mengalami kenaikan harga, sehingga yield turun.

Kenaikan pasar keuangan domestik terjadi di tengah penantian pasar global menantikan data-data penting Amerika Serikat (AS) yang baru dirilis kemarin malam.

Negeri Paman Sam mencatatkan inflasi sebesar 3,2% secara tahunan (year-on-year/Yoy) pada Juli 2023. Sementara itu penggerak market juga datang dari keributan perang dagang antara AS dan China terkait pembatasan investasi tertentu Paman Sam di bidang teknologi tinggi di China.

Kabar terbaru juga datang dari harga komoditas, khususnya gas alam Eropa yang melonjak hingga 29%. Selain itu, terdapat transaksi negosiasi yang menyebabkan pasar mengalami turnover tinggi dan net foreign sell hingga Rp 17,9 triliun.

Selengkapnya mengenai sentimen penggerak pasar bisa dibaca pada halaman 3 dan 4 artikel ini.

IHSG pada perdagangan kemarin ditutup naik tipis 0,26% ke posisi 6.893,28 bahkan sempat menembus level psikologis 6.900 dan ditutup 7 poin di bawah level psikologis.

Nilai transaksi indeks pada perdagangan terakhir terbilang sepi, meski total nilai transaksi berada di Rp 27,5 triliun. Namun, bursa mencatat terdapat Rp18,5 triliun transaksi negosiasi. Artinya, tanpa adanya transaksi negosiasi tersebut nilai transaksi berada di sekitar Rp9 triliun saja.

Perdagangan melibatkan 23,8 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,2 juta kali.

Sebanyak 265 saham terapresiasi, 253 saham terdepresiasi, dan 326 saham lainnya stagnan.
Kenaikan IHSG sejalan dengan investor asing yang mencatatkan aksi jual bersih(net sell)mencapai negatif Rp17,9 triliun di seluruh pasar pada perdagangan kemarin.

Namun net foreign sell ini disebabkan oleh adanya crossing dalam transaksi negosiasi. Jika hanya menggunakan transaksi di pasar reguler, asing mencatatkan net buy sebesar Rp429 miliar.

Secara sektoral, sektor energi menjadi penopang terbesar IHSG pada perdagangan kemarin, yakni naik 1.99%.

Sejalan dengan sektor energi yang menjadi penopang terbesar IHSG kemarin, PT Bayan Resources Tbk (BYAN) mengalami kenaikan sebesar 10.684 indeks poin. Sahamnya melesat 3,58%.

Kenaikan bursa Indonesia seiring dengan menguatnya bursa Asia-Pasifik pada perdagangan kemarin. Indeks Shanghai SSEC, Nikkei Jepang, dan Hang Seng HK50, SET Thailand, STI Index Singapore berada di zona hijau.

Sebaliknya, Taiwan TWII, PSEi Filipina, KOSPI Korea Selatan (KS11), KLSE Malaysia, berada di zona merah.

Tidak hanya pasar saham yang menguat, mata uang rupiah turut menguat di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Merujuk dari Refinitiv, rupiah ditutup menguat tipis 0,07% terhadap dolar AS di angka Rp15.180/US$1 pada perdagangan kemarin, Kamis (10/8/2023).

Rupiah sempat melemah di awal perdagangan dan menyentuh titik tertinggi Rp15.215/US$1. Penguatan ini memperpanjang penguatan kemarin yang terapresiasi sebesar 0,16% ke Rp15.190 dan semakin menjauhi level Rp15.200/US$1.

Kendati menguat, rupiah masih rawan tekanan. Staf Bidang Ekonomi, Industri, dan Global Markets dari Bank Maybank Indonesia Myrdal Gunarto memproyeksikan rupiah akan bergerak di angka Rp15.083 hingga Rp15.345. Menurutnya, angka tersebut merupakan proyeksi untuk satu pekan ke depan.

Ia pun berharap agar perekonomian Indonesia terus menunjukkan pertumbuhan yang solid hingga akhir tahun ini dengan performa ekspor yang yang masih menggeliat.
Ekspor relatif kuat karena komoditas andalan ekspor tidak mengalami penurunan harga yang sangat drastis.

Dia mengatakan Bank Indonesia juga masih bersikap akomodatif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dengan tetap menjaga bunga moneter di 5,75%. Suku bunga diproyeksi akan ditahan hingga akhir 2023.

Penguatan rupiah ini terjadi di tengah sikap wait and see pasar perihal data inflasi AS yang baru saja dirilis kemarin malam. 


Sementara di pasar Surat Berharga Negara (SBN), pada perdagangan penutupan pekan lalu harganya menguat, terlihat dari imbal hasil (yield) yang kembali turun.

Melansir data dariRefinitiv, imbal hasil (yield) SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara terpantau turun, menjadi di 6,328% kemarin.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga turunnya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang menguat, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%. Ketika yield turun, mengindikasikan investor sedang membeli SBN.

Dari Amerika Serikat (AS), Wall Street kompak mengakhiri perdagangan di zona hijau pada perdagangan kemarin, Kamis(10/8/2023). Menghijaunya bursa Wall Street ditopang oleh melandainya inflasi AS.

Seluruh indeks bursa AS 
berada di zona hijau. Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup menguat 0,15% atau 52,79 poin ke posisi 35.176,15.

Indeks Nasdaq mengakhiri perdagangan di posisi 13.737,99, menguat 0,12% atau 15,97 poin. Indeks S&P 500 menguat 0,03% atau 1,12 poin ke posisi 4.468,83.

Indeks menguat setelah data inflasi AS dan klaim pengangguran mendukung optimism pasar jika bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) akan segera melunak.
Biro Statistik Ketenagakerjaan AS mengumumkan inflasi AS mencapai 3,2% (yoy) pada Juli tahun ini atau lebih tinggi dibandingkan pada Juni yang tercatat 3,0% (yoy).

Kenaikan inflasi tersebut menjadi yang pertama kali dalam setahun terakhir, setelah dalam 12 bulan berturut-turut mencatatkan penurunan indeks harga konsumen (IHK). Meskipun demikian, kenaikan tersebut sedikit di bawah ekspektasi sebesar 3,3% YoY)

Inflasi AS sempat menyentuh 9,1% YoY pada Juni 2022, tertinggi dalam 40 tahun terakhir akibat melonjaknya harga komoditas global, tertutama di sektor energi, yang dipicu perang Rusia-Ukraina.

Adapun, inflasi inti, yang tak mencakup harga bergejolak tercatat sebesar 4,7% YoY pada Juli 2023, turun tipis dari dari bulan sebelumnya dan ekspektasi ekonom sebesar 4,8%% Yoy.

Sementara itu, secara bulanan (month-to-month/MtM) inflasi AS pada Juli 2023 tercatat sebesar 0,2%, tak berubah dari bulan sebelumnya dan sesuai dengan ekspektasi pasar.

Negeri Paman Sam juga merilis data klaim pengangguran untuk pekan yang berakhir pada 5 Agustus. Jumlah pekerja yang mengajukan klaim pengangguran melonjak hingga mencapai 248 ribu. Jumlah ini lebih tinggi dari perkiraan consensus di 230 ribu.

Lonjakan data klaim pengangguran ini menjadi sinyal jika data tenaga kerja AS sudah mulai mendingin. Artinya, ada peluang inflasi semakin menurun ke depan sehingga ada harapan jika The Fed bisa melunak secepatnya.

Pasar keuangan AS juga masih ramai dengan rilis data keuangan. Disney mengalami kenaikan harga 2%, seiring dengan kenaikan harga langganan Disney+ untuk bebas iklan. Raksasa media itu juga melaporkan laba yang mengalahkan ekspektasi.

Namun, saham Six Flags turun 2,6% akibat laporan yang lebih buruk dari perkiraan.

Lebih dari 90% perusahaan S&P 500 telah melaporkan pendapatan untuk kuartal kedua. Dari data yang telah dihasilkan, sekitar empat perlima telah mengalahkan ekspektasi Wall Street, menurut FactSet.

Sentimen penggerak pasar hari ini datang dari kabar utama yang dinantikan pelaku pasar global yaitu inflasi Amerika Serikat (AS).

Pergerakan pasar keuangan global juga dipengaruhi oleh ketegangan dalam perang dagang yang terus berlanjut antara Amerika Serikat (AS) dan China. Selain itu, perhatian juga tertuju pada pergerakan harga komoditas, terutama gas alam di Eropa yang mengalami kenaikan signifikan sebesar 29%.

Selain itu, terdapat transaksi negosiasi yang menyebabkan pasar mengalami turnover tinggi dan net foreign sell hingga Rp 17,9 triliun.

Dimulai dari rilis data Indeks Harga Konsumen (CPI) AS semalam. Inflasi Amerika pada tercatat 3,2% (yoy). Inflasi sebenarnya lebih tinggi dibandingkan Juni yang tercatat 3% tetapi inflasi bergerak di bawah ekspektasi pasar.
Konse
nsus para ekonom memperkirakan ekonomi akan menyentuh 3,3%. Secara bulanan (month-to-month/mtm), inflasi mencapai  0,2%, sejalan dengan perkiraan.

Inflasi inti- diluar harga komoditas energi dan pangan- mencapai 4,7% (yoy) dan 0,2% (mtm) pada Juli.

Data ini menunjukkan bahwa inflasi secara tahunan, baik inti maupun umum, masih jauh berada di atas level target bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) di kisaran 2%.

Kendati inflasi masih di atas target The Fed tetapi pelaku pasar merespon positif. Pelaku pasar tetap melihat ada potensi The Fed mulai melunak setelah September mendatang.

Pasar AS Wall Street merespon rilis data ini secara positif dengan mayoritas pasar berada di zona hijau. Inflasi yang mulai terkendali menjadi angin segar, sebab The Fed berpotensi dovish atau lebih tidak agresif dengan kebijakan pengetatan.

Setelah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 11 kali sejak Maret 2022, pemangku kebijakan bank sentral AS diperkirakan akan lebih mengerem kenaikan suku bunganya pada bulan September.

Awal pekan ini, Presiden Fed regional John Williams dari New York dan Patrick Harker dari Philadelphia membuat komentar yang menunjukkan bahwa ada sinyal jika siklus kenaikan suku bunga akan segera berakhir.
Namun, Gubernur Michelle Bowman mengatakan dia mengharapkan lebih banyak kenaikan, sementara sesama Gubernur Christopher Waller juga telah menunjukkan kemungkinan perlunya kenaikan tambahan di masa depan.

Walau begitu, seluruh anggota menyetujui bahwa kenaikan suku bunga masih perlu dilakukan untuk memerangi inflasi.

Suku bunga yang tinggi hingga saat ini masih belum mengurangi tingkat pertumbuhan ekonomi AS dengan ancaman bayang-bayang resesi. Dua kuartal pertama semester ini AS mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 2% dan 2,4%.

Namun, tingginya suku bunga dan kenaikan harga yang tinggi menyebabkan konsumen mulai kesulitan berbelanja, sehingga beralih ke kartu kredit dan tabungan untuk belanja. Total utang kartu kredit melampaui US$1 triliun untuk pertama kalinya tahun ini, menurut data New York Fed.

Namun, lebih banyak ekonom mulai mengharapkan AS dapat menghindari resesi meskipun ada kenaikan suku bunga yang agresif. Melansir CNBC International, Bank of America, Goldman Sachs, dan JPMorgan Chase baru-baru ini memperkirakan bahwa kontraksi ekonomi semakin kecil kemungkinannya.

Negeri Paman Sam juga merilis data klaim pengangguran untuk pekan yang berakhir pada 5 Agustus.  Jumlah pekerja yang mengajukan klaim pengangguran melonjak hingga mencapai 248 ribu. Jumlah ini lebih tinggi dari perkiraan consensus di 230 ribu. 

Lonjakan data klaim pengangguran ini menjadi sinyal jika data tenaga kerja AS sudah mulai mendingin. Artinya, ada peluang inflasi semakin menurun ke depan sehingga ada harapan jika The Fed bisa melunak secepatnya.
Data tenaga kerja menjadi salah satu pertimbangan utama The Fed dalam menentukan kebijakan selain inflasi.

Hari ini, AS juga akan mengumumkan data indeks kepercayaan konsumen atau  University of Michigan consumer sentiment untuk Agustus. Indeks berada di 71,6 pada Juli, tertinggi sejak Oktober 2021.

Indeks mencerminkan keinginan masyarakat AS untuk berbelanja ke depan yang pada akhirnya mempengaruhi laju inflasi.

Sentimen selanjutnya datang dari komoditas energi Eropa yang mengalami lonjakan harga.

Harga gas alam di Eropa mengalami lonjakan yang signifikan akibat potensi gangguan pasokan global gas alam cair (Liquified Natural Gas/LNG) dari Australia.

Masalah utama dalam pasokan gas ini dipicu oleh laporan tentang rencana aksi mogok yang dilakukan oleh para pekerja di kilang LNG Australia milik Chevron dan Woodside.

Pekerja memprotes demi mendapatkan gaji yang lebih tinggi dan kondisi kerja yang lebih baik. Meskipun stok gas di penyimpanan Uni Eropa (UE) meningkat mendekati kapasitas maksimalnya, krisis energi yang telah menghantui benua ini selama hampir dua tahun belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Akibatnya, pasar tetap gelisah terhadap kerentanan pasokan gas alam.

Lonjakan harga gas berimbas positif kepada harga batu bara yang menjadi pesaingnya. Merujuk pada Refinitiv, harga batu bara ICE Newcastle kontrak September terus menanjak naik hingga mendekati US$ 150 per ton. 
Harga batu bara sangat dipengaruhi oleh pergerakan harga gas alam sejak Perang Rusia-Ukraina meletus Februari lalu.

Pasalnya, Eropa yang menggantungkan sekitar 45% energinya kepada Rusia memilih untuk melakukan embargo impor setelah perang. Eropa pun beralih ke batu bara sehingga harga batu bara ikut melesat.

Lonjakan harga batu bara akan sangat menguntungkan emiten-emiten yang berbasis batu bara seperti PTAdaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), PT Bumi Resources Minerals Tbk (BUMI), PT Bukit Asam (PTBA), dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG).

Selain itu, pasar domestik mengalami kenaikan nilai total transaksi kemarin.
Sebuah transaksi yang diduga crossing (tutup sendiri) terjadi di saham emiten batu bara Grup Sinar Mas PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS) pada Kamis pagi (10/8/2023).

Menurut data bursa, terdapat transaksi jual-beli sebanyak 28.487.211 lot (2.848.721.100 lembar saham) di harga Rp6.500 per saham pada pukul 09.06 WIB. Dengan demikian, nilai transaksi tersebut mencapai Rp18,52 triliun.

Sebelumnya, pada September tahun lalu, emiten batu bara PT ABM Investama Tbk (ABMM) melalui anak usahanya, merampungkan pembelian 30% saham GEMS. Perseroan memutuskan untuk berpartisipasi dalam proses Lelang yang dilakukan oleh GMR untuk membeli 30% saham GMR di GEMS.

Di pasar reguler, hal ini berdampak hampir 70% dari nilai total transaksi hari ini yang ditutup pada Rp27.5 triliun.

Sentimen lain datang dari perang dagang China-Amerika Serikat (AS). Perang dagang AS-China memasuki babak baru setelah Presiden AS Joe Biden memberi ultimatum ke pemerintah Presiden China Xi Jinping. Rabu (9/8/2023), ia resmi mengeluarkan perintah eksekutif baru untuk membatasi investasi tertentu Paman Sam di bidang teknologi tinggi di China.

Aturan baru diharapkan akan diterapkan tahun depan dan menargetkan sektor-sektor seperti semikonduktor dan kecerdasan buatan (AI). AS berdalih, Ini dilakukan karena Washington berupaya membatasi akses ke teknologi utama dari China.

Menurut Departemen Keuangan AS, program baru Biden ini diatur untuk melarang ekuitas swasta baru, modal ventura dan investasi usaha patungan di semikonduktor canggih dan beberapa teknologi informasi kuantum di China.

Sementara itu, departemen yang dipimpin Janet Yellen itu juga sedang mempertimbangkan persyaratan pemberitahuan untuk investasi AS di entitas China yang terlibat dalam semikonduktor, dan aktivitas yang berkaitan dengan jenis kecerdasan buatan tertentu.

Babak baru perang dagang China-AS ini akan menimbulkan ketidakpastian di pasar keuangan ataupun perdagangan global mengingat besarnya peran China dan AS. Secara historis, kedua negara memang kerap berkonflik mengenai perdagangan bilateral.

Selama berkonflik itu pula, pasar keuangan global berkali-kali harus menderita. Konflik paling panas salah satunya di era Presiden Donald Trump pada 2018 di mana China dan AS sama sama mengadu kepada Badan Perdagangan Dunia (WTO) pada 2018. 

Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:

  1. Rilis data belanja pemerintah Amerika Serikat periode July 2023 (01:00 WIB),
  2. Pidato The Fed Harker dan Bostic (02:00 WIB),
  3. Rilis data pertumbuhan GDP Singapore kuartal-II 2023 (07:00 WIB),
  4. Rilis data pertumbuhan GDP Inggris kuartal-II 2023 (13:00 WIB)
  5. Rilis data tingkat inflasi Indeks Harga Produsen (IHP) Amerika Serikat kuartal-II 2023 (19:30 WIB)

Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:

  1. Cum Dividen Tunai Interim PT Eastparc Hotel Tbk,
  2. Perdagangan pertama right issue PT Bank Nationalnobu Tbk,
  3. Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT Soechi Lines Tbk,
  4. Informasi Pembayaran Ijarah Fee seri SIMORA01ACN2 dan SIMORA01BCN2 ke 12 PT Mora Telematika Indonesia Tbk.

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

Indikator

Tingkat

Pertumbuhan Ekonomi (Q2-2023 YoY)

5,17%

Inflasi (Juli 2023 YoY)

3,08%

BI-7 Day Reverse Repo Rate (Juli 2023)

5,75%

Surplus Anggaran (APBN Juni 2023)

0,7% PDB

Surplus Transaksi Berjalan (Q1-2023 YoY)

0,9% PDB

Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q1-2023 YoY)

US$ 6,5 miliar

Cadangan Devisa (Juli 2023)

US$ 137,7 miliar

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular