
Bos Sawit Bisa Bernafas Lega, Harga CPO Melonjak Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) menguat tajam pada pagi hari ini. Harga CPO di Bursa Malaysia Exchange di sesi awal perdagangan Senin (16/01/2023) pukul 09:50 WIB, melonjak 1,64% ke MYR 3.908 /ton.
Penguatan hari ini menjadi kabar baik di tengah lesunya harga CPO beberapa hari terakhir. Pada perdagangan terakhir pekan lalu, Jumat (13/1/2023), harga CPO ditutup di posisi MYR 3.845 per ton. Harganya melemah 1,67%
Dalam sepekan, harga CPO masih melemah 5,1% sementara dalam sebulan melandai 0,26%.
Permintaan CPO dari pasar global memang masih melandai hingga pertengahan Januari 2023. Ekspor Malaysia pada 1-15 Januari 2023 tercatat 409.731 ton, ambruk 36,9% dibandingkan periode yang sama pada 1-15 Desember 2022.
Namun, permintaan dari global diharapkan semakin meningkat sejalan dengan dibukanya kembali perbatasan China dan pulihnya perekonomian India. Ekspektasi inilah yang ikut melambungkan harga CPO pada pagi hari ini.
India mengimpor CPO dan produk turunannya melonjak 96% (year on year/yoy) pada Desember 2022 menjadi 1,1 juta ton. Namun, pembelian tersebut lebih rendah dibandingkan pada November 2022 yang mencapai 1,14 juta ton.
Sementara itu, impor minyak kedelai India pada Desember jeblok 36% (yoy) menjadi 252.525 ton dan minyak bijih matahari jatuh 25% menjadi 194.009 ton.
Chief executive perusahaan broker sawit Sunvin Group, Sandeep Bajoria, mengatakan India mengimpor dalam jumlah besar pada bulan lalu untuk memanfaatkan diskon harga CPO.
"Harga palm oil lebih rendah sekitar US$ 300 ton. Diskon kemungkinan akan menipis menjadi US$ 200 per ton hingga Maret. Namun, permintaan sawit dari India diperkirakan akan terus meningkat karena mereka akan memanfaatkan harga yang lebih rendah," tutur Bajoria, dikutip dari Reuters.
Harga sawit juga diharapkan menguat setelah protes keras Malaysia. Seperti diketahui, Malaysia pada Kamis (12/1/2023) mengancam akan menghentikan ekspor CPO ke Uni Eropa (UE) sebagai bentuk protes diskriminasi kawasan tersebut terhadap komoditas CPO.
Undang-Undang (UU) Uni Eropa yang baru akan mengatur pembelian/penjualan CPO secara ketat sebagai upaya untuk melindungi hutan.
UU tersebut akan melarang minyak sawit dan komoditas lain yang ditengarai melakukan deforestasi. Pengecualian diberikan jika mereka bisa menunjukan komoditas tersebut tidak andil dalam merusak hutan.
Berdasarkan data Dewan Sawit Malaysia (MPOBD), Uni Eropa adalah pasar terbesar ketiga bagi CPO Malaysia dengan kontribusi sekitar 9,4%. Ekspor CPO dan produk turunannya dari Malaysia ke Uni Eropa diperkirakan mencapai 1,47 juta ton pada 2022, turun 10,5% dibandingkan 2021.
Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Kerajaan Malaysia Anwar Ibrahim juga sepakat untuk melawan diskriminasi terhadap sawit saat keduanya mengggelar pertemuan di Istana Kepresidenan Bogor, Senin (9/1/2023),
"Kita bersepakat memperkuat kerja sama melalui Council Palm Oil Producing Countries (CPOPC) untuk meningkatkan pasar minyak kelapa sawit dan memerangi diskriminasi terhadap kelapa sawit," tutur Jokowi, usai pertemuan.
Indonesia dan Malaysia memasok 85% CPO di dunia. Kebijakan kedua negara tersebut di sektor CPO akan sangat menentukan harga CPO di pasr global.
Kerja sama Indonesai dan Malaysia diperkirakan bisa memberikan tekanan berat ke pasar CPO.
"Kedua negara melalui CPOPC akan menemukan cara untuk menekan Eropa sehingga mereka tidak bisa menggertak dengan semena-mena Indonesia dan Malaysia," tutur Direktur Jenderal Dewan Kelapa Sawit Malaysia (MPOB) Malaysia Datuk Dr Ahmad Parveez Ghulam Kadir, kepada Bernama.
"Kalau kedua negara bersatu maka itu akan menekanUni Eropa sehingga mereka akan lebih rasional dan fair," imbuhnya.
Harga sawit juga diperkirakan akan terdampak oleh kebijakan mandatori B35 yang dilakukan Indonesia. Indonesia akan meningkatkan porsi biofuel menjadi B35 dari B20 pada Februari mendatang.
Mandatori B35 diperkirakan akan meningkatkan konsumsi CPO Indonesia menjadi 11,44 juta ton, naik 9,6 juta ton dibandingkan saat mandatori B30.
"Implementasi B35 Indonesia tentu saja akan mengubah penawaran dan permintaan pasar global CPO. Keseimbangan supply dan demand diperkirakan akan defisit," tutur analis dari Rabobank Oscar Tjakra, dikutip dari Reuters.
Indonesia juga akan membatasi ekspor CPO melalui skema domestic market obligation atau DMO.
Pengetatan tersebut dilakukan dengan menurunkan rasio volume ekspor dari volume domestic market obligation (DMO) yang dijalankan para perusahaan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bos Sawit Sabar Ya... Harga CPO ke Level Terendah 2 Pekan