Kartel OPEC+ Cuma Mikirin Duit, Dunia Kacau Balau!

Jakarta, CNBCÂ Indonesia -Â Harga minyak mentah kembali naik pada perdagangan Kamis (6/10/2022), melanjutkan tren kenaikan tajam di pekan ini. Penyebabnya, kartel Negara Pengekspor Minyak Mentah (OPEC) begitu juga Rusia dan beberapa lainnya yang disebut OPEC+kemarin memangkas tingkat produksinya.
Melansir data Refinitiv, harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) naik 0,11% ke US$ 87,86/barel, begitu juga dengan Brent yang naik 0,1% ke US$ 93,46/barel. Kedua minyak mentah acuan tersebut pada perdagangan Rabu melesat 1,4% dan 1,7%.
Bahkan jika melihat dalam 7 hari perdagangan terakhir, Brent sudah meroket lebih dari 11% dan WTI 14,4%.
Kartel OPEC+ memangkas produksinya sebesar 2 juta barel per hari mulai bulan November.
Langkah OPEC+ tersebut mendapat kritik dari banyak pihak, termasuk dari Amerika Serikat (AS).
"Dalam bahasa mereka sendiri, misi OPEC untuk memastikan harga yang tepat bagi konsumen dan produsen. Keputusan mereka mengurangi tingkat produksi dalam kondisi ekonomi saat ini menunjukkan kebijakan yang berlawanan dengan misi tersebut," kata Stephen Brennock, analis senior di PVM Oil Associates di London, sebagaimana dikutip CNBC International, Rabu (4/10/2022).
Brennock bahkan mengatakan OPEC+ bertindak egois dan lebih mementingkan duit, padahal banyak negara saat ini menghadapi masalah akibat tingginya inflasi.
"Supply yang sudah ketat, dan kini malah semakin dikurangi akan langsung memukul konsumen. Itu adalah langkah yang egois dan hanya bertujuan untuk mendapatkan profit. Pendek kata, OPEC+ memprioritaskan harga di atas stabilitas dalam kondisi yang penuh ketidakpastian di pasar minyak mentah," tambahnya.
Tingginya inflasi yang awalnya didorong oleh mahalnya harga energi membuat dunia kacau balau, Inflasi yang tinggi melanda Amerika Serikat (AS), Eropa, dan beberapa negara lainnya.
Contoh yang paling parah yakni Sri Lanka, inflasi tinggi menghantam sejak awal tahun ini, dan mencapai rekor tertinggi sepanjang masa 69,8% pada September lalu.
Pada pertengahan tahun, Sri Lanka mengalami kebangkrutan atau gagal bayar utang (default), dan krisis menghantam bahkan yang terburuk sejak 1948.
Bank sentral di berbagai negara harus bertindak dengan agresif menaikkan suku bunga, yang pada akhirnya membawa dunia ke resesi di tahun depan. Bank sentral AS (The Fed) salah satunya, sebagai otoritas moneter paling powerful di dunia membuat pasar finansial gonjang ganjing, hingga berdampak ke sektor riil.
"Saya rasa The Fed (bank sentral AS) merusak sesuatu. Apa yang rusak adalah dolar AS karena terlalu kuat. Melesatnya dolar AS dikaitkan dengan krisis finansial global. Kita harus memiliki pandangan global dalam hal ini, kebijakan moneter yang ketat di AS memiliki dampak yang luar biasa ke seluruh dunia, terutama di negara berkembang," kata Investor veteran Ed Yardani, sebagaimana dikutip Reuters.
Dengan harga minyak mentah yang kembali menanjak, maka ada risiko inflasi akan tetap tinggi dalam waktu yang lama, kecuali bank sentral semakin agresif, yang memicu resesi dalam dan akhirnya menurunkan demand.
Masalahnya, jika inflasi tidak turun juga, maka akan terjadi stagflasi. Selain inflasi tinggi, tingkat penggguran akan naik tajam, dua hal yang menjadi ciri khas stagflasi.
Stagflasi akan menjadi masalah besar, dan lebih sulit 'disembuhkan' ketimbang resesi.
Gedung Putih pun buka suara terkait langkah OPEC+ tersebut. Presiden AS Joe Biden dikatakan "kecewa dengan keputusan picik OPEC+ untuk memotong kuota produksi sementara ekonomi global menghadapi dampak negatif lanjutan dari invasi Rusia ke Ukraina."
Dikatakan bahwa Biden telah mengarahkan Departemen Energi untuk melepaskan 10 juta barel lagi dari cadangan minyak strategis bulan depan.
"Mengingat tindakan hari ini (Rabu), Administrasi Biden juga akan berkonsultasi dengan Kongres tentang alat dan otoritas tambahan untuk mengurangi kendali OPEC atas harga energi," kata Gedung Putih, sebagaimana dilansir CNBC International.
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Harga Minyak Jeblok ke Level Sebelum Perang, Ada Apa?
