- Pasar saham dan rupiah masih menunggu katalis baru dari tekanan yang terjadi akhir-akhir ini
- Wall Street tertekan di perdagangan Jumat di tengah negosiasi plafon utang, tetapi tetap mampu membukukan kenaikan sepekan
- Keputusan suku bunga oleh Bank Indonesia (BI), risalah The Fed, hingga data PCE AS akan menjadi perhatian utama investor di pekan ini.
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dan rupiah mengalami nasib yang sama, yakni sama-sama keok selama pekan lalu.
Mengacu pada data Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG ditutup di posisi 6.700,56 pada Jumat (19/5/2023). Dalam perdagangan 4 hari pada minggu lalu (libur Kenaikan Isa Almasih pada 18 Mei) IHSG turun hingga 0,82%.
Penguatan IHSG selama 2 hari pada Senin (15/5) dan Jumat (19/5) tidak mampu mengimbangi penurunan IHSG selama Selasa (16/5) dan Rabu (17/5).
Investor asing tercatat melakukan penjualan bersih (net sell) Rp1,62 triliun di pasar reguler selama minggu lalu.
Saham big cap TLKM menjadi sasaran utama asing dengan nilai net sell Rp675,8 miliar pada periode tersebut. Harga saham TLKM pun turun 1,71%.
Saham BBCA juga terkena net sell Rp602,1 miliar, tetapi harga saham tetap naik 1,98% dalam sepekan.
Sementara, dua saham BUMN raksasa BMRI dan BBNI masing-masing mengalami net sell Rp378 miliar dan Rp144,4 miliar. Saham BMRI turun 0,49% dan saham BBNI melorot 3,55% pekan lalu.
Tidak ketinggalan, saham ADRO juga dilepas asing hingga Rp143,7 miliar dengan penurunan saham hingga 13,93% dalam sepekan.
Raksasa batu bara lainnya, macam ITMG juga turun tajam hingga 12,64% selama pekan lalu, INDY (-11,43%), ADMR (-10,22%), PTBA (-9,30%), UNTR (-6,14%), dll.
Permasalahan plafon utang AS menjadi sentimen utama pasar saham sepanjang pekan lalu. Kendati demikian, di tengah ribut-ribut masalah utang, pernyataan Ketua bank sentral AS The Fed Jerome Powell pada Jumat waktu AS sedikit meredakan kecemasan investor.
Powell mengatakan suku bunga mungkin tidak harus naik sebanyak yang diperkirakan sebelumnya karena kondisi kredit yang lebih ketat setelah gejolak sektor perbankan.
Semenetara mata uang rupiah sepanjang pekan ini terpantau merana karena kalah melawan dolar Amerika Serikat (AS) dan kini nyaris kembali menyentuh level psikologis Rp 15.000/US$.
Melansir dari Refinitiv pada pekan lalu, rupiah ambles 1,19% secara point-to-point (ptp) di hadapan dolar AS.
Pada perdagangan Jumat (19/5/2023), rupiah ditutup melemah 0,4% ke Rp 14.920/US$. Rupiah hampir mendekati kembali level psikologis Rp 15.000/US$.
Secara harian sepanjang pekan lalu, IHSG tidak sekalipun mencetak penguatan dan konsisten mengalami koreksi. Dolar AS yang kembali perkasa menjadi penyebab rupiah lesu pada minggu lalu.
Hal ini terlihat dari indeks dolar, indeks yang mengukur seberapa kuat The Greenback terhadap enam mata uang asing.
Sepanjang pekan lalu, indeks dolar AS menguat 0,5%. Pada perdagangan Jumat lalu, indeks dolar AS berada di posisi 103,198.
Dolar menguat setelah pasar berbalik arah dalam memproyeksi kebijakan bank sentral AS The Fed.
Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, saat itu, pasar melihat ada probabilitas sebesar 36,7% suku bunga akan dinaikkan 25 basis poin menjadi 5,25% - 5,5% pada bulan depan.
Namun, data terbaru dari FedWatch menunjukkan bahwa ada probabilitas sebesar 82,6% suku bunga akan ditahan di level terkini, sedangkan 17,4% dinaikan sebesar 25 basis poin menjadi 5,25% - 5,5% pada bulan depan.
Sikap The Fed saat ini masih cenderung beragam dalam menyikapi kebijakan suku bunga acuan, karena faktor pendukungnya pun masih cenderung beragam.
Data tenaga kerja yang masih cukup kuat, tetapi dari data ekonomi lainnya mulai ada tanda-tanda mengalami kelesuan. Selain itu, pasar menduga bahwa tingkat kredit di AS sekarang sudah cukup ketat.
Bursa saham AS alias Wall Street kompak memerah pada perdagangan Jumat (19/5) waktu setempat seiring negosiasi plafon utang AS berjalan alot.
Indeks Dow Jones turun 0,33%, S&P 500 indeks melemah 0,14%, dan Nasdaq terkoreksi 0,24%.
Kendati memerah pada Jumat, ketiga indeks utama tersebut menguat dalam sepekan. Dow Jones naik 0,23% selama pekan lalu, S&P 500 melompat 1,35%, dan Nasdaq melesat 2,37%, seiring data ekonomi positif dan musim rilis laporan keuangan kuartal I yang lebih baik dari perkiraan.
Laporan awal bahwa negosiasi pagu utang AS telah menemui jalan buntu mengguncang pasar pada Jumat. Ini terjadi bahkan ketika investor mencermati pernyataan Ketua The Fed Jerome Powell dalam diskusi panel untuk mencari petunjuk mengenai keputusan suku bunga pada rapat FOMC bulan depan.
"Semua mata tertuju pada Washington dan investor tetap fokus pada plafon utang," kata David Carter, spesialis investasi di JPMorgan Private Bank di New York, dikutip Reuters (20/5).
"Ini seperti menonton kebuntuan nuklir dan berharap orang lain tidak cukup gila untuk menekan tombolnya," ujarnya.
Dalam sambutannya, Powell mengatakan bahwa ketidakpastian seputar dampak lagging dari kenaikan suku bunga di masa lalu dan pengetatan kredit bank baru-baru ini membuat tidak jelas apakah diperlukan lebih banyak pengetatan moneter ke depan.
"Investor mencoba untuk lebih memahami jika pinjaman bank yang lebih ketat karena krisis bank regional akan memungkinkan Fed untuk setidaknya menghentikan kenaikan suku bunga di masa depan," tambah Carter.
"Ini adalah wilayah baru dan (belum) jelas apakah Fed akan mengizinkan pinjaman bank yang lebih ketat untuk menggantikan kebijakan moneter yang lebih ketat," jelas Carter.
Menambah volatilitas pasar selama pekan lalu, Menteri Keuangan Janet Yellen mengatakan kepada CEO bank bahwa lebih banyak merger mungkin diperlukan untuk menghentikan krisis likuiditas perbankan, menurut CNN.
Dari dalam negeri Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) pada 24-25 Mei 2023 menjadi yang akan ditunggu-tunggu investor.
Sejauh ini, ekonom memproyeksikan BI akan kembali menahan suku bunga di level 5,75% pada pengumuman RDG Kamis, 25 Mei.
BI telah mempertahankan suku bunga kebijakan sejak kenaikan suku bunga terakhirnya pada Januari lalu dan berulang kali mengatakan kenaikan suku bunga acuan, dengan total 225 basis poin sejak tahun lalu, cukup untuk mengarahkan inflasi kembali ke target pada paruh kedua 2023.
Namun, Deputi Gubernur BI Juda Agung menyebut, masih terlalu dini bagi BI untuk mempertimbangkan pemangkasan suku bunga, bahkan ketika inflasi sudah mulai melandai.
"Masih terlalu dini untuk mengatakan kapan kami [BI] akan memangkas [suku bunga]. Ya, inflasi inti bahkan sudah lebih rendah dari 3%. Tapi tentu saja masih ada beberapa risiko," kata Juda Agung kepada Reuters (15/5) di sela-sela konferensi yang diselenggarakan bersama oleh bank sentral Filipina dan Dana Moneter Internasional (IMF).
Seiring pasar mengharapkan The Fed akan menghentikan siklus pengetatan kebijakan moneter dan inflasi Indonesia mendingin tepat di atas kisaran target BI 2% hingga 4%, beberapa analis memperkirakan bank sentral RI tersebut mulai mempertimbangkan pelonggaran kebijakan moneter dalam beberapa bulan mendatang.
Inflasi headline Indonesia, yang memuncak di angka 5,95% pada September 2022 di tengah kenaikan harga komoditas global, turun menjadi 4,33% bulan lalu. Inflasi inti tetap di bawah 3% sejak Maret.
Sementara, dari eksternal, pasar masih akan kembali melihat AS untuk mencari petunjuk teranyar.
Pada Kamis dini hari waktu Indonesia atau Rabu waktu AS, The Fed akan merilis risalah rapat FOMC pada bulan lalu. Risalah ini akan menjadi bahan untuk dicerna investor demi mendapatkan insight soal kebijakan suku bunga dalam rapat mendatang.
Sementara, pada Jumat malam waktu Indonesia, akan ada rilis dari Biro Analisis Ekonomi (BEA) AS soal indeks belanja konsumsi perorangan (Personal Consumption Expenditures/PCE) inti per April, yang menjadi acuan inflasi favorit The Fed.
Rilis tersebut menjadi agenda penting pekan depan lantaran data PCE inti akan turut mempengaruhi kemungkinan kenaikan (atau penundaan) suku bunga pada rapat tengah Juni.
Indeks PCE kemungkinan naik 0,2% bulan lalu, meningkat dari kenaikan 0,1% pada Maret. Secara tahunan, PCE kemungkinan naik 4,1%, pada laju paling lambat sejak Mei 2021 dan dibandingkan dengan kenaikan 4,2% pada Maret.
Adapun, PCE inti, yang tidak termasuk item makanan dan energi yang sifatnya volatil, diproyeksikan naik 0,3% dari Maret, dan 4,6% secara tahunan.
Masalah plafon utang juga masih akan menjadi sentimen pasar pekan depan. Jika pagu utang dilanggar atau dicabut, Wall Street berpotensi akan kembali volatil.
Berikut sejumlah agenda dan rilis data ekonomi pada hari ini:
- Suku bunga acuan loan prime rate (LPR) China per Mei (08.15 WIB)
- Pidato pejabat The Fed (Bullard, Barkin, Bostic)
- Indeks keyakinan konsumen Eropa (21.00 WIB)
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
- Cum dividen ADRO
- RUPST & RUPSLB BPII
- RUPST BRIS
- RUPST & RUPSLB BSML
- RUPST CPIN
- RUPST IDEA
- RUPST KBLV
- RUPST & RUPSLB NAYZ
- RUPST & RUPSLB PRAY
- Cum date stock split TMAS
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]