Newsletter

AS Beri Dua Kabar Gembira Sekaligus! Pasar RI Happy Weekend?

Muhammad Reza Ilham Taufani, CNBC Indonesia
11 August 2023 06:12
bendera as dan china
Foto: REUTERS/DADO RUVIC

Sentimen penggerak pasar hari ini datang dari kabar utama yang dinantikan pelaku pasar global yaitu inflasi Amerika Serikat (AS).

Pergerakan pasar keuangan global juga dipengaruhi oleh ketegangan dalam perang dagang yang terus berlanjut antara Amerika Serikat (AS) dan China. Selain itu, perhatian juga tertuju pada pergerakan harga komoditas, terutama gas alam di Eropa yang mengalami kenaikan signifikan sebesar 29%.

Selain itu, terdapat transaksi negosiasi yang menyebabkan pasar mengalami turnover tinggi dan net foreign sell hingga Rp 17,9 triliun.

Dimulai dari rilis data Indeks Harga Konsumen (CPI) AS semalam. Inflasi Amerika pada tercatat 3,2% (yoy). Inflasi sebenarnya lebih tinggi dibandingkan Juni yang tercatat 3% tetapi inflasi bergerak di bawah ekspektasi pasar.
Konse
nsus para ekonom memperkirakan ekonomi akan menyentuh 3,3%. Secara bulanan (month-to-month/mtm), inflasi mencapai  0,2%, sejalan dengan perkiraan.

Inflasi inti- diluar harga komoditas energi dan pangan- mencapai 4,7% (yoy) dan 0,2% (mtm) pada Juli.

Data ini menunjukkan bahwa inflasi secara tahunan, baik inti maupun umum, masih jauh berada di atas level target bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) di kisaran 2%.

Kendati inflasi masih di atas target The Fed tetapi pelaku pasar merespon positif. Pelaku pasar tetap melihat ada potensi The Fed mulai melunak setelah September mendatang.

Pasar AS Wall Street merespon rilis data ini secara positif dengan mayoritas pasar berada di zona hijau. Inflasi yang mulai terkendali menjadi angin segar, sebab The Fed berpotensi dovish atau lebih tidak agresif dengan kebijakan pengetatan.

Setelah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 11 kali sejak Maret 2022, pemangku kebijakan bank sentral AS diperkirakan akan lebih mengerem kenaikan suku bunganya pada bulan September.

Awal pekan ini, Presiden Fed regional John Williams dari New York dan Patrick Harker dari Philadelphia membuat komentar yang menunjukkan bahwa ada sinyal jika siklus kenaikan suku bunga akan segera berakhir.
Namun, Gubernur Michelle Bowman mengatakan dia mengharapkan lebih banyak kenaikan, sementara sesama Gubernur Christopher Waller juga telah menunjukkan kemungkinan perlunya kenaikan tambahan di masa depan.

Walau begitu, seluruh anggota menyetujui bahwa kenaikan suku bunga masih perlu dilakukan untuk memerangi inflasi.

Suku bunga yang tinggi hingga saat ini masih belum mengurangi tingkat pertumbuhan ekonomi AS dengan ancaman bayang-bayang resesi. Dua kuartal pertama semester ini AS mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 2% dan 2,4%.

Namun, tingginya suku bunga dan kenaikan harga yang tinggi menyebabkan konsumen mulai kesulitan berbelanja, sehingga beralih ke kartu kredit dan tabungan untuk belanja. Total utang kartu kredit melampaui US$1 triliun untuk pertama kalinya tahun ini, menurut data New York Fed.

Namun, lebih banyak ekonom mulai mengharapkan AS dapat menghindari resesi meskipun ada kenaikan suku bunga yang agresif. Melansir CNBC International, Bank of America, Goldman Sachs, dan JPMorgan Chase baru-baru ini memperkirakan bahwa kontraksi ekonomi semakin kecil kemungkinannya.

Negeri Paman Sam juga merilis data klaim pengangguran untuk pekan yang berakhir pada 5 Agustus.  Jumlah pekerja yang mengajukan klaim pengangguran melonjak hingga mencapai 248 ribu. Jumlah ini lebih tinggi dari perkiraan consensus di 230 ribu. 

Lonjakan data klaim pengangguran ini menjadi sinyal jika data tenaga kerja AS sudah mulai mendingin. Artinya, ada peluang inflasi semakin menurun ke depan sehingga ada harapan jika The Fed bisa melunak secepatnya.
Data tenaga kerja menjadi salah satu pertimbangan utama The Fed dalam menentukan kebijakan selain inflasi.

Hari ini, AS juga akan mengumumkan data indeks kepercayaan konsumen atau  University of Michigan consumer sentiment untuk Agustus. Indeks berada di 71,6 pada Juli, tertinggi sejak Oktober 2021.

Indeks mencerminkan keinginan masyarakat AS untuk berbelanja ke depan yang pada akhirnya mempengaruhi laju inflasi.

Sentimen selanjutnya datang dari komoditas energi Eropa yang mengalami lonjakan harga.

Harga gas alam di Eropa mengalami lonjakan yang signifikan akibat potensi gangguan pasokan global gas alam cair (Liquified Natural Gas/LNG) dari Australia.

Masalah utama dalam pasokan gas ini dipicu oleh laporan tentang rencana aksi mogok yang dilakukan oleh para pekerja di kilang LNG Australia milik Chevron dan Woodside.

Pekerja memprotes demi mendapatkan gaji yang lebih tinggi dan kondisi kerja yang lebih baik. Meskipun stok gas di penyimpanan Uni Eropa (UE) meningkat mendekati kapasitas maksimalnya, krisis energi yang telah menghantui benua ini selama hampir dua tahun belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Akibatnya, pasar tetap gelisah terhadap kerentanan pasokan gas alam.

Lonjakan harga gas berimbas positif kepada harga batu bara yang menjadi pesaingnya. Merujuk pada Refinitiv, harga batu bara ICE Newcastle kontrak September terus menanjak naik hingga mendekati US$ 150 per ton. 
Harga batu bara sangat dipengaruhi oleh pergerakan harga gas alam sejak Perang Rusia-Ukraina meletus Februari lalu.

Pasalnya, Eropa yang menggantungkan sekitar 45% energinya kepada Rusia memilih untuk melakukan embargo impor setelah perang. Eropa pun beralih ke batu bara sehingga harga batu bara ikut melesat.

Lonjakan harga batu bara akan sangat menguntungkan emiten-emiten yang berbasis batu bara seperti PTAdaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), PT Bumi Resources Minerals Tbk (BUMI), PT Bukit Asam (PTBA), dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG).

Selain itu, pasar domestik mengalami kenaikan nilai total transaksi kemarin.
Sebuah transaksi yang diduga crossing (tutup sendiri) terjadi di saham emiten batu bara Grup Sinar Mas PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS) pada Kamis pagi (10/8/2023).

Menurut data bursa, terdapat transaksi jual-beli sebanyak 28.487.211 lot (2.848.721.100 lembar saham) di harga Rp6.500 per saham pada pukul 09.06 WIB. Dengan demikian, nilai transaksi tersebut mencapai Rp18,52 triliun.

Sebelumnya, pada September tahun lalu, emiten batu bara PT ABM Investama Tbk (ABMM) melalui anak usahanya, merampungkan pembelian 30% saham GEMS. Perseroan memutuskan untuk berpartisipasi dalam proses Lelang yang dilakukan oleh GMR untuk membeli 30% saham GMR di GEMS.

Di pasar reguler, hal ini berdampak hampir 70% dari nilai total transaksi hari ini yang ditutup pada Rp27.5 triliun.

Sentimen lain datang dari perang dagang China-Amerika Serikat (AS). Perang dagang AS-China memasuki babak baru setelah Presiden AS Joe Biden memberi ultimatum ke pemerintah Presiden China Xi Jinping. Rabu (9/8/2023), ia resmi mengeluarkan perintah eksekutif baru untuk membatasi investasi tertentu Paman Sam di bidang teknologi tinggi di China.

Aturan baru diharapkan akan diterapkan tahun depan dan menargetkan sektor-sektor seperti semikonduktor dan kecerdasan buatan (AI). AS berdalih, Ini dilakukan karena Washington berupaya membatasi akses ke teknologi utama dari China.

Menurut Departemen Keuangan AS, program baru Biden ini diatur untuk melarang ekuitas swasta baru, modal ventura dan investasi usaha patungan di semikonduktor canggih dan beberapa teknologi informasi kuantum di China.

Sementara itu, departemen yang dipimpin Janet Yellen itu juga sedang mempertimbangkan persyaratan pemberitahuan untuk investasi AS di entitas China yang terlibat dalam semikonduktor, dan aktivitas yang berkaitan dengan jenis kecerdasan buatan tertentu.

Babak baru perang dagang China-AS ini akan menimbulkan ketidakpastian di pasar keuangan ataupun perdagangan global mengingat besarnya peran China dan AS. Secara historis, kedua negara memang kerap berkonflik mengenai perdagangan bilateral.

Selama berkonflik itu pula, pasar keuangan global berkali-kali harus menderita. Konflik paling panas salah satunya di era Presiden Donald Trump pada 2018 di mana China dan AS sama sama mengadu kepada Badan Perdagangan Dunia (WTO) pada 2018. 

(mza/mza)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular