Dolar Australia Ambrol ke bawah Rp 10.000, 'Kiamat' Apa Lagi?
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Australia jeblok melawan rupiah dalam 3 hari terakhir hingga menembus ke bawah Rp 10.000/AU$. Bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) kemarin sebenarnya sudah menaikkan suku bunga, tetapi mata uangnya malah merosot.
Melansir data Refinitiv, dolar Australia turun 0,48% ke Rp 9.977/AU$, berada di dekat level terendah dalam 2 tahun terakhir. Kemarin mata uang Negeri Kanguru ini ambrol nyaris 1%.
Biro Statistik Australia hari ini melaporkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2022 sebesar 0,9% dari kuartal sebelumnya. Sementara dilihat dari kuartal II-2021 atau year-on-year (yoy), perekonomian Australia tumbuh 3,6%, lebih tinggi dari kuartal I-2022 sebesar 3,4% (yoy).
Meski perekonomian tumbuh lebih tinggi, tetapi dolar Australia masih terus terpuruk. Artinya, pelaku pasar yang selalu forward looking memperkirakan ke depannya Australia akan mendapat masalah.
Perekonomian Australia seperti dilanda dilema. Tingkat penganggurannya sebesar 3,4%, terendah dalam 50 tahun terakhir. Tetapi, hal ini terjadi akibat kurangnya tenaga kerja. Di sisi lain, inflasi yang tinggi membuat bank sentralnya terus mengerek suku bunga. Alhasil, suku bunga kredit juga menanjak.
Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) pada kuartal II-2022 sebesar 6,1% yang merupakan level tertinggi dalam 21 tahun terakhir.
Pasar tenaga kerja yang ketat tentunya membuat upah naik lumayan tinggi, yang tentunya menguntungkan bagi pekerja, tetapi tidak dengan dunia usaha.
Terbukti, penjualan ritel Australia masih tumbuh tinggi saat inflasi juga sangat tinggi.
"Tingginya penjualan ritel menggambarkan melonjaknya pendapatan tenaga kerja, pertumbuhan pekerja sangat kuat begitu juga dengan tingkat saving rumah tangga tinggi," ujar Thieliant.
Ketatnya pasar tenaga kerja terjadi akibat kebijakan lockdown yang sebelumnya diterapkan guna meredam penyebaran virus Covid-19. Namun di saat yang sama, kebijakan tersebut membuat pekerja migran sulit masuk ke Australia.
Alhasil, ketika lockdown dibuka, roda perekonomian mulai berputar, tenaga kerja pun terbatas. Pekan lalu, pemerintah Australia meningkatkan jumlah migrasi permanen menjadi 195.000 dari tahun keuangan ini, meningkat 35.000 orang.
Pengusaha berharap mereka akan membantu mengisi kesenjangan dalam angkatan kerja, tetapi dengan hampir setengah juta lowongan di seluruh negeri.
Belum selesai masalah tenaga kerja, dunia usaha Australia dihadapkan dengan suku bunga tinggi. Hal ini tentunya menyulitkan ekspansi.
Bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) sesuai prediksi mengerek suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin menjadi 2,35% pada Selasa (6/9/2022).
Pasar sudah memperkirakan RBA akan menaikkan suku bunga menjadi 2,35%, tertinggi sejak Desember 2014, guna meredam inflasi.
Tetapi, Gubernur RBA, Philip Lowe, mengatakan ke depannya suku bunga akan terus dinaikkan.
"Anggota dewan gubernur memperkirakan dalam beberapa bulan ke depan suku bunga akan kembali dinaikkan. Besar dan waktu kenaikan akan tergantung dari rilis data ekonomi, dan penilaian anggota dewan terhadap outlook inflasi dan pasar tenaga kerja," kata Lowe.
Selain membebani dunia usaha, konsumen juga akan terbebani. Suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) juga membengkak, yang membebani rumah tangga.
Berdasarkan perhitungan RateCity, jika perbankan ikut menaikkan suku bunga KPR maka akan menjadi sebesar 7,27%, dibandingkan sebelum RBA mulai menaikkan suku bunga pada Mei lalu sebesar 6,27%.
Untuk KPR senilai AU$ 300.000, maka tambahan biaya bunga yang harus dibayar menjadi sekitar AU$ 200.
Ke depannya, tentu suku bunga KPR akan terus menanjak, sebab RBA sudah mengindikasikan akan kembali menaikkan suku bunga.
Kemudian, semakin tinggi suku bunga, maka risiko resesi Australia akan semakin besar.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)