Bahaya... The Great Inflation Mengancam! Persiapkan Diri Anda
Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi menggila dimana-mana, di Amerika Serikat, di Benua Eropa, termasuk juga emerging markets seperti Indonesia. Setiap negara berlomba-lomba memecahkan rekor inflasi tertingginya.
AS mencetak rekor tertinggi dalam 40 tahun pada Juni di angka 9,1% dan tetap melayang tinggi di Agustus sebesar 8,3%. Adapun Eropa mencatat inflasi double digit dan tertinggi pada September, dimana Eurostat mengestimasi angka inflasi untuk 19 anggota blok mencapai 10.0%, naik dari 9.1% di Agustus.
Di Indonesia, tak biasanya hari ini pengumuman inflasi September di kantor Badan Pusat Statistik pusat Jakarta dihadiri Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Tak tahunya, inflasi memang benar-benar meroket, sebesar 1,17% untuk bulanan atau month to month, tertinggi sejak Desember 2014. Sementara inflasi tahunan atau year on year 5,95%, hampir sama dengan ekspektasi pasar yang dikumpulkan CNBC Indonesia di angka 5,98%.
Semua bank sentral berjibaku memeranginya dengan suku bunga tinggi, dan mempertaruhkan segala risiko. Tak peduli efek-dalam jangka pendek-tingkat pengangguran warga +62 naik, biaya hidup melonjak, atau tutup kuping atas jeritan wong cilik yang beban cicilan motor dan rumah ikut-ikutan naik.
Semata-mata dilakukan agar inflasi tak terus naik dan lama, atau popular disebut the great inflation. Frasa ini menggambarkan dua dekade situasi makro ekonomi di AS yang akhirnya mengubah cara pandang moneter bank sentral AS (Federal Reserve/Fed) dan bank sentral seluruh dunia sampai kini.
Peristiwa itu merujuk kejadian inflasi berkepanjangan di AS antara 1965 hingga 1982. Pada 1964, inflasi hanya 1% namun perlahan naik hingga meroket lebih dari 14% pada 1980.
Usut punya usut, kegilaan ini disengaja oleh the Fed, karena terpaku pada teori Kurva Phillips, bahwa untuk mengejar tingkat partisipasi kerja penuh, keberadaan inflasi adalah keniscayaan atau malah dibutuhkan.
Dengan latar belakang ekonomi yang masih morat-marit pasca Perang Dunia II, Fed memompa uang dalam jumlah banyak sekali ke masyarakat, suku bunga murah, kredit digenjot.
Saking bersemangatnya, sampai ampai AS melanggar perjanjian Bretton Woods tahun 1944, yang mewajibkan AS menyandarkan nilai dolar pada cadangan emas. Ini dilakukan oleh oleh Presiden Richard Nixon tahun 1972, yang membuat Fed bebas mencetak uang untuk menyuntik likuiditas hingga kini.
Maksud kebijakan easy money ini agar masyarakat ringan tangan berbelanja, karena toh biaya pinjaman murah. Harapannya, permintaan naik, sehingga para pebisnis dapat berekspansi dan akhirnya membuka lapangan kerja baru. Begitu.
Ada banyak kemiripan situasi sekarang dengan apa yang terjadi di AS tempo dulu. Mulanya, jumlah uang beredar terlalu masif, tiba-tiba ada krisis energi, dan pemerintah harus berutang banyak, membiarkan defisit anggaran jumbo.
Apa sebenarnya yang terjadi, yang dilakukan bank sentral, pemerintah dan imbasnya pada kantong anda, ini ulasannya.
(mum/mum)