Hati-hati! Ekonomi 'Bawah Tanah' RI Bisa Tembus Rp 5.091 T
Jakarta, CNBC Indonesia - Hasil penelitian ahli dari Universitas Indonesia mengungkapkan bahwa ekonomi bawah tanah (underground economy) atau ekonomi bayangan (shadow economy) di Indonesia memiliki jumlah sekitar Rp1.968 triliun.
Nilai aktivitas underground economy hasil riset yang dilakukan Kharisma & Khoirunurrofik pada 2019. Commonwealth of Independent States (CIS)
mengemukakan bahwa shadow economy di negara maju berkisar 15-20% dari PDB. Sementara itu, di negara berkembang, nilainya mencapai 30-35% dari PDB.
Jika Indonesia adalah negara berkembang dengan PDB atas dasar harga berlaku tahun 2021 mencapai Rp 16.970,8 triliun, maka nilai shadow economy Indonesia bisa mencapai Rp 5.091 triliun, dalam nilai minimum. Hal ini bukan tidak mungkin, pasalnya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat transaksi keuangan mencurigakan selama 2022 mencapai 1.215 laporan dengan nilai Rp 183,8 triliun.
Catatan PPATK ini belum termasuk transaksi di luar sistem pembayaran perbankan dan lembaga keuangan, atau secara tunai.
Shadow economy atau underground economy ini mencakup penerimaan yang berasal dari kegiatan illegal a.l. judi, pencucian uang, prostitusi, narkoba dan lainnya.
Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengemukakan ada dua hal tantangan yang dihadapi pemerintah di tengah shadow economy yang semakin besar. Pertama, kecepatan aparatur pengawasan transaksi keuangan dan perdagangan tidak mampu mengimbangi celah teknologi yang dimanfaatkan oleh pelaku shadow economy.
Kedua, edukasi dan literasi dari sisi konsumen di Indonesia cenderung lemah terkait aspek legalitas dalam pembelian barang atau jasa, sehingga bersikap permisif.
"Praktik shadow economy ini seperti dibiarkan, padahal banyak pendapatan negara khususnya pajak yang hilang karena besarnya shadow economy di Indonesia," ungkap Bhima, Kamis (29/12/2022).
Di sisi lain, Bhima juga melihat bahwa idealnya pertumbuhan digitalisasi membuat transparansi soal informasi transaksi meningkat, faktanya muncul berbagai transaksi yang gunakan uang kripto untuk menyembunyikan aktivitas transaksi dari otoritas pemerintah.
Data dari Chainalysis tahun 2022 mengungkap adanya kenaikan transaksi pencucian uang lintas negara sebesar 30% menggunakan mata uang kripto dibanding tahun 2021.
Selain masalah kripto, dia melihat shadow economy juga tumbuh pesat ketika kesadaran rendah pengguna digital dalam membeli barang atau layanan yang legal.
"Mulai dari software bajakan, hingga film yang didownload secara ilegal juga memicu besarnya risiko shadow economy," katanya.
Sayangnya, sanksi bagi media sosial dan platform ecommerce yang menjual barang bajakan hampir tidak ada.
(haa/haa)