Sentimen Buruk dari China Terlalu Kencang, Harga CPO Ambruk

Market - M Malik Haknuh, CNBC Indonesia
07 March 2023 09:10
Pekerja memuat tandan buah segar kelapa sawit untuk diangkut dari tempat pengumpul ke pabrik CPO di Pekanbaru, provinsi Riau, Indonesia, Rabu (27/4/2022). (REUTERS/Willy Kurniawan) Foto: Pekerja memuat tandan buah segar kelapa sawit untuk diangkut dari tempat pengumpul ke pabrik CPO di Pekanbaru, provinsi Riau, Indonesia, Rabu (27/4/2022). (REUTERS/Willy Kurniawan)

Jakarta, CNBC Indonesia - Sentimen negatif dari China terus menekan harga minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO).  Harga CPO di Bursa Malaysia Exchange melemah di sesi awal perdagangan Selasa (7/3/2023). Pada pukul 08:35 WIB, harga CPO pada sesi awal perdagangan melemah 0,16% ke MYR 4.276 /ton.

Pelemahan pagi ini memperpanjang tren negatif harga harga CPO yang juga melemah pada perdagangan hari sebelumnya.

Pada perdagangan kemarin, Senin (6/3/2023), harga CPO ditutup di posisi MYR 4.283 per ton. Harganya anjlok 1,59%. Melemahnya harga CPO disebabkan sentimen negatif dari China dan Eropa.

Seperti diketahui, pemerintah China mengumumkan target pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan ekspektasi pasar.

Pemerintah Tiongkok memperkirakan pertumbuhan ekonomi mereka hanya akan ada di kisaran 5% pada tahun ini.

Padahal, sejumlah analis dan lembaga memproyeksi ekonomi bisa tumbuh di atas 5% setelah hanya tumbuh 3% pada 2022.

Pelonggaran mobilitas serta pembukaan perbatasan internasional semula diyakini bisa mendongkrak ekonomi Beijing. Namun, China justru lebih pesimis dibandingkan pasar.

China merupakan konsumen terbesar komoditas, termasuk CPO sehingga pertumbuhan Negara Tirai Bambu akan sangat menentukan permintaan dan harga CPO global.

Pada 2022 saja, China mengimpor CPO sebanyak 3,48 juta ton dengan nilai US$ 3,57 miliar dari Indonesia. Tiongkok adalah pasar terbesar kedua CPO bagi Indonesia setelah India.

Harga CPO juga melandai sebagai dampak rencana Undang-undang deforestasi Uni Eropa.

Uni Eropa (UE) pada bulan Desember menyetujui undang-undang deforestasi yang mewajibkan perusahaan untuk membuat pernyataan uji tuntas dan memberikan informasi yang "dapat diverifikasi" bahwa komoditas, termasuk kelapa sawit, tidak ditanam di lahan yang digunduli setelah tahun 2020, atau berisiko terkena denda yang besar.

James Fry, ketua konsultan komoditas LMC International, mengatakan kepada Reuters. Peraturan tersebut dapat mengurangi permintaan impor di Uni Eropa.

Namun, kabar baiknya, tetapi surplus akan diserap oleh pembeli seperti India, Bangladesh, Pakistan, dan negara-negara Afrika.

"Sawit tidak cukup untuk memenuhi semua pasar, dan India akan sangat senang jika undang-undang deforestasi UE berarti ada lebih banyak minyak sawit untuk India," kata Fry, dikutip dari Reuters.

Uni Eropa adalah importir minyak sawit terbesar ketiga di dunia dengan pasar yang menyusut hingga kini kurang dari 10%. Negara-negara Asia seperti India dan China menyerap lebih dari 40% impor global.

Menurutnya, produksi CPO Indonesia akan naik. Namun, kenaikan produksi sebagian besar diserap secara lokal karena mandat biodiesel yang ambisius.

Indonesia pada bulan Januari meluncurkan program biodieselnya dengan kandungan wajib minyak sawit 35%, meningkat dari sebelumnya 30%.

Di Malaysia yang merupakan produsen terbesar kedua, James Fry mengatakan produksi mulai menurun karena penanaman kembali pohon kelapa sawit yang tidak produktif telah melambat. Produksi CPO Malaysia tahun lalu mencapai 18,45 juta ton.

"Di Malaysia, tantangannya adalah apakah produksi akan melebihi 20 juta ton," katanya.

Ekspor minyak sawit dari dua negara penghasil teratas memuncak pada 2019 dan sepertinya tidak akan mendekati itu lagi, kata Fry.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]


[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

Sudah Dibantu China dan Argentina, Harga CPO Tetap Ambruk 5%


(mae/mae)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading