Newsletter

Runyam! Pabrik di China "Mati Suri", Ekonomi AS Tak Jelas

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
08 June 2023 06:00
Layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (10/5/2023). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu (10/5/2023). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
  • Pasar keuangan dalam negeri pada perdagangan kemarin mencatatkan kinerja yang beragam. Indeks acuan Tanah Air ditutup menguat tipis, sementara rupiah menghentikan penguatannya.
  • Hingga kini pasar masih dihantui kekhawatiran arah suku bunga bank paling powerfull di dunia yakni The Fed pekan depan
  • Sementara, data ekonomi penting utamanya dari AS dan China tentu menjadi fokus utama investor untuk membaca arah ekonomi ke depan

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air pada perdagangan kemarin Rabu (7/6/2023) mencatatkan kinerja beragam. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat tipis sekali, sementara Mata Uang Garuda tak mampu melanjutkan penguatan.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada penutupan sesi II perdagangan Rabu (7/6/23) naik tipis 0,01% menjadi 6.619,75, setelah sempat terlempar ke zona psikologis 6.500 tepatnya menyentuh level terendah di 6.578,75.

Dalam lima hari perdagangan IHSG masih terkoreksi 0,92%. Selain itu, secara year to date (ytd) indeks membukukan koreksi sebesar 3,37%.

Nilai perdagangan tercatat mencapai Rp 10,2 triliun lebih. Hingga sore ini terdapat 316 saham yang menguat, 226 saham melemah sementara 194 lainnya stagnan.

Pada perdagangan kemarin data pasar menunjukkan investor asing melakukan aksi jual bersih (net sell) senilai Rp 547,38 di pasar reguler.

Melansir dari data Refinitiv, tujuh sektor menguat dengan sektor Konsumen primer menjadi yang paling menguntungkan indeks naik 1,3%.

Investor saat ini cenderung wait and see terkait kebijakan The Fed, 13-14 Juni mendatang. Meskipun sinyal kenaikan suku bunga terlihat jelas pasca rilis data tenaga kerja yang masih kuat pekan lalu.

Dari pasar keuangan lain, Mata Uang Garuda mencatatkan kinerja yang mengecewakan pada perdagangan Rabu (7/6/2023). Rupiah tercatat melemah 0,13% ke posisi Rp 14.875/US$ di pasar spot.

Dengan perlemahan ini, rupiah masih mencatatkan penguatan 0,87%, dan masih menguat 4,56% secara tahunan.

Data neraca perdagangan China bisa memberikan dampak ke pergerakan rupiah. Impor China dilaporkan anjlok 4,5% pada Mei. Dengan demikian, sudah tiga bulab beruntun impor negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia ini mengalami kontraksi.

Artinya, aktivitas perdagangan di China tetap memburuk, meskipun pembatasan Covid-19 telah dicabut. Ini menjadi pertanda permintaan impor dari Indonesia berisiko menurun.

Tiga indeks utama Wall Street berakhir beragam pada perdagangan Rabu (7/6/2023) waktu New York di tengah kekhawatiran akan kebijakan The Fed pada pertemuan mendatang.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup naik 0,27% ke posisi 33.665,02 sementara S&P 500 turun 0,38%ke 4.267,52, dan Nasdaq Composite juga mengalami pelemahan dengan koreksi 1,29% ke 13.104,89.

S&P 500 dan Nasdaq Composite ditutup lebih rendah pada perdagangan hari ini dengan indeks pasar yang luas berfluktuasi mendekati level penutupan tertinggi sejak Agustus 2022.

Energi adalah sektor S&P 500 dengan kinerja terbaik, naik sekitar 2,6%, sementara ETF Eksplorasi & Produksi Minyak & Gas S&P SPDR (XOP) dan First Trust Natural Gas ETF (FCG) masing-masing menguat lebih dari 3%.

Selain itu, saham bank-bank regional melihat kenaikan saham mereka berlanjut sebagai SPDR S&P Regional Banking ETF (KRE) naik lebih dari 3%. Saham PacWest Bancorp melonjak 14,4%, sedangkan Zions Bancorporation juga melesat 4,5%.

Meski perdagangan hari ini indeks mengalami koreksi, namun saham telah meningkat baru-baru ini karena janji kecerdasan buatan mengangkat nama-nama teknologi. Selama tiga bulan terakhir, S&P 500 naik lebih dari 7%.

Namun, kepala investasi Crossmark Global Investments Bob Doll memperingatkan bahwa meskipun pasar mengalami reli dalam beberapa hari terakhir, dampak lebih besar bakal datang dari kenaikan suku bunga The Fed kemungkinan akan terasa di masa depan.

"Kami masih memiliki indikator ekonomi utama yang turun selama 13 bulan berturut-turut. Kami masih memiliki kurva imbal hasil terbalik [dan] masalah likuiditas," kata Doll dikutip dari CNBC International.

"Saya pikir mereka lebih banyak, ada lebih banyak dampak yang akan datang. Saya akan sedikit berhati-hati dan ini bukan reli rute panjang," katanya.

Di sisi lain, defisit perdagangan AS terus meningkat pada bulan April, tetapi sedikit di bawah ekspektasi para ekonom. Defisit dapat diterjemahkan ke dalam pertumbuhan PDB yang lebih rendah untuk kuartal kedua.

Wall Street yang berakhir beragam dan mayoritas di zona merah pada perdagangan kemarin bisa menjadi sentimen negatif bagi IHSG. Selain itu, sentimen pasar utama masih diselimuti oleh implikasi atas pengumuman sejumlah data ekonomi.

Tentu saja, soal suku bunga The Fed masih saja menjadi topik utama yang dicermati pasar. Inflasi yang masih mendarah daging membuat pelaku pasar pesimis bahwa The Fed bakal menurunkan suku bunganya pada pertemuan mendatang.

Ekonomi AS masih saja mengalami tekanan. Setelah lolos dari default alias gagal bayar, Negeri Paman Sam dihadapkan dengan inflasi tinggi. Kondisi pasar tenaga kerja AS yang masih kuat dengan prospek gaji yang kompetitif.

Namun, gaji yang kompetitif tentu berhubungan dengan daya beli masyarakat yang akan tetap terjaga, ini juga menjadi indikasi bahwa ekonomi AS masih cukup bertahan di tengah risiko resesi yang tinggi.

Dari sisi inflasi Amerika Serikat (AS) pada April 2023 tercatat sebesar 4,9% secara tahunan (year-on-year/YoY) atau berada di bawah ekspektasi. Indeks harga konsumen itu pun menjadi yang terendah sejak April 2021.

Perlu diketahui inflasi AS telah turun 10 bulan berturut-turut sejak mencapai 9,1% pada Juni 2022. Namun tetap saja penurunan inflasi saat ini sepertinya belum membuat puas hati The Fed karena target penurunan inflasi adalah 2%. Tentu saja, angka ini masih jauh dari target.

Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, pasar melihat probabilitas suku bunga bunga dinaikkan hanya 20%, sisanya yakin akan tetap sebesar 5% - 5,25%. Sehingga jika The Fed kembali menaikkan suku bunga, pasar finansial dunia tentunya bisa gonjang-ganjing lagi.

Kalau ini terjadi, maka menjadi kenaikan suku bunga The Fed selama 11 bulan berturut-turut dan menjadi yang tertinggi sejak 2007.

Keputusan ini dilakukan the Fed sebagai langkah menjinakkan inflasi yang tinggi di tengah kondisi pasar tenaga kerja yang ketat dan sektor perbankan yang bergejolak.

Suku bunga acuan yang tinggi menjadi satu tantangan prospek ekonomi AS yang potensi mengalami resesi tahun ini. Secara kuartalan, perlambatan ekonomi sudah mulai terlihat dari pertumbuhan ekonomi AS per kuartal 1-2023 yang melemah ke 1,1% dibandingkan kuartal IV-2022 di 2,6%.

Bukan Cuma AS, Ekonomi China Juga Lesu

Bukan hanya dari AS, China juga ikut membuat pusing para pelaku pasar pasalnya data ekonomi yang rilis baru-baru ini nyatanya tak menunjukan pemulihan utuh pasca pencabutan kebijakan lockdown pacsa Covid-19 yang membuat ekonomi Negeri Tirai Bambu ini tertekan.

Sebagaimana diketahui, Aktivitas pabrik China setelah 'mati suri' akibat pandemi Covid-19 kenyataannya belum mampu membuat produktivitas cepat pulih.

Ini menjadi lampu kuning bagi ekonomi China sebab manufaktur berkontribusi 33% terhadap pertumbuhan ekonomi China. Perlambatan ekonomi China ini harus diwaspadai oleh Indonesia.

Penurunan PMI China menjadi alarm bagi perdagangan luar negeri Indonesia, mengingat Negeri Tirai Bambu ini merupakan mitra dagang utama.

Pertumbuhan ekonomi China pada kuartal I-2023 berhasil tumbuh positif 4,5% secara tahunan (year on year/yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2022 yang mencapai 2,9% (yoy).

Produksi industri di China hanya tumbuh 5,6% (yoy), investasi aset tetap 4,7% dan penjualan ritel tumbuh 18,4%. Penjualan ritel memang menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Namun itu hanya dampak dari based effect setelah China memberlakukan lockdown.

Oleh karena itu, China rentan terhadap siklus penumpukan inventori yang diikuti oleh penurunan produksi, karena orientasi ekspor dan ketidakseimbangan dalam negerinya.

Pada Rabu (7/6/2023) data bea cukai melaporkan ekspor China turun 7,5% pada Mei secara year-on-year (yoy), sementara impor turun 4,5%. Angka ini di luar jajak pendapat ekonom yang di survei Reuters yang memperkirakan ekspor menyusut 0,4% dan impor turun 8%.

Setelah mengalahkan ekspektasi pada kuartal pertama, para analis sekarang menurunkan proyeksi ekonomi mereka untuk sisa tahun ini, karena produksi pabrik terus melambat di tengah lemahnya permintaan global.

Kinerja ekspor yang buruk mencerminkan permintaan yang lemah untuk barang-barang Cina seperti halnya kinerja impor yang lemah karena Cina membawa suku cadang dan bahan dari luar negeri untuk merakit produk jadi untuk ekspor.

Data Korea Selatan minggu lalu menunjukkan pengiriman ke China turun 20,8% pada bulan Mei, menandai penurunan bulanan selama setahun penuh, dengan ekspor semikonduktor Korea turun 36,2%, menunjukkan lemahnya permintaan komponen untuk pembuatan akhir.

Aktivitas pabrik China menyusut lebih cepat dari yang diharapkan pada bulan Mei karena melemahnya permintaan, indeks manajer pembelian resmi (PMI) menunjukkan minggu lalu.

Sub indeks PMI menunjukkan output pabrik berayun ke kontraksi dari ekspansi sementara pesanan baru, termasuk ekspor baru, turun untuk bulan kedua.

Setelah mengalahkan ekspektasi pada kuartal pertama, para analis kini menurunkan ekspektasi mereka terhadap ekonomi untuk sisa tahun ini, karena produksi pabrik terus melambat di tengah permintaan global yang terus melemah.

Pemerintah telah menetapkan target pertumbuhan PDB yang sederhana sekitar 5% untuk tahun ini, setelah target tahun 2022 gagal total.

Pada 2024, Bank Dunia memperkirakan perekonomian China Bank Dunia akan melemah menjadi hanya tumbuh 4,6% dan merupakan hasil revisi ke bawah sebesar minus 0,4% dari proyeksi yang dilakukan pada Januari 2023. Pada 2025 pun pelemahan masih berlanjut menjadi 4,4%.

Berikut beberapa agenda penting terkait data ekonomi yang akan rilis hari ini:

  • Rilis data Perubahan Kredit Konsumen AS (02:00)
  • Rilis data Pertumbuhan ekonomi Jepang (06:50)
  • Rilis data neraca perdagangan Australia (08:30)
  • Rilis data perubahan angka tenaga kerja Zona Eropa (04:00)
  • Rilis data klaim pengangguran awal AS (07:30)

Hari ini pelaku pasar akan disuguhkan dengan beberapa agenda bursa dari dalam negeri, diantaranya:

  • Rapat Umum Pemegang Saham (RUPST) APII
  • Rapat Umum Pemegang Saham (RUPST) dan RUPSLB CAKK
  • Rapat Umum Pemegang Saham (RUPST) dan RUPSLB CNKO
  • Rapat Umum Pemegang Saham (RUPST) HRME
  • Rapat Umum Pemegang Saham (RUPST) DSNG
  • Rapat Umum Pemegang Saham (RUPST) INPP
  • Rapat Umum Pemegang Saham (RUPST) dan RUPSLB IMPC
  • Rapat Umum Pemegang Saham (RUPST) dan RUPSLB JSPT
  • Rapat Umum Pemegang Saham (RUPST) dan RUPSLB KINO
  • Rapat Umum Pemegang Saham (RUPST) dan RUPSLB MASB
  • Rapat Umum Pemegang Saham (RUPST) dan PTSN
  • Pembagian dividen tunai RAJA
  • Rapat Umum Pemegang Saham (RUPST) SPMA
  • Rapat Umum Pemegang Saham (RUPST) TFCO

Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]


(aum/aum) Next Article Alarm Bahaya! China, AS & Rusia Ramai-Ramai Beri Kabar Buruk

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular