Rupiah Ambruk Terus! Bakal Seperti Krismon 1998?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
29 September 2022 08:35
Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah ambruk melawan dolar Amerika Serikat (AS) dalam beberapa hari terakhir. Rabu kemarin, nilainya bahkan jeblok nyaris 1%.

Tren pelemahan rupiah mulai terjadi sejak 12 Maret lalu. Hingga Rabu kemarin saat berakhir di Rp 15.260/US$, rupiah sudah merosot nyaris 3%.

Dengan pelemahan tersebut, sepanjang tahun ini Mata Uang Garuda sudah merosot hingga 7% dan berada di level terelemah dalam lebih dari 2,5 tahun terakhir.

Selain rupiah, mata uang Asia lainnya juga rontok.

Yen Jepang menjadi yang paling parah, merosot lebih dari 25% dan berada di level terlemah dalam 24 tahun terakhir. Kurs ringgit Malaysia juga berada di level terlemah sejak 1998, yuan China terlemah dalam 14 tahun terakhir.

Kurs Peso Filipina bahkan di rekor terlemah sepanjang sejarah pencatatan Refinitiv sejak 1992.

Ambruknya mata uang Asia tersebut, bahkan Eropa (poundsterling mencatat rekor terlemah sepanjang sejarah, euro terlemah 20 tahun) mengingatkan kembali dengan krisis moneter (krismon) 1998.

Krisis 1997/1998 bermula dari krisis mata uang di beberapa negara Asia, seperti Thailand. Krisis itu menjalar ke Indonesia dan dengan cepat menggoyang perekonomian nasional yang fondasi ekonominya rapuh.

Pada Januari 1998, kurs rupiah sempat merosot hingga 185%, dari Rp 5.400/US$ pada akhir 1997 hingga menyentuh Rp 15.400/US$ pada 23 Januari 1998.

Setelahnya rupiah mampu memangkas pelemahan, tetapi mulai pertengahan tahun kembali merosot hingga menyentuh rekor terlemah sepanjang sejarah Rp 16.800/US$ pada 17 Juni 1998.

Jebloknya kurs rupiah membuat inflasi Indonesia melonjak hingga 77% sementara ekonomi terkontraksi 13,7% lebih.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> Krisis 1998 Bakal Terulang Lagi?

Dampak krisis moneter 1998 memang masih terbayang-bayang hingga saat ini. Namun, patut diingat fundamental ekonomi saat ini tidak seperti 24 tahun lalu yang rapuh.

Stabilitas rupiah masih mampu dijaga oleh Bank Indonesia (BI). Terbukti saat mata uang Asia lainnnya rontok, pelemahan rupiah menjadi yang terendah kedua setelah dolar Singapura.

BI punya cadangan devisa yang cukup besar untuk melakukan triple intervention guna menstabilkan nilai tukar rupiah.

Pada 1998, cadangan devisa Indonesia 'hanya' belasan miliar dolar AS. Per akhir Agustus 2022, cadangan devisa mencapai US$ 132,2 miliar.

Harga komoditas yang melambung tinggi membuat neraca perdagangan mencatat surplus hingga 28 bulan beruntun. Surplus tersebut membantu transaksi berjalan (current account) juga surplus. Sehingga pasokan valuta asing mengalir ke dalam negeri, yang membuat rupiah lebih stabil.

Selain itu, sejak pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19), investor asing ramai-ramai menarik dananya dari pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR), sepanjang tahun ini hingga 26 September terjadi capital outflow di pasar SBB hingga Rp 150 triliun.

Alhasil, kepemilikan SBN oleh investor asing kini kurang dari 15%. Bagi rupiah, hal ini bisa menguntungkan sebab risiko terjadi capital outflow kemungkinan tidak akan besar lagi, dan stabilitas rupiah lebih terjaga.

BI juga sudah menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin dalam dua pertemuan terakhir menjadi 4,25% guna menjaga inflasi dan stabilitas rupiah. Ruang untuk kembali menaikkan suku bunga juga masih terbuka tanpa membuat perekonomian merosot tajam.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular