
Bukan China, Ini yang Membawa Harga Batu Bara Terbang 4%

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara terus merangkak naik. Pada perdagangan Kamis (8/6/2023), harga batu bara kontrak Juli di pasar ICE Newcastle ditutup di posisi US$ 144,5 per ton. Harganya naik 1,87%.
Kenaikan ini memperpanjang tren positif pasir hitam yang juga menguat pada Rabu pekan ini. Dalam dua hari terakhir, harga batu bara sudah melonjak 3,88% atau hampir 4%.
Penutupan kemarin juga menjadi yang tertinggi sejak 23 Mei 2023 atau dua pekan terakhir.
Lonjakan harga batu bara ditopang oleh menguatnya harga gas alam serta krisis energi di Bangladesh. Harga batu bara juga tetap menguat di tengah kencangnya sentimen negatif dari China yakni melambatnya permintaan..
Harga gas alam Eropa EU Dutch TTF (EUR) menguat 2,36% kemarin menjadi 26,95 euro per mega-watt hour (MWh) kemarin. Harganya naik terus dalam dua hari dengan penguatan mencapai 8,4%.
Harganya bahkan sempat terbang 20% pada awal pekan ini. Namun, harganya ambruk 12,7% kemarin.
Batu bara dan gas alam adalah sumber energi yang saling menggantikan dan bersaing sehingga harganya saling mempengaruhi.
Kenaikan harga gas alam disebabkan oleh melonjaknya permintaan dari kawasan Asia sehingga pasokan gas dari AS ke Eropa menurun.
Harga gas juga naik karena terminal LNG di Montoir, Prancis, akan tutup hingga 14 Juni sementara pengiriman gas dari Rusia melalui Black Sea ke Turki juga ditangguhkan hingga 12 Juni karena perawatan.
Pasokan gas di Eropa sebenarnya masih tinggi yakni di kisaran 70%. Namun, Eropa tengah mengejar pengisian storage agar bisa mencapai 90% pada musim dingin.
Harga gas sempat jeblok pada awal tahun sehingga membuat banyak pelaku usaha di sektor industri dan listrik di kawasan Asia beralih dari batu bara ke gas alam. Permintaan pun kemudian melonjak, termasuk dari China.
Impor gas alam China diperkirakan meningkat 15% pada tahun ini. Sebaliknya, permintaan batu bara dari China akan melemah ke depan. Penurunan permintaan bahkan terjadi di tengah gelombang panas. Permintaan listrik memang naik tetapi hanya datang dari rumah tangga.
Permintaan listrik dari industri belum meningkat karena ekonomi yang melambat. Besarnya pasokan batu bara juga diperkirakan membuat harga batu bara tertekan.
"Permintaan industri menjadi penyebab mengapa permintaan energi turun. Produksi pabrik keramik dan gas rendah karena berkurangnya permintaan dari luar negeri," tutur seorang trader komoditas asal China, kepada Reuters.
Suhu di China diprakirakan akan menguat ke depan seiring datangnya gelombang panas. Suhu diperkirakan akan mencapai 37 derajat Celcius dari Beijing hingga Xinjiang.
Impor batu bara diproyeksi turun karena pasokan pasir hitam menumpuk setelah impor besar-besaran pada Januari-Mei tahun ini. Sepanjang Januari-Mei tahun ini, impor China mencapai 182 juta ton atau naik 89,6% dari periode yang sama tahun lalu
Pasokan batu bara di pelabuhan utara China mencapai 30 juta ton pada pekan lalu, 20-30% lebih tinggi dibandingkan pada 2021-2022.
Pembangkit listrik China masih menyimpan pasokan sekitar 113 juta ton batu bara hingga akhir Mei, 24% lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
China mengimpor batu bara sebanyak 39,58 juta ton pada Mei tahun ini. Jumlah tersebut turun 2,7% pada Mei dibandingkan bulan sebelumnya (month to month/mtm) pada April yang tercatat 40,68 juta ton.
Impor China diperkirakan masih akan melambat ke depan karena tingginya pasokan.
Pasokan mungkin akan turun karena permintaan yang naik dan turunnya produksi listrik tenaga air. Permintaan batu bara harian dari pembangkit sudah naik 11% pada pekan lalu.
Namun, kenaikan permintaan diperkirakan tidak akan bertahan lama karena hujan diprakirakan akan datang pada pekan-pekan mendatang. Tingginya produksi batu bara domestik sementara di sisi lain permintaan industri yang masih lemah juga membuat harganya akan tertekan.
"Permintaan sepertinya tidak akan naik signifikan musim panas ini, terutama jika konsumsi industri masih hangat-hangat kuku seperti saat ini,'" tutur analis CCTD Zhang Yupeng, dikutip dari Reuters.
Sementara itu, krisis energi di Bangladesh terus berlanjut. Pembangkit listrik mereka banyak yang ditutup karena kekurangan bahan bakar sehingga produksi listrik berkurang drastis.
Krisis muncul karena ada persoalan pembayaran akibat keterlambatan Letter of Credit (LC) dengan penyuplai bahan bakar dari China, termasuk gas dan batu bara.
Selain persoalan pembayaran, krisis juga diperparah dengan persoalan cuaca. Permintaan listrik di Bangladesh melonjak tajam pada April tahun ini karena meningkatnya suhu. Bencana kembali datang pada pertengahan Mei saat topan Mocha mengamuk dan memutuskan jaringan pasokan gas alam.
Suhu meningkat tajam pada bulan ini setelah gelombang panas melanda sejumlah wilayah. Permintaan listrik pun melejit hingga 18% Senin kemarin di tengah kekurangan pasokan.
Suhu di ibu kota Dhaka melonjak hingga 38 derajat Celcius awal pekan ini, dari 32 derajat Celcius pada 10 hari sebelumnya.
Badai gelombang panas diperkirakan masih akan berlanjut hingga akhir pekan ini. Krisis energi di Bangladesh diperparah dengan anjloknya cadangan devisa (cadev) karena ekspor yang jeblok. Cadev Bangladesh terkuras hingga berada di kisaran US$ 29,8 miliar per Senin kemarin, rekor terendahnya dalam tujuh tahun.
Terkurasnya cadev mengurangi kemampuan Bangladesh untuk mengimpor komoditas energi seperti gas alam dan batu bara.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kurang 'Vitamin', Harga Batu Bara Diramal Masih Lemah Lesu
