Saham Hingga Emas Ambrol, Pertanda 'Kiamat' Pasar Finansial?
Jakarta, CNBC Indonesia - Rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) membuat pasar finansial dunia bergejolak. Mulai dari saham yang merupakan aset berisiko dan emas si aset aman (safe haven) ambrol.
Inflasi yang masih tinggi membuat bank sentral AS (The Fed) diprediksi semakin agresif menaikkan suku bunga, sehingga risiko resesi semakin besar. Tidak hanya The Fed, bank sentral utama dunia lainnya juga bisa melakukan hal yang sama, sehingga dunia terancam resesi.
Selasa (13/9/2022) lalu, Wall Street ambrol. Indeks S&P 500 merosot hingga 4,3%. Sempat rebound sehari setelahnya, S&P 500 malah jeblok lagi 1,1% Kamis waktu setempat.
Jebloknya kiblat bursa saham dunia tersebut tentunya mengirim sentimen negatif ke Asia. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan Jumat (16/9/2022) merosot hingga 1,7% di sesi satu.
Sepanjang tahun ini S&P 500 ambrol hingga lebih dari 18%. Sebaliknya IHSG justru mampu menguat sekitar 9% dan beberapa kali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa berkat harga komoditas yang tinggi.
Namun, jika Wall Street terus merosot maka IHSG bisa ikut terseret. Di tahun ini IHSG sempat jeblok 2 kali, pada Mei dan Juni hingga awal Juli.
Inflasi di Amerika Serikat dikhawatirkan 'mendarah daging', sebab sektor energi yang sebelumnya menjadi pemicu tingginya inflasi sudah menurun.
Departemen Tenaga Kerja AS kemarin melaporkan harga energi turun 5% month-to-month (MtM), berkat harga BBM yang merosot hingga 10,6% (MtM). Meski demikian, jika dilihat dari Agustus 2021, indeks harga energi masih melesat 23,8%, akibat kenaikan harga listrik dan gas alam.
Harga BBM sendiri sudah mengalami penurunan selama 91 hari beruntun. Harga termahal tercatat pada Juni lalu US$ 5,02/galon, sementara saat ini harganya sudah US$ 3,7/galon.
Penurunan harga energi tersebut membuat inflasi di AS menurun dua bulan beruntun.
Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) pada Agustus dilaporkan sebesar 8,3% year-on-year (yoy).
Tanda jika inflasi sudah "mendarah daging" terlihat dari inflasi inti, yang tidak memasukkan sektor energi dan makanan. Inflasi inti justru melesat 6,3% (yoy), lebih tinggi dari bulan Juli 5,9%.
Dengan inflasi yang masih tinggi, The Fed hampir pasti akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin bahkan ada kemungkinan sebesar 100 basis poin pekan depan.
Hal ini terlihat dari perangkat FedWatch milik CME Group, di mana pasar melihat probabilitas sebesar 67% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin, dan probabilitas sebesar 33% untuk kenaikan 100 basis poin.
The Fed sudah menegaskan komitmennya untuk terus menaikkan suku bunga dan menahannya di level tinggi hingga inflasi kembali ke 2%.
Alhasil Wall Street ambrol di tahun ini.
Jebloknya Wall Street memang menjadi kabar buruk bagi investor, tetapi di sisi lain bisa menurunkan inflasi lebih cepat. Maklum saja kapitalisasi pasar Wall Street lebih dari US$ 40 triliun, atau dua kali lipat dari produk domestik bruto (PDB) Amerika Serikat.
Ketika Wall Street jeblok, maka warga AS akan merasa lebih "miskin" sehingga menunda belanja. Pada akhirnya, demand pull inflation bisa mulai melandai.
"Tidak ada peluang untuk menurunkan inflasi kecuali The Fed agresif menaikkan suku bunga, atau pasar saham mengalami crash, yang memicu keruntuhan ekonomi sehingga menurunkan demand," kata triliuner Bill Ackman dalam cuitannya di Twitter yang dikutip CNBC International, Selasa (24/5/2022).
Mengacu pada pernyataan Ackman, maka tidak salah jika The Fed terus agresif dalam menaikkan suku bunga, meski resesi dan jebloknya Wall Street menjadi taruhannya.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Harga Emas Ikut Nyungsep
(pap/pap)