
'Bom' Baru Bikin Amerika - China Memanas, RI Dibuat Repot

Investor akan mencerna isi risalah rapat FOMC The Fed yang memuat diskusi pada pertemuan Juni lalu yang dirilis pada Kamis dini hari waktu Indonesia. Berbagai perkembangan terbaru dan 'panas' dari China dan Amerika Serikat juga bisa menjadi sentimen penggerak pasar hari ini.
Pada pertemuan terakhir, Federal Reserve akhirnya menekan jeda setelah 10 kenaikan suku bunga berturut-turut sejak Maret 2022, bahkan ketika inflasi yang melambat lebih lambat dari yang diproyeksikan.
Pada saat yang sama, Jerome Powell cs memperkirakan dua kenaikan tambahan tahun ini, lebih dari yang diharapkan pasar. The Fed sendiri sudah mengerek suku bunga acuan ke 5,0-5,25% sejak Maret tahun lalu.
Bank sentral dan Ketua The Fed Jerome Powell "telah menyampaikan pesan yang membingungkan, dan saya menganggap itu mencerminkan kompromi yang tidak nyaman antara kubu hawkish dan dovish di komite," kata Kathy Bostjancic, kepala ekonom di Nationwide Life Insurance Co, dikutip dari BloombergNews.
"Risalah mungkin memberikan wawasan tentang itu, tapi itu mungkin hanya mengulangi penjelasan canggung yang ditawarkan Powell," imbuh Kathy.
Powell mengatakan, pejabat Fed menginginkan lebih banyak waktu untuk menilai data ekonomi sehubungan dengan kenaikan agresif sebelumnya serta pengetatan kredit menyusul kolapsnya bank AS pada Maret lalu.
Pada pekan lalu, Jerome Powell mengatakan, mayoritas anggota komite mengharapkan dua atau lebih kenaikan suku bunga dan dia tidak akan mengesampingkan kenaikan pada pertemuan berturut-turut.
Risalah FOMC dapat memperkuat ekspektasi pasar soal kenaikan suku bunga pada Juli, kata Derek Tang, ekonom LH Meyer/Monetary Policy Analytics.
"Kenaikan suku bunga pada Juli belum tentu terjadi tetapi cukup mungkin, karena semakin sulit bagi mereka untuk menegaskan siklus kenaikan suku bunga masih berlanjut jika mereka tidak mengerek suku bunga dua kali berturut-turut," kata Derek.
Namun, kata Derek, "risalah FOMC akan mempertahankan fleksibilitas [The Fed] sebisa mungkin: tingkat puncak suku bunga kemungkinan lebih tinggi, dengan berbagai pandangan soal timing yang pas."
Akan ada rilis dua laporan ekonomi utama yang bisa menjadi pertimbangan sebelum pertemuan The Fed pada 25-26 Juli mendatang, yakni laporan ketenagakerjaan Juni pada Jumat dan data indeks harga konsumen untuk bulan yang sama pada 12 Juli.
Indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE price index), yang merupakan salah satu sorotan The Fed, naik pada Mei, dengan laju tahunan paling lambat dalam lebih dari dua tahun terakhir.
Namun, The Fed lebih fokus pada PCE inti, yang tidak termasuk item makanan dan energi. PCE inti AS yang mencapai 4,6% dari Mei 2022, menjadi 3,8%
"Masalahnya adalah ekonomi terus mengungguli ekspektasi pasar dan inflasi terbukti lengket, yang dapat membuat FOMC condong ke hawkish untuk beberapa waktu," kata Rubeela Farooqi, kepala ekonom AS di High Frequency Economics.
Para pembuat kebijakan AS memperkirakan suku bunga mencapai 5,6% tahun ini, menyiratkan dua kenaikan 25 basis poin (bps) lagi dari kisaran saat ini 5% menjadi 5,25%.
Berkairan dengan itu, mengutip Bloomberg, Rabu (5/7), inflasi yang membandel yang membuat pejabat bank sentral AS dan Eropa dalam mode pengetatan kemungkinan akan semakin memisahkan kebijakan moneter global dalam beberapa bulan mendatang.
Ini karena saat ini seluruh dunia menempuh jalannya sendiri.
The Fed dan Bank Sentral Eropa (ECB) kemungkinan akan mengerek suku bunga pada Juli, dan beberapa negara lainnya di jalur yang sama. Namun, bank sentral China mulai melonggarkan kebijakan moneter pada bulan lalu, sedangkan bank sentral dari India hingga Afrika Selatan menahan suku bunga untuk saat ini.
Pejabat Turki baru saja memulai pengetatan moneter mereka sendiri, dan Rusia mereka mungkin akan mengikuti langkah yang sama. Bank of Japan (BOJ) secara perlahan bergerak ke arah penghapusan stimulus ke depannya.
Apapun masalahnya, para pembuat kebijakan yang masih berpikiran untuk mempertahankan kenaikan suku bunga, seperti di The Fed, sedang memasuki fase yang lebih ragu-ragu karena mereka semakin memperhatikan dampak suku bunga tinggi terhadap pertumbuhan ekonomi.
Soal Kisruh China-AS
Ketegangan antara China-AS soal pembatasan ekspor dan transfer teknologi semikonduktor masih akan mewarnai headline pasar.
Kabar teranyar, mengutip Bloomberg, Senin (5/7), pemimpin China Xi Jinping meminta negara-negara untuk menghindari decoupling dan pemotongan rantai pasokan, satu hari setelah negaranya memberlakukan batasan ekspor dua logam utama yang digunakan untuk membuat chip guna melawan pembatasan Barat di Beijing.
Ekonomi terbesar kedua di dunia itu ingin bekerja dengan negara-negara untuk "menolak langkah yang berupaya membangun penghalang, memisahkan dan memutus rantai pasokan," kata Xi dalam pidato virtual kepada para pemimpin Organisasi Kerja Sama Shanghai.
"Kita harus membuat pie kerjasama yang saling menguntungkan menjadi lebih besar, dan memastikan bahwa lebih banyak keuntungan pembangunan akan dibagi secara lebih adil oleh orang-orang di seluruh dunia," katanya, menurut teks komentar yang dirilis Selasa malam oleh Kantor Berita resmi Xinhua.
Pernyataan tersebut tentu kontras dengan keputusan pemerintah Xi pada Senin yang bermaksud memberlakukan kontrol ekspor mineral galium dan germanium. Kementerian Perdagangan China mengatakan langkah itu dimaksudkan untuk melindungi keamanan nasional.
Kontrol ekspor logam disebut "baru permulaan" dan China akan meningkatkan tindakan balasan jika AS memberlakukan lebih banyak pembatasan teknologi, kata Wei Jianguo, mantan wakil menteri perdagangan.
Wei mengatakan kepada China Daily, dia memperkirakan kontrol tersebut akan sangat merugikan beberapa negara. Langkah China, yang dilakukan tepat sebelum Menteri Keuangan AS Janet Yellen mengunjungi Beijing, dapat mempercepat upaya negara-negara untuk mengurangi ketergantungan pada Negeri Tirai Bambu tersebut.
Membalas aksi China, AS sendiri mengambil langkah-langkah yang semakin agresif untuk mengendalikan ambisi teknologi negara Xi Jinping, sebagian besar demi membatasi kemajuan militer, dan telah berupaya meyakinkan sekutu di Eropa dan Asia untuk melakukan hal yang sama.
AS sekarang sedang bersiap untuk membatasi akses perusahaan China ke layanan komputasi awan AS, demikian menurut sumber anomim kepada WSJ, Senin (4/7). Ini menjadi sebuah langkah dapat memperburuk hubungan antara dua kekuatan ekonomi dunia itu.
Aturan baru tersebut, jika diterapkan, kemungkinan akan membuat penyedia layanan komputasi awan AS macam Amazon.com dan Microsoft perlu meminta izin pemerintah AS sebelum mereka menyediakan layanan komputasi awan yang menggunakan chip kecerdasan buatan tingkat lanjut kepada pelanggan China.
Layanan-layanan itu memungkinkan pelanggan untuk memperoleh kemampuan komputasi yang kuat tanpa harus membeli peralatan canggih-termasuk chip-yang masuk dalam daftar kendali, seperti chip A100 dari perusahaan teknologi Amerika, Nvidia.
Departemen Perdagangan AS diperkirakan akan mengumumkan tindakan ini dalam beberapa minggu mendatang sebagai bagian dari ekspansi kebijakan kontrol ekspor semikonduktor yang diterapkan pada Oktober, ungkap para sumber.
Isu restriksi di atas kemungkinan akan menjadi fokus utama ketika Menteri Keuangan AS, Janet Yellen, mengunjungi Beijing minggu ini, dan jika Menteri Perdagangan, Gina Raimondo, melakukan kunjungan yang diharapkan dalam beberapa bulan mendatang.
Kunjungan Janet Yellen ke Beijing pada 6-9 Juli merupakan kunjungan pertamanya sebagai Menteri Keuangan dan merupakan upaya terbaru oleh AS-China untuk memulihkan komunikasi bilateral meskipun adanya pembatalan kunjungan sebelumnya dan ketegangan yang berlanjut terkait perdagangan semikonduktor dan barang teknologi tinggi lainnya.
Selain itu, data neraca dagang Australia, PMI Kanada, hingga pembukaan lapangan kerja JOLTS AS serta cum dividen sejumlah emiten juga akan ikut menjadi fokus investor pasar saham RI hari ini.
(trp/trp)