Makin Agresif! BI Kerek Suku Bunga 125 Bps Dalam 3 Bulan
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) kembali melanjutkan kebijakan agresifnya. Setelah menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis points (bps) pada September, BI pada hari ini kembali menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 bps menjadi 4,75%.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada hari ini juga memutuskan untuk menaikkan suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bps menjadi 4,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 50 bps menjadi 5,50%.
Dengan demikian, BI telah menaikkan suku bunga acuan sebesar 125 bps pada tahun ini, masing-masing 25 bps pada Agustus, 50 bps pada September, dan 50 bps pada Oktober. Suku bunga acuan dengan cepat naik dari 4,50% pada Juli menjadi 4,75% pada Oktober.
Kenaikan BI7DRR sebesar 50 bps secara beruntun adalah yang pertama kali sejak Agustus 2013. Pada Juli 2013, BI menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps menjadi 6,5% pada Juli.
Pada rapat regular 15 Agustus 2013, BI awalnya mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 6,5%. Namun, rupiah yang terus terperosok membuat kubu MH Thamrin menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 bps lagi di RDG tambahan pada 29 Agustus menjadi 7,0%.
Kenaikan suku bunga acuan sebesar 50 bps juga sejalan dengan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia.
Dari 13 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus, sebanyak lima lembaga/institusi memperkirakan bank sentral akan mengerek BI7DRR sebesar 25 bps menjadi 4,50%, tujuh lembaga/institusi memproyeksi kenaikan BI7DRR sebesar 50 bps menjadi 4,75% sementara satu lembaga memperkirakan kenaikan sebesar 75 bps menjadi 5,00%.
Gubernur BI Perry Warjiyo menjelaskan kenaikan suku bunga secara agresif dilakukan sebagai langkahfront loaded,pre-emptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi yang saat ini terlalu tinggi (overshooting). Juga, memastikan inflasi inti ke akan di bawa ke level yang lebih rendah dari 4% di paruh pertama 2023.
"(Kenaikan 50 bps) juga memperkuat kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan nilai fundamentalnya akibat semakin kuatnya mata uang dolar Amerika Serikat (AS) dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan global, di tengah peningkatan permintaan ekonomi domestik yang tetap kuat," tutur Perry, saat menggelar konferensi pers hasil RDG Oktober, Kamis (20/10/2022).
Perry menegaskan ekspektasi inflasi sudah terlalu tinggi. Konsensus memperkirakan inflasi pada tahun ini akan mencapai 6,6-6,7%. Ekspektasi tersebut jauh di atas proyeksi BI, di mana inflasi diperkirakan melandai ke 5,88% pada Oktober dan akan menyentuh 6,3% pada akhir tahun.
"Dengan (kebijakan) front loaded, pre-emptive dan forward looking inflasi inti akan kami arahkan inflasi inti lebih rendah dari 4% di paruh pertama 2023 sehingga menjaga stabilitas ekonomi, daya beli masyarakat dan mendorong konsumsi swasta," imbuh Perry.
(mae/mae)