
Inflasi Kan Sudah Jinak, BI Bisa Santai Dulu Kali Yaaa?

Selain inflasi inti, BI juga diperkirakan masih akan mengetatkan kebijakan moneter ketatnya karena pelemahan rupiah serta antisipasi kenaikan suku bunga bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed).
Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar AS di awal perdagangan Rabu (2/11/2022). Melansir data Refintiv, rupiah melemah 0,12% ke Rp 15.644/US$ begitu perdagangan pasar spot dibuka.
Jika tidak mampu bangkit hingga penutupan perdagangan nanti, maka rupiah akan membukukan pelemahan 3 hari beruntun. Posisi rupiah saat ini adalah yang terendah sejak April 2020 atau 3,5 tahun terakhir.
Rupiah tersungkur karena menguatnya dolar AS menjelang pengumuman kebijakan The Fed. The Fed tengah menggelar rapat Federal Open Market Committee (FOMC) dan akan mengumumkan kebijakan moneter mereka Rabu malam nanti waktu AS.
Pasar berekspektasi jika The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 bps. Sebagai catatan, The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 300 bps pada tahun ini menjadi 3,0-3,25% bps.
Kenaikan suku bunga acuan The Fed akan membuat dolar AS makin dicari sebagai aset safe heaven. Kondisi ini bisa membuat rupiah terpuruk lebih dalam.
Kenaikan suku bunga acuan The Fed membuat real rate antara BI dan The Fed Fund rate (FFR) makin mengecil sehingga aset berdenominasi rupiah menjadi kurang menarik.
Dengan alasan itu pula, ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan BI masih akan agresif ke depan.
"Ada faktor pelemahan rupiah karena di November FFR diprediksi naik lagi 75 bps ke 4%. Masih ada ruang untuk (BI) naik 50 bps. Tapi kita lihat perkembangan juga," ujar Faisal, kepada CNBC Indonesia.
Jika BI kemudian menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps pada November ini maka kubu MH Thamrin membuat sejarah dengan mengerek suku bunga acuan sebesar 50 bps selama tiga bulan beruntun.