Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi Indonesia melandai cukup tajam pada Oktober 2022. Kendati demikian, Bank Indonesia (BI) diperkirakan masih akan memberlakukan kebijakan agresif bulan ini untuk menahan laju inflasi inti, menjaga stabilitas nilai tukar, dan mengantisipasi kebijakan moneter di Amerika Serikat (AS).
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Selasa (1/11/2022) mengumumkan Indeks Harga Konsumen (IHK) Indonesia tercatat deflasi sebesar 0,11% (month to month/mtm) pada Oktober.
Deflasi ini berbanding terbalik dengan lonjakan inflasi 1,17% (mtm) pada September. Secara tahunan, inflasi tercatat 5,71% pada Oktober atau melandai dibandingkan 5,95% yang tercatat pada September.
Inflasi pada Oktober jauh di bawah ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesiadari 12 institusi memperkirakan inflasi Oktober akan menembus 0,08% dibandingkan bulan sebelumnya. Hasil polling juga memperkirakan inflasi akan menembus 5,95% (yoy).
Ekonom Bank Danamon Irman Faiz memproyeksi BI masih akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps pada 16-17 November 2022.
Sebagai catatan, BI telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis points (bps) secara beruntun pada September dan Oktober lalu.
Dengan demikian, suku bunga acuan BI (BI 7-Day Reverse Repo Rate/BI7DRR) sudah naik sebesar 125 bps sepanjang tahun ini menjadi 4,75% pada Oktober 2022.
"Masih akan (naik) 50 bps karena core inflationnya masih naik dan rupiah tertekan" tutur Irman, kepada CNBC Indonesia.
Irman memperkirakan inflasi inti akan mencapai 4,4% pada akhir tahun. Inflasi inti terus meningkat sejalan dengan membaiknya permintaan dan aktivitas ekonomi dalam negeri.
"Hingga kuartal III-2022, indikator permintaan domestik seperti penjualan kendaraan, penjualan ritel, dan indeks keyakinan konsumen tumbuh positif," ujarnya.
Merujuk data BPS, inflasi inti pada Oktober menembus 0,16% (mtm) dan 3,31% (yoy). Inflasi inti tahunan pada Oktober 2022 adalah yang tertinggi sejak September 2019 atau tiga tahun terakhir.
Gubernur BI Perry Warjiyo, pada pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) 20 Oktober lalu, mengatakan salah satu alasan BI menaikkan suku bunga hingga 50 bps adalah memastikan inflasi inti ke depan kembali ke dalam sasaran 3,0±1% lebih awal yaitu ke paruh pertama 2023.
Selain inflasi inti, BI juga diperkirakan masih akan mengetatkan kebijakan moneter ketatnya karena pelemahan rupiah serta antisipasi kenaikan suku bunga bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed).
Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar AS di awal perdagangan Rabu (2/11/2022). Melansir data Refintiv, rupiah melemah 0,12% ke Rp 15.644/US$ begitu perdagangan pasar spot dibuka.
Jika tidak mampu bangkit hingga penutupan perdagangan nanti, maka rupiah akan membukukan pelemahan 3 hari beruntun. Posisi rupiah saat ini adalah yang terendah sejak April 2020 atau 3,5 tahun terakhir.
Rupiah tersungkur karena menguatnya dolar AS menjelang pengumuman kebijakan The Fed. The Fed tengah menggelar rapat Federal Open Market Committee (FOMC) dan akan mengumumkan kebijakan moneter mereka Rabu malam nanti waktu AS.
Pasar berekspektasi jika The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bps. Sebagai catatan, The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 300 bps pada tahun ini menjadi 3,0-3,25% bps.
Kenaikan suku bunga acuan The Fed akan membuat dolar AS makin dicari sebagai aset safe heaven. Kondisi ini bisa membuat rupiah terpuruk lebih dalam.
Kenaikan suku bunga acuan The Fed membuat real rate antara BI dan The Fed Fund rate (FFR) makin mengecil sehingga aset berdenominasi rupiah menjadi kurang menarik.
Dengan alasan itu pula, ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan BI masih akan agresif ke depan.
"Ada faktor pelemahan rupiah karena di November FFR diprediksi naik lagi 75 bps ke 4%. Masih ada ruang untuk (BI) naik 50 bps. Tapi kita lihat perkembangan juga," ujar Faisal, kepada CNBC Indonesia.
Jika BI kemudian menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps pada November ini maka kubu MH Thamrin membuat sejarah dengan mengerek suku bunga acuan sebesar 50 bps selama tiga bulan beruntun.
BI secara resmi baru mengenalkan kebijakan moneter sebagai kerangka kebijakan moneter Inflation Targeting Framework (ITF)) sejak 1 Juli 2005. Setelah itu, BI kemudian bertindak agresif dengan menaikkan suku bunga acuan (BI rate) sebesar 25 bps pada Agustus, 125 bps pada September, 100 bps pada Oktober, 125 bps pada November, dan 50 bps pada Desember.
Dengan demikian, BI rate naik 425 menjadi 12,75% pada Desember 2005.
Kebijakan agresif pada 2005 diberlakukan menyusul lonjakan inflasi akibat kenaikan harga BBM subsidi serta kebijakan agresif The Fed.
Pada 2005, pemerintah menaikkan harga BBM Subsidi sebanyak dua kali yakni sebesar rata-rata 29% pada Maret dan sebesar 114% pada Oktober. Kenaikan harga BBM langsung melambungkan inflasi pada 2005 hingga menyentuh 17,11% dengan laju inflasi tertinggi terjadi pada Oktober 2005 yakni 8,7% (mtm).
Kenaikan suku bunga secara agresif kembali dilakukan BI pada 2008 untuk meredam inflasi yang melambung. Inflasi pada 2008 tercatat 11,06% setelah pemerintah menaikkan harga BBM sebesar 28% pada Mei 2008.
BI sudah mengerek Suku bunga dinaikkan sebesar 25 bps menjadi 8,25% pada Mei 2008. Setelah Mei, BI terus menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps setiap bulan dan baru menahannya pada November 2008.
Sepanjang Mei-Oktober 2008, BI mengerek suku bunga hingga 150 bps hingga menyentuh 9,50% pada Oktober 2008.
Pada 2013, BI juga kembali memberlakukan kebijakan moneter ketat dengan menaikkan suku bunga secara kumulatif 175 bps menjadi 7,50 % pada akhir tahun.
Kebijakan agresif ditempuh untuk menekan goncangan ketidakpastian global pada periode "taper tantrum" setelah The Fed mengetatkan kebijakan longgarnya (quantitative easing). Juga, lonjakan inflasi akibat keniikan harga BBM subsidi sebesar 30% pada Juni 2013.
Pada 13 Juni atau sebelum kenaikan harga BBM, BI bertindak pre-emptive dengan mengerek suku bunga acuan sebesar 25 bps menjadi 6%. Kenaikan ini mengakhiri periode 16 bulan suku bunga acuan itu bertengger di level 5,75 persen sejak Februari 2012.
Indonesia juga menjadi negara pertama di kawasan Asia yang menaikkan suku bunga acuan pada 2013. Sebulan kemudian, BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps menjadi 6,5% pada Juli.
Pada rapat regular 15 Agustus 2013, BI awalnya mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 6,5%. Namun, rupiah yang terus terperosok membuat kubu MH Thamrin menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps lagi di Rapat Dewan Gubernur (RDG) tambahan pada 29 Agustus menjadi 7,0%.
BI menaikkan suku bunga acuan kembali sebesar 25 bps pada September dan November menjadi 7,50%. Suku bunga sebesar 7,50% bertahan hingga akhir tahun atau level tertingginya sejak Maret 2009.
Kebijakan ketat kembali diberlakukan BI pada 2018 sebagai langkah pre-emptive dan ahead the curve mengantisipasi kebijakan The Fed. BI secara keseluruhan mengerek suku bunga acuan sebesar 175 bps pada 2018.
Suku bunga BI bertahan di level 4,25% pada Januari-April 2018. Perry langsung mengerek suku bunga acuan sebesar 25 bps pada 30 Mei 2018 dalam RDG tambahan yang digelar hanya beberapa hari setelah dilantik menjadi Gubernur BI pada 24 Mei 2018.
Perry bahkan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps pada Juni 2018 menjadi 5,25% sebagai langkah pre-emptive dan frontloading mengantisipasi pengetatan kebijakan moneter The Fed.
Kubu Thamrin kemudian kembali menaikkan suku bunga acuan sebanyak tiga kali masing-masing sebesar 25 bps pada Agustus, September, dan November. Suku bunga acuan di akhir tahun ada di level 6%.
TIM RISET CNBC INDONESIA