Jakarta, CNBC Indonesia - Harga aset keuangan dalam negeri bergerak tak kompak pada perdagangan kemarin, Rabu (2/11/2022). Saham cenderung melemah tetapi pasar Surat Berharga Negara (SBN) mengalami kenaikan.
Sudah dua hari beruntun, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami koreksi. IHSG drop 0,52% dan ditutup di 7.015,69.
IHSG semakin bergerak menjauhi level psikologis 7.100 dan bahkan sempat keluar dari level psikologis 7.000 dengan posisi terendahnya ada di 6.976,87 kemarin.
Investor asing juga mencatatkan net sell sebesar Rp 48,9 miliar di pasar reguler. Namun aksi jual tersebut masih tergolong kecil.
Mayoritas saham juga mengalami koreksi. Statistik perdagangan mencatat ada 285 saham yang harganya turun, 232 saham menguat dan 184 saham stagnan.
Berbeda dengan pasar saham yang mengalami koreksi, pasar SBN justru menguat. Imbal hasil (yield) SBN acuan tenor 10 tahun turun cukup dalam.
Yield SBN 10 tahun turun 8,5 basis poin (bps) menjadi 7,45% dari posisi sebelumnya yang berada di 7,54%. Jika dibandingkan dengan bulan Oktober, yield SBN cenderung bergerak turun.
Untuk diketahui, yield SBN 10 tahun sempat menyentuh posisi tertingginya di sepanjang tahun ini di 7,65% pada 24 Oktober 2022.
Pergerakan yield berbanding terbalik dengan harganya. Artinya ketika yield mengalami penurunan maka harganya sedang naik. Begitu juga sebaliknya.
Penurunan yield yang terjadi juga tak seperti biasanya. Secara historis ketika nilai tukar rupiah mengalami pelemahan, yield akan naik.
Namun hal tersebut tidak terjadi kemarin. Ketika yield turun, rupiah justru melemah. Di pasar spot, nilai tukar rupiah melemah 0,13% di hadapan dolar AS dan ditutup di Rp 15.645/US$.
Rupiah sudah melemah hampir 10% sepanjang tahun ini. Posisi penutupan rupiah kemarin merupakan posisi terendahnya sepanjang tahun ini.
Bank Indonesia (BI) melihat bahwa tekanan yang dihadapi rupiah ke depan masih akan besar seiring dengan agresivitas bank sentral AS untuk mengerek naik suku bunga.
"Dolar Amerika Serikat menguat hampir terhadap seluruh mata uang, baik mata uang negara utama, maupun sebagian besar mata uang emerging market (pasar negara berkembang)," jelas Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, Edi Susianto kepada CNBC Indonesia, Senin (1/11/2022).
Beralih ke bursa saham New York, pergerakan indeks acuannya masih volatil. Di awal perdagangan indeks terkoreksi di zona merah, akan tetapi indeks berbalik arah setelah pengumuman kebijakan suku bunga Fed.
Indeks Dow Jones dibuka melemah 0,14%; S&P 500 turun 0,5% dan Nasdaq Composite anjlok 1% di awal perdagangan.
Namun setelah 2 jam berselang, indeks mengalami pemangkasan koreksi, tetapi masih tipis. Indeks Dow Jones terpantau melemah 0,11% sedangkan S&P 500 dan Nasdaq Composite turun 0,44% dan 0,94%.
Hingga akhirnya ketiga indeks tersebut kompak menguat setelah Fed menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps) menjadi 3,7%%-4%.
Setelahnya indeks bergerak volatil dan hingga pukul 2:45 waktu setempat saat Jerome Powell melakukan press conference kenaikan suku bunga, hanya DJI yang tercatat masih menghijau 0,27%, sisanya S&P 500 dan Nasdaq merah masing-masing 0,2% dan 0,48%.
Pada penutupan perdagangan bursa AS terpaksa terkapar di zona koreksi dimana Dow Jones Longsor 1,55%, S&P 500 turun 2,5%, dan Nasdaq tumbang 3,36%.
Secara kumulatif Fed telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 375 bps sepanjang tahun ini dimulai sejak bulan Maret lalu.
Keputusan bank sentral terjadi setelah rilis data pekerjaan yang kuat, dengan data penggajian swasta yang lebih baik dari perkiraan untuk Oktober mencerminkan pasar tenaga kerja yang tangguh.
Laporan JOLTS menunjukkan bahwa pasar tenaga kerja AS masih tangguh meskipun Fed secara agresif mengetatkan kebijakan moneter.
Sementara itu musim rilis kinerja keuangan emiten saham AS berlanjut dengan hasil yang kuat dari CVS Health.
Indeks Dow Jones masih tetap memimpin penguatan dengan apresiasi 0,87% disusul oleh indeks S&P 500 yang menguat 0,61% dan Nasdaq Composite yang naik 0,39%.
Dow Jones yang memimpin penguatan mengindikasikan bahwa investor cenderung masih main aman alias defensive mengingat konstituen indeks Dow Jones merupakan saham-saham blue chip AS.
Fed boleh saja masih agresif di bulan November. Namun ekspektasi bahwa Fed akan mulai melunak membuat indeks saham Wall Street rebound.
Selain kenaikan 75 bps yang sudah diperkirakan oleh pelaku pasar, press rilis Fed juga mensinyalkan mulai menaikkan suku bunga acuan dengan magnitude yang lebih kecil ke depannya.
"Peningkatan berkelanjutan dalam kisaran target akan sesuai," kata bank sentral AS pada akhir pertemuan kebijakan dua hari terakhirnya.
"Dalam menentukan laju kenaikan di masa depan dalam kisaran target, Komite (Pasar Terbuka Federal) akan mempertimbangkan pengetatan kumulatif kebijakan moneter, kelambatan di mana kebijakan moneter mempengaruhi aktivitas ekonomi. dan inflasi, dan perkembangan ekonomi dan keuangan."
Kalimat tersebutlah yang ditangkap oleh para pelaku pasar sebagai clue atau petunjuk bahwa Fed akan mulai melunak.
Komentar dari Fed dan Ketua Jerome Powell akan memainkan peran kunci penentu arah pergerakan saham dalam beberapa bulan ke depan.
"Kelanjutan reli akhir tahun bergantung pada Fed yang menyampaikan narasi pivot," tulis Emmanuel Cau dari Barclays dalam sebuah catatan kepada klien Rabu, mengutip CNBC International.
"Peak hawkishness mungkin memicu lebih banyak FOMO, tetapi jangan disamakan dengan dovish, karena bank sentral terus berjalan di garis yang bagus. Pemangkasan suku bunga telah menjadi prasyarat bagi ekuitas untuk memulai reli baru di masa lalu - tetapi kita belum sampai di sana." Pungkasnya.
Selain Fed, pelaku pasar juga mencermati perkembangan ekonomi China yang masih dibayangi dengan perlambatan.
Setahun lebih setelah krisis likuiditas yang dialami oleh pengembang properti China Evergrande Group terjadi, kondisi pasar properti Negeri Tirai Bambu justru semakin menyedihkan sekarang.
Harga dan volume penjualan properti juga mengalami penurunan secara konsisten. China Index Academy (CIA) melaporkan harga rumah di 100 kota di China drop 4 bulan berturut-turut hingga Oktober 2022.
Sementara itu penjualan properti di 100 kota di China juga dilaporkan turun 20% year-on-year (yoy) pada Oktober 2022 oleh CIA.
Penurunan kinerja sektor properti tersebut membuat ekonomi China dibayangi oleh perlambatan yang nyata. Goldman Sachs menyebut bahwa kontribusi sektor real estate di China diperkirakan mencapai 18%-30% dari PDB.
Kondisi yang memprihatinkan di sektor properti ditambah dengan dengan kebijakan China yang ekstrim yaitu zero covid policy membuat perekonomiannya semakin terpuruk.
Well, pada akhirnya rebound yang terjadi merupakan kenaikan yang sifatnya temporer dan risiko di pasar keuangan masih tetap tinggi.
Berikut beberapa data ekonomi yang akan dirilis hari ini:
- Rilis data neraca dagang Australia bulan September 2022 (07:30 WIB)
- Rilis data PMI Singapura bulan Oktober 2022 (07:30 WIB)
- Rilis data PMI Jasa Caixin China bulan Oktober 2022 (08:45 WIB).
Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:
Indikator | Tingkat |
Pertumbuhan Ekonomi (Q1-2022 YoY) | 5,44 % |
Inflasi (Oktober 2022, YoY) | 5,71% |
BI 7 Day Reverse Repo Rate (Oktober 2022) | 4,75% |
Surplus/Defisit Anggaran Sementara (APBN 2022) | -3,92% PDB |
Surplus/Defisit Transaksi Berjalan (Q2-2022) | 1,1% PDB |
Cadangan Devisa (Juli 2022) | US$ 130,8 miliar |
TIM RISET CNBC INDONESIA