Newsletter

Wall Street Berguguran Lagi, Semoga IHSG Kuat Hadapi Tekanan

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
30 September 2022 06:20
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air belum mampu bangkit pada perdagangan kemarin. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup ambles dan sudah melemah 4 hari beruntun.

Rupiah masih saja anjlok melawan dolar AS. Sementara SBN ditutup beragam di tengah melonjaknya imbal hasil (yield) obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS).

Di tengah kekhawatiran resesi dan ambrolnya bursa saham AS, yakin IHSG bisa 'happy weekend'?

Indeks acuan utama bursa domestik pada perdagangan kemarin Kamis (29/9/2022), ditutup melemah 0,58% di 7.036,2. Dengan ini IHSG genap terkoreksi lima hari beruntun sejak Jumat (23/9/2022).

Sebenarnya IHSG dibuka di zona hijau. Bahkan di sesi I, IHSG sempat menyentuh posisi tertingginya di 7.135,5. Hanya saja IHSG langsung balik arah setelah itu dan ditutup di zona merah sesi I. Di sesi II, IHSG melanjutkan pelemahannya dan semakin menjauhi level psikologis 7.100.

Mayoritas saham terpantau masih mengalami penurunan. Statistik perdagangan mencatat ada 423 saham yang melemah dan 149 saham yang mengalami kenaikan dan sisanya sebanyak 114 saham stagnan.

Saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) menjadi saham yang paling besar nilai transaksinya yakni mencapai Rp 760,4 miliar. Sedangkan saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) menyusul di posisi kedua dengan nilai transaksi mencapai Rp 592,3 miliar dan saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) di posisi ketiga sebesar Rp 524,4 miliar.

Nilai transaksi indeks masih relatif sepi di sekitar Rp 12,68 triliun dan sebanyak 23 miliaran saham yang berpindah tangan 1,22 juta kali. Mayoritas perlemahan IHSG dipimpin oleh sektor teknologi dan industri.

Sementara itu di pasar keuangan lain, rupiah gagal mempertahan penguatan melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Kamis (29/9/2022). Dolar AS yang masih terlalu kuat, dan risiko pelemahan berlanjutnya pelemahan rupiah pun masih besar.

Melansir data Refintiv, begitu perdagangan dibuka rupiah langsung menguat 0,39% ke Rp 15.200/US$. Setelahnya penguatan terus terpangkas, hingga berbalik melemah 0,1% ke Rp 15.275/US$. Di penutupan perdagangan, rupiah berakhir di Rp 15.260/US$ sama persis dengan posisi akhir Rabu.

Penguatan dolar AS diperkirakan masih akan belum berakhir, atau belum mencapai puncaknya. Sehingga risiko pelemahan rupiah masih cukup besar.

"Dolar AS yang menyandang status safe haven akan terus menarik minat pelaku pasar, akibat ketakutan resesi global yang semakin besar dalam beberapa bulan ke depan. Dalam pandangan kami, indeks dolar AS akan mencapai puncaknya di 115 pada semester pertama 2023," kata ekonom ANZ Bank, sebagaimana dilansir FX Street, Rabu (28/9/2022).

Indeks dolar AS saat ini berada di kisaran 113,43 setelah sempat menyentuh 114 di pekan ini. 

Dolar AS yang menyandang status safe haven memang menjadi primadona saat isu resesi dunia semakin menguat. Apalagi dengan The Fed yang berencana terus menaikkan suku bunga hingga tahun depan.

Terakhir, dari pasar obligasi Surat Berharga Negara (SBN) ditutup beragam pada perdagangan Kamis (29/9/2022), Sikap investor di pasar SBN pada hari ini cenderung bervariasi, di mana pada SBN tenor 3, 5, 10, dan 25 tahun ramai diburu oleh investor, ditandai dengan turunnya yield.

Sedangkan untuk SBN tenor 1, 15, 20, dan 30 tahun cenderung dilepas oleh investor, ditandai dengan naiknyayield.

Melansir data dari Refinitiv, SBN tenor 5 tahun menjadi yang paling besar penurunanyield-nya pada hari ini, yakni merosot 7,3 basis poin (bp) ke posisi 6,77%.

Sedangkan untuk SBN tenor 1 tahun menjadi yang paling besar kenaikanyield-nya, yakni meningkat 3,2 bp menjadi 5,628%.

Sementara untuk yieldSBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan (benchmark) negara berbalik turun 1,3 bp menjadi 7,393%.

Pasar saham AS ditutup kembali 'berdarah-darah' pada perdagangan Kamis (29/9/2022) waktu New York. S$P 500 ditutup pada level terendah baru tahun ini dipicu oleh Apple yang memimpin aksi jual yang luas.

Dow Jones Industrial Average ditutup anjlok 458,13 poin, atau 1,54% ke 29.225,61. Sepanjang sesi perdagangan, jatuh mencapai level terendah intraday 2022 baru di 3.610,40. 

Ini juga merupakan level intraday terendah sejak 2020. Sedangkan S&P 500 dan longsor 2,11%. Sementara Nasdaq turun 314,13 poin, atau 2,84%.

Saham melanjutkan aksi jual karena kekhawatiran bahwa resesi tidak akan menghentikan Federal Reserve menaikkan suku bunga. Hal ini sejalan dengan survei yang dilakukan Reuters, di mana menunjukkan bank sentral AS (The Fed) akan semakin agresif menaikkan suku bunga, dan 'penderitaan' yang lebih besar akan datang.

Sebanyak 59 dari 83 ekonom yang disurvei Reuters memperkirakan The Fed akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin pada November. Kemudian, di Desember, The Fed diperkirakan akan menaikkan lagi sebesar 50 basis poin menjadi 4,25% - 4,5%.

Jika sesuai prediksi, maka suku bunga The Fed akan berada di level tertinggi sejak awal 2008, atau sebelum krisis finansial global.

Aksi jual berbasis luas dan dipimpin oleh Apple, yang jatuh karena bank investasi besar menurunkan peringkat pasar beruang yang pernah mengungguli. Saham ditutup turun 4,9%.

Sempat ada kabar baik yang datang dari Inggris, di mana bank sentral Inggris (Bank of England/BoE) berencana untuk membeli obligasinya untuk menenangkan kekacauan pasar dan menstabilkan kembali poundsterling.

Kendati demikian nyatanya poundsterling kembali melemah 1% terhadap dolar AS ke posisi GBP 1,078/US$. Poundsterling menjadi salah satu mata uang yang terdampak dari perkasanya dolar AS.

BoE kembali melakukan quantitative easing (QE), dan dikonfirmasi nilainya sebesar GBP 65 miliar. Pasar awalnya menyambut baik keputusan tersebut, QE memang bisa mengerek kenaikan bursa saham.

Tetapi kini pasar menjadi bingung, sebab kebijakan tersebut tentunya berbalik dengan langkah BoE menaikkan suku bunga dengan agresif guna meredam inflasi.

"Kami skeptis bahwa suasana pasar yang lebih tenang pada hari Rabu menandai berakhirnya periode baru-baru ini dari peningkatan volatilitas atau sentimen risk-off. Untuk reli yang lebih berkelanjutan, investor perlu melihat bukti yang meyakinkan bahwa inflasi terkendali, memungkinkan bank sentral menjadi kurang hawkish, "tulis Mark Haefele dari UBS dalam catatan hari Kamis yang dikutip CNBC International

Sementara itu, imbal hasil Treasury AS 10-tahun rebound setelah turun terbesar sejak 2020 pada hari sebelumnya meskipun sempat mencapai 4%. Hasil terakhir naik menjadi 3,79%

Pasar obligasi pemerintah telah bersaing dengan kekhawatiran pelaku pasar tentang kenaikan suku bunga, resesi yang menjulang dan volatilitas yang tinggi di pasar mata uang global.

Laporan klaim pengangguran yang lebih kuat dari perkiraan tak mampu mengangkat Wall Street. Investor lebih khawatir pada angka pada gagasan The Fed yang akan terus melakukan kenaikan suku bunga agresif untuk melawan inflasi tanpa khawatir itu akan merugikan pasar tenaga kerja.

"Suku bunga belum membatasi, mengatakan masih banyak yang harus dilakukan untuk menurunkan inflasi" ungkap Presiden Federal Reserve Cleveland Loretta Mester dalam acara "Squawk Box" CNBC International.

Mendekati akhir kuartal III-2022 pola pergerakan IHSG masih terlihat cenderung tertekan karena pasar masih diselimuti oleh kekhawatiran yang sama, yakni inflasi dan suku bunga tinggi hingga kekhawatiran resesi. Pergerakan market global maupun regional terlihat masih membayangi pergerakan IHSG saat ini.

Namun jelang rilis data di awal bulan perihal inflasi yang diperkirakan masih dalam kondisi stabil dapat memberikan sentimen positif terhadap pola gerak IHSG hingga beberapa waktu mendatang, hari ini IHSG berpotensi tertekan.

Kekhawatiran juga datang dari pernyataan ekonom yang sudah banyak ekonom yang meramalkan dunia akan memasuki resesi tahun depan. Tak bisa dipungkiri, ini membuat pasar ketar-ketir.

Inflasi masih menjadi momok mengerikan hampir di seluruh negara di dunia. Situasi ini yang bahkan diperkirakan bakal menyeret dunia ke jurang resesi tahun depan. Inflasi negara berkembang saat ini rata-rata sudah di atas 10%. Sedang inflasi negara maju sudah melebihi 8%. Padahal, inflasi di kawasan ini sebelumnya masih sekitar 0%.

Sementara untuk Indonesia sendiri, inflasi Indonesia diperkirakan akan melonjak pada September 2022 sebagai imbas kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Subsidi.

Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 14 institusi memperkirakan inflasi September akan menembus 1,20% dibandingkan bulan sebelumnya (month to month/mtm).

Jika ramalan ini benar maka ini akan menjadi inflasi tertinggi sejak Desember 2014 atau dalam 98 bulan atau lebih dari 7,5 tahun.

Hasil poling juga memperkirakan inflasi secara tahunan (year on year/yoy) akan menembus 5,98% atau tertinggi sejak Oktober 2015 atau tujuh tahun terakhir.

Sementara itu, kini Amerika Serikat (AS) terkonfirmasi telah memasuki jurang resesi setelah rilis data pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) kuartal II-2022 tetap menunjukkan kontraksi secara tahunan.

Berdasarkan data dari Biro Analisis Ekonomi AS yang dirilis Kamis (29/9/2022), ekonomi AS mengalami kontraksi 0,6% secara tahunan pada kuartal II-2022, tak berubah dari pembacaan awal pada akhir Juli lalu.

Data tersebut mengonfirmasi bahwa AS telah memasuki resesi secara teknis menyusul kontraksi 1,6% pada kuartal I-2022.

Selain itu, investor patut mencermati melempem nya semua mata uang dunia termasuk rupiah terhadap dollar AS adalah fenomena global. Kurs negara lan terutama emerging market juga tertekan. Capital outflow di pasar bond Indonesia menunjukkan betapa besarnya arus modal keluar.

Kepemilikan investor asing kini tinggal sekitar 14% dari total keseluruhan, jauh di bawah persentase 'normal' di angka sekitar 38% pada 2019. Menkeu Sri Mulyani beberapa hari lalu memprediksi, trend capital outflow masih akan berlanjut.

Data Bank Indonesia berdasarkan data setelmen 1 Januari- 22 September 2022 menunjukkan investor asing mencatat jual neto sebesar Rp 148,11 triliun di pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Sementara itu, ramalan ekonomi juga disampaikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapatkan bisikan dari sederet pengamat level internasional, bahwa ekonomi dunia pada tahun depan akan lebih berat.

Salah satu indikatornya adalah perang Rusia dan Ukraina yang tak berkesudahan. Tidak ada yang bisa memastikan kapan perang akan berakhir, termasuk Jokowi sendiri yang sudah bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy.

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan meyakini Indonesia akan terkena 'getah' dari krisis global, sehingga mantan menteri perindustrian tersebut meminta semua pihak kompak.

Resesi global yang kali ini disebut Luhut sebagai 'perfect storm' atau badai yang sempurna dipengaruhi oleh laju inflasi tinggi yang diikuti kenaikan suku bunga secara besar-besaran di banyak negara, termasuk AS.

"Sekali lagi saya imbau tetap rapatkan barisan kita untuk hadapi perfect storm yang sekarang ini sudah mulai terlihat ekonomi dunia terguncang dimana AS akan menaikkan terus suku bunga," kata Luhut saat peluncuran Command Center Pemantauan dan Pengawasan Terintegrasi di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dikutip Kamis (29/9/2022).

Luhut memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga hingga 4,75 %. "Itu suka atau tidak suka pasti akan kena ke kita," tegasnya.

Ekonomi Indonesia sendiri, menurutnya, merupakan salah satu yang terbaik. Masalah inflasi pangan sudah mulai terkendali. Akan tetapi, dia melihat inflasi inti atau core inflation sudah naik.

Berikut beberapa pidato dan data ekonomi penting yang akan dirilis hari ini:

  • Pidato pejabat bank sentral Eropa (ECB) dan pidato pejabat bank sentral The Fed (00:00 WIB)
  • Rilis data tingkat pengangguran Jepang (06:30 WIB)
  • Rilis data penjualan ritel dan produksi industri Jepang (06:50 WIB)
  • Rilis data PMI Manufaktur, non-manufaktur, dan general China periode September (08:30 WIB)
  • Rilis data Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Jepang periode September (12:00 WIB)
  • Rilis berbagai data indikator ekonomi Jerman terkait penjualan ritel, tingkat pengangguran, impor periode Agustus (13:00 WIB)
  • Pembacaan terakhir PDB Inggris kuartal II-2022 (13:00 WIB)
  • Rilis data inflasi Prancis periode September (13:45 WIB)
  • Rilis data indikator ekonomi Zona Eropa terkait Inflasi, tingkat pengangguran (16:00 WIB)
  • Rilis data PCE AS (19:30 WIB)

Terakhir, berikut adalah sejumlah indikator perekonomian nasional:

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular