- Pasar keuangan Indonesia menguat kemarin karena dorongan dari harga minyak mentah dunia yang menguat dan ekspektasi The Fed yang akan lebih dovish pasca kejatuhan bank di Amerika Serikat dan Eropa. Hal ini membuat pasar lebih optimis bahwa pelemahan ekonomi tidak akan seburuk yang dibayangkan.
- Akan tetapi kenaikan harga minyak mentah dunia akibat pemotongan produksi oleh OPEC+ menimbulkan kekhawatiran baru. Ini terkait dengan inflasi yang bisa saja kembali memanas dan membebani daya beli masyarakat.
- Di sisi lain, inflasi Indonesia yang saat ini melandai masih akan dicermati oleh para pelaku pasar hari ini.
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia kompak ditutup di zona hijau pada perdagangan hari pertama kuartal kedua 2023. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada penutupan perdagangan sesi II Senin (3/4/23) menguat 0,32% secara harian ke 6.827,17.
Adapun sebanyak 244 saham naik, 285 saham turun sementara 196 saham lainnya tidak bergerak.
Hanya saja walaupun jam perdagangan resmi diperpanjang, nilai transaksi terpantau sepi hanya sekitar Rp 8,45 triliun dengan melibatkan 19,82 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,34 juta kali.
Berdasarkan data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) via Refinitiv, hanya empat dari total sektor yang menguat. Sektor finansial menjadi sektor dengan kenaikan tertinggi yakni sebesar 0,89% diikuti sektor energi 0,77%. Selain itu sektor konsumen primer dan teknologi menguat masing-masing 0,2 persen lebih.
Sentimen positif datang dari Amerika Serikat (AS) dan China, di mana data ekonomi dan tenaga kerja di AS cenderung masih cukup kuat.
Para pelaku pasar melihat bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) mulai bersikap dovish karena melihat dari krisis perbankan di AS yang terjadi beberapa pekan lalu.
Sementara data aktivitas manufaktur China sedikit melandai. tapi masih berada di zona ekspansif. Tandanya perekonomian China sedang berusaha pulih dari keterpurukan akibat penerapan kebijakan nol-Covid yang resmi dihapus oleh pemerintah China pada akhir tahun lalu.
Sentimen positif lain datang dari kabar adanya potensi kenaikan harga minyak mentah dunia lagi setelah Arab Saudi dan negara OPEC+ akan mengurangi produksi minyak mentah yang mendorong harga saham emiten minyak.
Sentimen positif dari dalam negeri yakni data inflasi yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2023 mencapai 0,18% (month-to-month/mtm), lebih rendah dibandingkan 0,40% pada 2022 dan 0,32% pada 2021.
Jika dilihat secara tahunan, inflasi Maret sebesar 4,97% (yoy) lebih rendah dari inflasi Ramadhan tahun 2022 yang mencapai 5,47%.
Inflasi inti secara tahunan terus mengalami penurunan. Inflasi inti per Maret 2023 mencapai 2,94% dari bulan sebelumnya 3,09%.
Inflasi yang rendah menjadi kabar baik, daya beli masyarakat akan lebih kuat, dan bisa membuat roda perekonomian lebih kencang.
Sementara itu, rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) dan melanjutkan kinerja impresif setelah sebelumnya menguat tiga pekan beruntun.
Melansir data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan di Rp 14.965/US$, menguat 0,17% di pasar spot. Hingga hari ini, rupiah sudah menguat lima hari beruntun.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Wall Street Kompak Menguat
Indeks utama Wall Street kompak menguat pada perdagangan semalam meskipun dibayangi inflasi yang lebih tinggi akibat penurunan produksi minyak oleh OPEC+
Pada perdagangan Senin (3/4/2023) Dow Jones naik 0,98% ditutup pada 33.601,15. Sementara S&P 500 menguat 0,37% ke 4.124,51 dan indeks Nasdaq naik 0,27% ke 12.189,45.
Pasar digerakkan oleh berita dari OPEC+ yang memangkas produksi sebesar 1,16 juta barel per hari (bpd). West Texas Intermediate futures naik 6,28% menyentuh US$80,42 per barel, dan Brent berjangka naik 6,31% menjadi US$84,93 per barel.
Prospek harga minyak yang lebih tinggi dapat menambah kegelisahan lebih lanjut ke Wall Street karena penurunan produksi terjadi, menurut ahli strategi energi Morningstar Stephen Ellis.
"Pemotongan yang sebenarnya itu sendiri tidak terlalu mengejutkan, mengingat peningkatan besar dalam persediaan global dan kekhawatiran resesi, yang kemungkinan meningkat akibat kesulitan perbankan baru-baru ini," katanya.
"Harga minyak yang lebih tinggi cenderung memberikan dorongan sederhana untuk inflasi, memberikan lebih banyak efek peredam pada perekonomian."
Namun, penguatan di Wall Street mungkin berumur pendek mengingat faktor ekonomi makro yang lebih kuat, menurut analis pasar senior OANDA Ed Moya.
"Latar belakang makro saat ini tidak kondusif untuk reli pasar saham yang berarti: Perekonomian terikat resesi karena konsumen jelas melemah, pinjaman akan menjadi buruk, ketidakpastian biaya energi akan tetap tinggi untuk sementara waktu, dan kebijakan moneter akhirnya membatasi dan akan merusak bagian ekonomi," kata Moya.
Sentimen yang perlu dicermati investor terkait pergerakan IHSG hari ini berasal dari luar dan dalam negeri.
Indeks Wall Street yang menguat menjadi kabar positif IHSG yang bisa menjadi dorongan bagi gerak pasar saham Indonesia.
Pada perdagangan Senin (3/4/2023) Dow Jones naik 0,98% ditutup pada 33.601,15. Sementara S&P 500 menguat 0,37% ke 4.124,51 dan indeks Nasdaq naik 0,27% ke 12.189,45.
Pasar digerakkan oleh berita dari OPEC+ yang memangkas produksi sebesar 1,16 juta barel per hari (bpd) akan dimulai Mei dan berlangsung hingga akhir 2023.
Pemangkasan terbanyak dilakukan Arab Saudi yakni 500 ribu bpd di Arab Saudi, pemotongan 211 ribu barel/hari oleh Irak, 144 ribu bpd oleh Uni Emirat Arab, dan 128 ribu bpd dari Kuwait.
Pemangkasan OPEC di luar pemotongan produksi yang dilakukan Rusia 500.000 barel per hari hingga akhir tahun. Rusia memangkas produksi sebagai bentuk"balasan" ke sanksi Barat karena persoalan Ukraina.
Goldman Sachs menurunkan perkiraan produksi OPEC+ pada akhir tahun 2023 sebesar 1,1 juta bpd dan menaikkan perkiraan harga Brent untuk tahun 2023 sebesar US$5 menjadi US$95 per barel dan sebesar US$3 menjadi US$100 per barel untuk tahun 2024.
"OPEC+ memiliki kekuatan penetapan harga yang sangat signifikan dibandingkan dengan masa lalu, dan pemotongan kejutan hari ini konsisten dengan doktrin baru mereka untuk bertindak lebih dulu," kata bank tersebut.
"Meskipun mengejutkan, pemotongan ini mencerminkan pertimbangan ekonomi dan kemungkinan politik yang penting." imbuhnya.
Harga minyak yang menguat dapat menguntungkan emiten produsen minyak. Namun secara keseluruhan dapat memberikan efek negatif yakni kenaikan inflasi.
Inflasi yang menguat akan tetap membuat bank sentral hakish pada kebijakan suku bunganya dan akan berdampak negatif terhadap ekonomi.
Dari dalam negeri, investor tampaknya masih akan mencerna rilis data inflasi. Pada Maret 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi tahunan atau year on year (y-on-y) sebesar 4,97 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 114,36.
Adapun, tingkat inflasi month to month (m-to-m) Maret 2023 sebesar 0,18 persen dan tingkat inflasi year to date (y-to-d) Maret 2023 sebesar 0,68 persen.
Pudji Ismartini, Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, mengungkapkan inflasi ini dipicu oleh kenaikan harga pangan, terutama dari kelompok makanan, minuman dan tembakau, salah satunya beras.
"Inflasi Maret 2023 awal Ramadan relatif lebih rendah dari tahun seblumnya, tapi yag perlu diwasapdai komditas yang andil besar maka kita harus mewaspadai harga komoditas karena tingginya permintaan jelang hari raya Idul Fitril tarif angkutan uadara, daging sapi, daging ayam merah, telur ayam ras dan lain-lain," papar Pudji, Senin (4/3/2023).
Berikut sejumlah agenda dan rilis data yang terjadwal untuk hari ini:
- Inflasi Korea Selatan (06.00 WIB)
Berikut sejumlah agenda emiten di dalam negeri pada hari ini:
- RUPST BJBR (09.00 WIB)
- RUPST ADMF (10.00 WIB)
- Right Issue TBLA
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q4-2022 YoY) | 5,01% |
Inflasi (Februari 2023 YoY) | 4,97% |
BI-7 Day Reverse Repo Rate (Maret 2023) | 5,75% |
Surplus Anggaran (APBN Januari 2023) | 0,43% PDB |
Surplus Transaksi Berjalan (Q4-2022 YoY) | 1,3% PDB |
Surplus Neraca Pembayaran Indonesia (Q4-2022 YoY) | US$4,7 miliar |
Cadangan Devisa (Februari 2023) | US$140,3 miliar |
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]