Sidang dipimpin langsung oleh Ketua DPR RI Puan Maharani dan disaksikan oleh anggota dewan serta pemerintah yang diwakili olleh Menteri Keuangan Sri Mulyani dan jajarannya. Pengesahan berjalan mulus dengan semua fraksi DPR mendukung UU tersebut.
"Kami meyakini bahwa ikhtiar kita akan membawa RUU P2SK mencapai tujuannya untuk mereformasi sektor keuangan Indonesia demi masa depan bangsa yang lebih sejahtera," kata Sri Mulyani membacakan pendapat akhir Presiden Joko Widodo.
Menurutnya, reformasi sektor keuangan Indonesia merupakan prasyarat utama untuk membangun perekonomian Indonesia yang dinamis, kokoh, mandiri, sustainable, dan berkeadilan. Sebelumnya, ada 17 undang-undang terkait sektor keuangan yang telah cukup lama berlaku, bahkan ada yang telah melebihi 30 tahun, sehingga perlu disesuaikan dengan dinamika perubahan zaman.
Hal inilah menjadi salah satu dasar disusunya RUU P2SK. Dia menegaskan bahwa pemerintah sependapat dengan DPR terkait dengan ruang lingkup dan
pokok-pokok hasil pembahasan yang telah mengerucutkan berbagai upaya reformasi sektor keuangan Indonesia ke dalam 27 Bab dan 341 Pasal di RUU P2SK.
Dengan UU ini, Sri Mulyani mengatakan pemerintah sependapat dengan DPR-RI bahwa RUU P2SK akan menguatkan kewenangan dan tata kelola kelembagaan di sektor keuangan.
"Tujuan, tugas dan wewenang Bank Indonesia dipertegas mencakup tujuan turut memelihara stabilitas sistem keuangan dan pertumbuhan ekonomi, dengan tetap menjaga independensi," ujarnya.
Sri Mulyani pun mengungkapkan tujuan, tugas, dan wewenang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ditambah dengan mandat menjamin polis asuransi yang dikelola oleh perusahaan asuransi.
Sebagaimana diketahui, peran LPS di dalam RUU PPSK ditambah, yakni harus melindungi dana masyarakat yang ditempatkan pada bank dan perusahaan asuransi.
Adanya penambahan tugas itu maka Anggota Dewan Komisioner LPS berjumlah 7 orang, yakni 1 pejabat setingkat Eselon I yang ditunjuk oleh Menkeu, 1 orang anggota DK OJK yang ditunjuk Ketua DK OJK, 1 orang anggota Dewan Gubernur BI yang ditunjuk oleh Gubernur BI, dan 4 orang anggota yang berasal dari dalam/atau dari luar LPS.
Anggota DK LPS yang dimaksud terdiri atas Ketua DK merangkap anggota, anggota DK yang membidangi program penjaminan dan resolusi bank, dan anggota DK yang membidangi program penjaminan polis.
Sehingga fungsi LPS diantaranya menjamin simpanan nasabah penyimpanan, menjamin polis asuransi, turut aktif dalam memelihara stabilitas sistem keuangan sesuai dengan kewenangannya, melakukan resolusi bank, dan melakukan penyelesaian permasalahan perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya oleh OJK.
Di dalam Pasal 5 RUU PPSK, dijelaskan, tugas LPS yakni merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan dan melaksanakan penjaminan.
Dalam menjalankan fungsi menjamin polis asuransi, LPS bertugas merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan program penjaminan polis dan melaksanakan program penjaminan polis.
LPS juga bertugas merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan stabilitas sistem keuangan sesuai kewenangannya.
Kemudian dalam menjalankan resolusi bank, LPS harus merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan persiapan tindakan resolusi bank, termasuk uji tuntas pada bank, serta penjajakan kepada bank atau investor lain.
LPS juga bertugas "Merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan resolusi bank yang ditetapkan sebagai bank dalam resolusi," tulis Pasal 5 ayat (4).
Begitu juga dalam menjalankan fungsinya dalam melakukan penyelesaian perusahaan asuransi. LPS harus merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan persiapan likuidasi perusahaan asuransi.
LPS juga harus merumuskan, menetapkan, dan melaksanakan kebijakan likuidasi perusahaan asuransi yang dicabut izin usahanya oleh OJK.
Dalam rangka penjaminan polis, LPS harus menetapkan dan memungut premi penjaminan dan iuran berkala penjaminan polis, serta menetapkan dan memungut kontribusi pada saat perusahaan asuransi pertama kali menjadi peserta.
Selain itu, LPS juga berwenang melakukan pengelolaan kekayaan dan kewajibannya, termasuk melakukan hapus buku dan hapus tagih terhadap aset berupa piutang serta aset lainnya.
LPS juga berwenang mendapatkan data simpanan nasabah penyimpanan, data kesehatan bank, laporan keuangan bank, dan laporan hasil pemeriksaan bank.
Kemudian, LPS juga berwenang mendapatkan data pemegang polis, tertanggung, dan peserta asuransi. LPS juga berwenang mendapatkan data kesehatan perusahaan asuransi, laporan keuangan perusahaan asuransi, serta laporan hasil pemeriksaan perusahaan asuransi.
"Menetapkan syarat, tata cara, dan ketentuan mengenai pembayaran klaim penjaminan dan pelaksanaan penjaminan polis," seperti dikutip Pasal 6 ayat (1) huruf g.
Adapun, LPS boleh menguasakan, dan/atau menugaskan pihak lain untuk bertindak bagi kepentingan dan/atau atas nama LPS guna melaksanakan sebagian tugas tertentu.
LPS juga diperbolehkan melakukan pemeriksaan bank dan perusahaan asuransi, secara sendiri atau bersama dengan OJK.
Lebih lanjut, LPS juga berwenang melakukan penempatan dana pada bank dalam penyehatan berdasarkan permintaan dari OJK dan menunjuk pengelola statuter pada bank yang menerima penempatan dana LPS.
LPS juga berhak melakukan pengalihan portofolio pertanggungan, pembayaran klaim penjaminan, dan pengembalian premi atau kontribusi yang belum berjalan, pada saat perusahaan asuransi dilikuidasi.
Kewenangan LPS yang lain yakni juga diperbolehkan mengalihkan polis asuransi tanpa persetujuan pemegang polis asuransi dan menjatuhkan sanksi administratif.
Pada Pasal 10A, dijelaskan, bahwa LPS dapat menjamin simpanan untuk kelompok nasabah. Ketentuan mengenai penjaminan kelompok nasabah akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
Adapun, disaat LPS menerima pemberitahuan tertulis dari OJK dalam persoalan Bank Resolusi atau Perusahaan Asuransi yang dicabut izin usahanya, LPS berwenang:
- Mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS.
- Menguasai dan mengelola aset dan kewajiban Bank Dalam Resolusi dan Perusahaan Asuransi.
- Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat Bank Dalam Resolusi dan Perusahaan Asuransi dengan pihak ketiga yang merugikannya.
- Menjual dan/atau mengalihkan aset bank atau perusahaan asuransi tanpa persetujuan debitur dan/atau mengalihkan kewajiban Bank Dalam Resolusi atau Perusahaan Asuransi tanpa persetujuan kreditur.
Kemudian, Sri Mulyani juga menegaskan bahwa pengawasan terintegrasi di bawah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sangat diperlukan agar pengembangan dan penguatan sektor keuangan terjadi secara menyeluruh, tidak hanya pada sektor yang sudah berkembang seperti perbankan tetapi juga pasar modal, dana pensiun,
asuransi, serta industri yang relatif baru seperti inovasi teknologi sektor keuangan (fintech) dan aktivitas transaksi aset keuangan digital seperti
kripto, maupun koperasi yang melakukan kegiatan di sektor jasa keuangan, dengan tetap mempertahankan jati diri koperasi yang tidak berubah.
Dengan demikian, telah disepakati pemindahan pengawasan aset keuangan digital termasuk aset kripto ke Otoritas Jasa Keuangan, agar pengaturan dan pengawasan aset keuangan digital lebih kuat, khususnya dalam hal aspek pelindungan investor atau konsumen.
 Foto: lambag OJK |
"Pemerintah sependapat dengan pandangan DPR bahwa diperlukan waktu transisi antara Otoritas Jasa Keuangan dan Bapebbti dengan baik dan optimal tanpa mengganggu perkembangan transaksi aset kripto yang sedang berjalan," kata Sri Mulyani.
Sementara itu, terkait dengan pengawasan koperasi simpan pinjam (KSP), Sri Mulyani menegaskan bahwa pemerintah sependapat dengan pandangan DPR bahwa koperasi harus didudukkan pada fungsi dan proporsi yang sebenarnya, yaitu dari anggota untuk anggota, sehingga bisa memberikan kontribusinya sebagai soko guru ekonomi nasional.
Nantinya, koperasi yang melaksanakan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, perizinan, pengaturan, dan pengawasannya dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
"Ketentuan ini akan memberikan kepastian hukum yang berorientasi pada perlindungan masyarakat," ujarnya di DPR.
Adapun, terkait dengan Bank Indonesia (BI), Sri Mulyani memastikan tujuan, tugas dan wewenang Bank Indonesia dipertegas mencakup tujuan turut memelihara stabilitas sistem keuangan dan pertumbuhan ekonomi, dengan tetap menjaga independensi.
UU P2SK ini memperkuat mandat yang ditujukan kepada BI yang pada akhirnya bermuara untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di Tanah Air.
"Tujuan BI adalah mencapai stabilitas nilai rupiah, memelihara stabilitas sistem pembayaran, dan turut menjaga stabilitas sistem keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan," tulis RUU PPSK Pasal 7 Bagian Kelembagaan BI.
Dalam mencapai tujuan yang dimaksud, tugas BI yakni menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter secara berkelanjutan, konsisten dan transparan.
Tugas BI lainnya yaitu mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, juga menetapkan dan melaksanakan kebijakan makroprudensial.
Ditegaskan dalam Pasal 9 bahwa pihak lain dilarang melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas BI, kecuali untuk hal-hal tertentu yang secara tegas diatur dengan undang-undang ini.
BI juga wajib menolak dan/atau mengabaikan segala bentuk campur tangan dari pihak manapun dalam rangka pelaksanaan tugas.
Dalam mengelola likuiditas untuk pertumbuhan ekonomi. BI dapat melakukan melalui pembelian atau penjualan surat berharga dan/atau surat berharga berkualitas lainnya di pasar sekunder.
BI juga dapat melakukan penempatan dana pada lembaga keuangan dalam rangka pengembangan pasar uang, kebijakan giro wajib minimum (GWM), bauran kebijakan moneter, dan/atau instrumen kebijakan lainnya.
Dalam pengelolaan likuiditas di dalam RUU PPSK, dijelaskan bahwa BI harus mengutamakan pencapaian tujuan untuk mencapai kestabilan nilai rupiah dalam rangka kebijakan moneter, dengan memperhatikan kondisi makro ekonomi.
Hal yang juga berbeda dari aturan sebelumnya di dalam aturan BI, yakni kewenangan BI yang ditambah dalam penanganan stabilitas sistem keuangan yang disebabkan oleh krisis.
Kemudian, pemberlakukan burden sharing atau berbagi beban oleh BI kepada pemerintah akan berlaku selamanya lewat RUU PPSK ini. Aturan ini secara jelas diatur di dalam Pasal 36A.
Pasal 36A menyebutkan bahwa dalam rangka penanganan stabilitas sistem keuangan yang disebabkan oleh kondisi krisis, BI berwenang untuk membeli SBN berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional.
Seperti diketahui, sebelumnya konteks burden sharing hanya ditetapkan sementara untuk mendukung APBN dalam menangani dampak pandemi Covid-19. Berdasarkan UU No. 2/2020, burden sharing BI dan Pemerintah hanya berlaku hingga 2022.
Diubahnya ketentuan skema burden sharing antara BI dan pemerintah dituangkan di dalam RUU PPSK, dan kemudian disahkan menjadi undang-undang. Maka BI bisa melakukan burden sharing selamanya selama undang-undang ini berlaku.
Penjelasan lengkap Pasal 36A sebagai langkah BI dalam rangka penanganan stabilitas sistem keuangan yang disebabkan oleh krisis, kewenangan BI diantaranya:
- Membeli Surat Berharga Negara (SBN) berjangka panjang di pasar perdana untuk penanganan permasalahan sistem keuangan yang membahayakan perekonomian nasional.
- Membeli/repo SBN yang dimiliki LPS untuk biaya penanganan permasalahan bank.
- Memberikan akses pendanaan kepada korporasi/swasta dengan cara repo SBN yang dimiliki korporasi/swasta melalui perbankan.
Adapun dalam pembelian SBN di pasar perdana harus disepakati melalui keputusan bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI.
"Skema dan mekanisme pembelian Surat Berharga Negara di pasar perdana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan dalam keputusan bersama Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia," Pasal 36A ayat (4).