Krisis ke krisis, Kisah '7 Nyawa Kucing' Bakrie Sehatkan BUMI
Jakarta, CNBC Indonesia - Kisah tumbuh, berkembang, jatuh, bangkit, lalu berkuasa lagi dalam sebuah perjalanan usaha adalah siklus klise. Namun, ketika roda takdir itu adalah milik konglomerasi tiga generasi yang bergerak seperti roal coaster akan menjadi cerita menarik untuk disimak.
Inilah lika-liku laki-laki yang kerap terjerambab oleh triliunan utang tetapi selalu mampu bangkit lagi; PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR). Cerita tentang penyelamatan "bak kucing yang memiliki tujuh nyawa" anak perusahaannya, PT Bumi Resources Tbk atau BUMI, di bursa saham yang dulu memiliki julukan saham sejuta umat.
Kisah lama ini semakin relevan berat tambahan baru "satu nyawa lagi" setelah Keluarga Bakrie berhasil baru baru ini menggandeng konglometrat Salim Grup untuk menyelamatkan BUMI dari ambang kebangkrutan akibat utang yang menggunung.
Aksi korporasi private placement jumbo ini senilai Rp24 triliun, menjadikan produsen batu bara ini kembali sehat, meskipun kepemilikan Keluarga Bakrie tergerus, tetapi mereka tetap pengendali.
Dimulai Dari Dagang Hasil Bumi
Dilahirkan tahun 1916, Achmad Bakrie menumpuk kekayaannya dari berjualan kopi pada tahun 1936. Masa remajanya dihabiskan untuk mengumpulkan karet, lada, kopi dan hasil bumi yang banyak dijumpai di tanah kelahirannya Kalianda, Provinsi Lampung. Sebuah daerah berjulukan Bumi Rua Jurai, terletak di ujung pulau Sumatera, yang memiliki hamparan lahan pertanian kering disela-sela bukit-bukit menjulang tinggi.
Setelah tamat dari Hollandsche Inlandsche School (HIS), Atuk-panggilan akrabnya-langsung bekerja sebagai penjaja keliling di NV Van Gorkom, sebuah perusahaan dagang Belanda. Meski hanya dua tahun di sana, dia dengan cepat menyerap ilmu orang-orang moderen itu mampu menjual barang-barang pertanian itu jauh lebih mahal pada orang yang membutuhkan.
Dia mengundurkan diri setelah mengetahui jalur-jalur sutra bagi komoditas dan mendirikan Bakrie & Brothers General Merchant and Commission Agent di Teluk Betung, Lampung.
Semasa pendudukan Jepang, Bakrie memindahkan usahanya ke Jakarta dan memulai ekspansi merintis ekspor karet, lada, dan kopi ke Singapura yang kemudian memberinya gelar pioner untuk eksportir komoditas. Usaha ini dengan cepat memupuk modal lantaran Bakrie tampak mewarisi bisnis VOC yang ratusan tahun memonopoli perdagangan hasil bumi nusantara.
Miliaran uang terkumpul sedemikian cepat mendorong ekspansi usaha secara masif seperti pembelian sebuah pabrik kawat yang disulap menjadi pabrik pipa baja, pabrik cor logam, dan pabrik karet remah. Dari sini bisnisnya meluas hingga proyek-proyek infrastruktur. Namun, komoditas yang kembali booming seiring lonjakan harga minyak dunia membuatnya kembali berpaling ke agribisnis dan tambang.
Pada 1986, Bakrie dengan bangga membeli Uniroyal Sumatra Plantations, sebuah perusahaan perkebunan milik Uniroyal Inc, milik imperealis Amerika Serikat dan mengubahnya menjadi Bakrie Sumatera Plantations.
Bakrie meninggal pada 15 Februari 1988 di Tokyo dan mewariskan usahanya kepada empat anaknya, Aburizal Bakrie, Roosmania Kusmulyono, Nirwan D. Bakrie, dan Indra Usmansyah Bakrie. Istrinya Roosniah Bakrie, adalah wanita berdarah Batak dengan marga Nasution.
Ketika Bakrie meninggal, usahanya sudah menggurita dipelbagai sektor, mulai dari agribisnis, pertambangan, industri baja, hingga konstruksi. Usaha keluarga itu kemudian dikelola si sulung, Aburizal Bakrie-sebagaimana kebiasaan adat Lampung. Lahir di Jakarta November 1946, Aburizal sebenarnya adalah insinyur, lulusan Fakultas Elektro, Institut Teknologi Bandung yang diwisuda pada tahun 1973.
(mum/mum)