Makin Suram, IHSG Sesi I Ditutup Ambrol! Mendekati 6.700
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali ditutup di zona merah pada penutupan perdagangan sesi I Senin (17/10/2022), di tengah kekhawatiran resesi membebani ekspektasi atas berlanjutnya kebijakan pengetatan moneter di seluruh dunia.
IHSG mengawali perdagangan jatuh dan langsung terlempar dari level psikologis 6.800 dan ditutup melemah dengan koreksi 0,4% atau 27,32 poin, ke 6.787,21 pada penutupan perdagangan sesi pertama pukul 11:30 WIB. Nilai perdagangan tercatat naik ke Rp 6,42 triliun dengan melibatkan lebih dari 16 miliar saham yang berpindah tangan 719 kali.
Sejak perdagangan dibuka IHSG sudah berada di zona merah. Selang 2 menit saja, IHSG melanjutkan koreksi 0,52% ke 6.772,53. Penurunan ini membuat IHSG menapaki zona 6.700. Pukul 10:35 WIB indeks terpantau melemah 0,52% ke 6.779,06 dan terus konsisten berada di zona merah hingga penutupan perdagangan sesi I.
Level tertinggi berada di 6.815,09 sesaat setelah perdagangan dibuka, sementara level terendah berada di 6.747,38 sekitar pukul 09:10 WIB. Mayoritas saham siang ini terpantau masih saja mengalami penurunan.
Statistik perdagangan mencatat ada 441 saham yang melemah dan hanya 104 saham yang mengalami kenaikan, serta sisanya sebanyak 130 saham stagnan.
Saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) menjadi saham yang paling besar nilai transaksinya siang ini, yakni mencapai Rp 565,6 miliar. Sedangkan saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) menyusul di posisi kedua dengan nilai transaksi mencapai Rp 294,2 miliar dan saham PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk (TLKM) di posisi ketiga sebesar Rp 240,3 miliar.
Melemahnya IHSG terjadi di tengah ambrolnya bursa saham Amerika Serikat (AS) pada perdagangan akhir pekan lalu.
Indeks Dow Jones ditutup ambles 1,34% ke posisi 29.634,83, S&P; 500 ambruk 2,37% ke 3.583,07, dan Nasdaq Composite anjlok 3,08% menjadi 10.321,39.
Wall Street kembali ambruk pada akhir pekan lalu setelah survei konsumen dari University of Michigan menunjukkan ekspektasi inflasi meningkat, sentimen yang kemungkinan diawasi oleh The Fed.
Pada saat yang sama, yield obligasi melonjak, di mana Treasury AS tenor 10 tahun melampaui 4% untuk kedua kalinya dalam dua hari terakhir pekan lalu karena investor bereaksi terhadap ekspektasi inflasi yang lebih tinggi.
Pasar cenderung gelisah sepanjang pekan lalu karena investor menimbang data inflasi baru yang akan menginformasikan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) karena terus menaikkan suku bunga untuk mendinginkan kenaikan harga.
Biro Statistik Tenaga Kerja AS melaporkan IHK utama AS mencapai ke 8,2% (year-on-year/yoy) pada September lalu.
Laju inflasi memang lebih rendah dibandingkan pada Agustus yang tercatat 8,3% (yoy) tetapi masih di atas ekspektasi pasar yakni 8,1% (yoy).
Secara bulanan (month-to-month/mtm), inflasi tercatat 0,4% pada September atau meningkat dibandingkan pada Agustus yang tercatat 0,1%. Inflasi inti menyentuh 6,6 % (yoy) pada September, level tertingginya sejak 1982 atau 40 tahun terakhir.
Dengan inflasi yang masih tinggi, maka pasar berekspektasi bahwa The Fed masih akan bersikap hawkish untuk menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan selanjutnya untuk meredam inflasi.
Mengacu pada FedWatch, sebanyak 97,2% para pelaku pasar memproyeksikan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bp) dan membawa tingkat suku bunga Fed ke kisaran 3,75%-4%.
Keagresifan The Fed diprediksi akan membawa perekonomian Negara Adidaya tersebut masuk ke zona resesi dan tentunya akan berdampak pada negara-negara lain di dunia. AS merupakan perekonomian terbesar di dunia.
jika negara dengan ekonomi terbesar di dunia ini tertekan, maka akan bisa dipastikan mengganggu perekonomian global.
Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekspor Indonesiapada September 2022 mencapai US$ 24,80 miliar, tumbuh 20,28% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year on year/yoy).
Dibandingkan bulan sebelumnya, ekspor alami penurunan sebesar 10,99%. Hal ini dikarenakan ada penurunan harga komoditas andalan ekspor utama Indonesia.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 13 lembaga keuangan memperkirakan surplus neraca perdagangan akan semakin tergerus menjadi US$ 4,85 miliar. Surplus diprediksi jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan periode Agustus 2022 yang mencapai US$ 5,76 miliar.
Konsensus juga memproyeksikan bahwa ekspor akan tumbuh 27,47% (yoy) sementara impor meningkat 34,31%. Jika neraca perdagangan kembali mencetak surplus maka Indonesia sudah membukukan surplus selama 29 bulan beruntun.
Sebagai catatan, nilai ekspor Agustus 2022 mencapai US$ 27,91 miliar atau melonjak 30,15% (yoy). Impor tercatat US$ 22,15 miliar atau melesat 32,81% (yoy).
Nilai ekspor yang melandai pada periode September 2022, salah satunya dipengaruhi oleh harga rata-rata minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang sudah ambles 10,3% sepanjang perdagangan bulan September. Apalagi, CPO berkontribusi 13% terhadap total ekspor Indonesia sehingga penurunan harga berdampak pula terhadap total ekspor.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aum/aum)