Internasional

Australia Sudah "Kiamat" Pekerja, Suku Bunga KPR Menggila!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
06 September 2022 13:50
Bendera Australia
Foto: Bendera Australia (Photo by Steven Paston/PA Images via Getty Images)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian Australia seperti dilanda dilema. Tingkat penganggurannya sebesar 3,4%, terendah dalam 50 tahun terakhir. Tetapi, hal ini terjadi akibat kurangnya tenaga kerja. Di sisi lain, inflasi yang tinggi membuat bank sentralnya terus mengerek suku bunga. Alhasil, suku bunga kredit juga menanjak.

Pasar tenaga kerja yang ketat tentunya membuat upah naik lumayan tinggi, yang tentunya menguntungkan bagi pekerja, tetapi tidak dengan dunia usaha.

Terbukti, penjualan ritel Australia masih tumbuh tinggi saat inflasi juga sangat tinggi. Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) pada kuartal II-2022 sebesar 6,1% yang merupakan level tertinggi dalam 21 tahun terakhir.

Kabar buruknya, inflasi diperkirakan belum akan melandai, apalagi dengan belanja konsumen yang kuat.

Data yang dirilis Biro Statistik Australia pada Senin (5/9/2022) menunjukkan penjualan ritel Agustus tumbuh 1,3% dari bulan sebelumnya menjadi AU$ 34,7 miliar, jauh di atas ekspektasi kenaikan 0,3%. Pertumbuhan tersebut menjadi yang tertinggi dalam 4 bulan terakhir.

"Jelas konsumen Australia tidak melempar handuk menghadapi kenaikan harga dan tingginya suku bunga," kata Marcel Thieliant, ekonom senior di Capital Economics, sebagaimana dilansir CNBC International.

Dibandingkan Agustus 2021, penjualan ritel melesat 16,5%.

"Tingginya penjualan ritel menggambarkan melonjaknya pendapatan tenaga kerja, pertumbuhan pekerja sangat kuat begitu juga dengan tingkat saving rumah tangga tinggi," ujar Thieliant.

Ketatnya pasar tenaga kerja terjadi akibat kebijakan lockdown yang sebelumnya diterapkan guna meredam penyebaran virus Covid-19. Namun di saat yang sama, kebijakan tersebut membuat pekerja migran sulit masuk ke Australia.

Alhasil, ketika lockdown dibuka, roda perekonomian mulai berputar, tenaga kerja pun terbatas. Pekan lalu, pemerintah Australia meningkatkan jumlah migrasi permanen menjadi 195.000 dari tahun keuangan ini, meningkat 35.000 orang.

Pengusaha berharap mereka akan membantu mengisi kesenjangan dalam angkatan kerja, tetapi dengan hampir setengah juta lowongan di seluruh negeri.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Suku Bunga Kredit Tinggi, KPR Menggila

Belum selesai masalah tenaga kerja, dunia usaha Australia dihadapkan dengan suku bunga tinggi. Hal ini tentunya menyulitkan ekspansi.

Bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA) sesuai prediksi mengerek suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin menjadi 2,35% pada Selasa (6/9/2022).
Pasar sudah memperkirakan RBA akan menaikkan suku bunga menjadi 2,35%, tertinggi sejak Desember 2014, guna meredam inflasi.

Tetapi, Gubernur RBA, Philip Lowe, mengatakan ke depannya suku bunga akan terus dinaikkan.

"Anggota dewan gubernur memperkirakan dalam beberapa bulan ke depan suku bunga akan kembali dinaikkan. Besar dan waktu kenaikan akan tergantung dari rilis data ekonomi, dan penilaian anggota dewan terhadap outlook inflasi dan pasar tenaga kerja," kata Lowe.

Selain membebani dunia usaha, konsumen juga akan terbebani. Suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) juga membengkak, yang membebani rumah tangga.

Berdasarkan perhitungan RateCity, jika perbankan ikut menaikkan suku bunga KPR maka akan menjadi sebesar 7,27%, dibandingkan sebelum RBA mulai menaikkan suku bunga pada Mei lalu sebesar 6,27%.

Untuk KPR senilai AU$ 300.000, maka tambahan biaya bunga yang harus dibayar menjadi sekitar AU$ 200.

Ke depannya, tentu suku bunga KPR akan terus menanjak, sebab RBA sudah mengindikasikan akan kembali menaikkan suku bunga.

Kemudian, semakin tinggi suku bunga, maka risiko resesi Australia akan semakin besar.

"Banyak bank sentral saat ini mandatnya pada dasarnya berubah menjadi tunggal, yakni menurunkan inflasi. Kredibilitas kebijakan moneter merupakan aset yang sangat berharga yang tidak boleh hilang, sehingga bank sentral akan agresif menaikkan suku bunga," kata Rob Subbraman, kepala ekonom Nomura dalam acara Street Signs Asia CNBC International, Selasa (5/7/2022).

Subbraman memproyeksikan dalam 12 bulan ke depan zona euro, Inggris, Jepang, Australia, Kanada dan Korea Selatan juga akan mengalami resesi.

"Kenaikan suku bunga yang agresif artinya kita melihat kebijakan front loading. Dalam beberapa bulan kami telah melihat risiko resesi, dan sekarang beberapa negara maju benar-benar jatuh ke jurang resesi," tambah Subbraman.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular