Berada pada waktu tepat tampaknya tidak cukup bagi SLIS. Antusiasme investor secara cepat pudar, salah satunya karena kinerja keuangan perusahaan urung menunjukkan perbaikan fantastis.
Perusahaan juga tidak mengumumkan adanya influks pemesanan yang menyebabkan backlog produksi dan pengiriman, seperti yang terjadi dengan Tesla. Artinya pandangan investor dan masyarakat umum secara luas berlawanan dengan tidak cukupnya jumlah pelanggan untuk melegitimasi hasrat bullish para investor.
Pendapatan perusahaan hanya berfluktuasi di kisaran Rp 100 miliar per kuartal, dengan catatan tertinggi dibukukan pada kuartal akhir 2019 atau bertepatan dengan IPO perusahaan.
Senada, meski rutin mencatatkan laba bersih, angka tersebut nyaris secara eksklusif kurang dari Rp 10 miliar - NPM sekitar 10%. Artinya perusahaan kesulitan memperkuat modal lewat aliran kas dan operasional perusahaan. Hal ini pada akhirnya berimbas pada kinerja yang stagnan karena tidak terdapat dana untuk ekspansi bisnis, baik itu untuk meningkatkan kapasitas pabrik atau keperluan promosi dan pemasaran.
RI kali ini oleh perusahaan tampaknya akan menyasar target tersebut dan berupaya memperbaiki permodalan perusahaan agar dapat melakukan ekspansi dan bersaing di segmen yang mulai diincar oleh banyak konglomerat bisnis lain.
Dalam prospektus RI, perusahaan disebut akan menerbitkan 2 miliar saham baru dengan harga pelaksanaan akan ditentukan kemudian. Menggunakan asumsi harga rata-rata penutupan perdagangan setahun terakhir di kisaran Rp 485 perusahaan berpotensi meraih dana segar nyaris Rp 1 triliun. Angka ini bisa jadi lebih besar atau jauh lebih kecil, apalagi jika perusahaan memutuskan menetapkan di harga perdagangan terendah tahun ini, dana galangan hanya akan mencapai kurang dari Rp 300 miliar.
Sebagai pemanis, perusahaan juga menerbitkan 700 juta waran dan menyebut akan menggunakan dana hasil RI untuk modal kerja dan setoran modal di anak perusahaan.
Selanjutnya keyakinan investor juga ikut tergerus oleh blunder yang dilakukan oleh pejabat penting perusahaan yang ketahuan menjual kepemilikan sahamnya di perusahaan. Meski demikian, yang bersangkutan mengklaim secara tidak sengaja membeli saham SLIS dan kemudian secara cepat melepasnya. Namun fakta pelepasan tersebut yang terjadi di harga yang lebih tinggi dari pembelian tampaknya membuat investor kurang senang dan membuat saham perusahaan kembali tertekan setelah pengungkapan.
Terbaru pengendali SLIS ikut melego kepemilikan sahamnya. Mengutip keterbukaan informasi perusahaan menyebut, PT Selis Investama Indonesia dalam tiga kali kesempatan mengungkapkan alasan melego saham adalah untuk "meningkatkan performa keuangan perseroan."
Perusahaan tidak mengelaborasi lebih lanjut terkait kepada transaksi tersebut dan apakah ada potensi masuknya investor strategis yang ikut memodali RI perusahaan. Atau bahkan malah sebaliknya, perusahaan melepaskan beban RI kepada investor ritel lewat pengurangan porsi kepemilikan di SLIS. Hingga saat ini perusahaan masih belum menyampaikan prospektus rinci atau memberikan indikasi investor strategis yang siap menjadi pembeli siaga.
Sebagai early adopter bisnis kendaraan listrik, sejatinya SLIS disambut dengan karpet merah. Apalagi mengingat perusahaan berfokus pada kendaraan roda dua, yang mana merupakan moda transportasi utama di Republik Indonesia. Apabila revolusi kendaraan listrik terjadi di dalam negeri, tentu pemantik utamanya akan datang dari segmen roda dua, mengingat segmen ini diharpakan menjadi yang pertama dan paling utama mengalami elektrifikasi.
Akan tetapi SLIS tampaknya gagal memanfaatkan keunggulan kompetitif ini, pasalnya kini perusahaan harus bersaing dengan sejumlah kompetitor yang didanai konglomerat bisnis raksasa dengan kantong lebih tebal.
Kondisi modal terbatas ditambah daya beli masyarakat rendah membuat nasib SLIS untuk menjadi pemimpin utama kian menggantung. Namun, nasib ini dapat segera berbalik arah ke semua sis, menjadi lebih baik atau lebih buruk.
Selain gelaran right issue, sentimen lain yang dapat mendongkrak kinerja perusahaan datang dari pemerintah, di mana Menteri Luhut menyebut akan adanya insentif pembelian motor listrik sebesar Rp 6,5 juta. Akan tetapi skema dan kerangka waktunya masih belum dijelaskan secara rinci.
Sebelumnya pemerintah juga telah mengeluarkan instruksi presiden terkait penggunaan kendaraan listrik baterai (BEV) untuk keperluan dinas dan perorangan oleh instansi pusat dan daerah.
Pemerintah juga menargetkan akan ada 1,2 juta motor listrik dan 35.000 unit mobil listrik yang mengaspal di Tanah Air pada tahun 2024 mendatang.
Hal ini tentu dapat menjadi motor penggerak utama pertumbuhan SLIS, apabila manajemen perusahaan mampu memanfaatkan secara optimal kesempatan emas ini.
Meski demikian, hal ini bukanlah langkah mudah, mengingat makin hari makin bertambah konglomerat raksasa yang mulai melirik dan ikut terjun langsung berperang di arena tinju kendaraan ramah lingkungan tersebut.
Jika SLIS memperoleh keuntungan dari kebijakan pemerintah, hal yang sama akan turut dirasakan oleh Indika Energy (INDY), TBS Energi Utama (TOBA), NFC Indonesia (NFCX) dan sejumlah perusahaan lain yang ikut mengembangkan motor listrik di Tanah Air.
Dengan sektor bisnis yang masih belia, masih belum diketahui pasti preferensi dari pelanggaran motor listrik. Apakah mayoritas akan lebih tertarik dengan sepeda motor ekonomis yang tentu akan menguntungkan SLIS, atau malah menyukai desain dan performa kelas atas seperti yang ditawarkan Alva One rintisan INDY, dengan subsidi membuat harganya semakin kompetitif. Apabila masyarakat RI banyak yang memilih opsi dua tentu akan menjadi berita buruk bagi SLIS.
Seberapa besar potensi kenaikan saham dan kinerja SLIS masih belum pasti, dan masih menunggu kesuksesan penambahan modal dan langkah strategis dan efektif yang dilakukan perusahaan untuk mengkapitalisasi iklim bisnis dan kebijakan yang berbaris menyemangati perusahaan.
TIM RISET CNBC INDONESIA