Review Sepekan

Brent dan WTI Ambles Lagi, Harga Minyak Dunia Masih Lesu

Tim Riset, CNBC Indonesia
04 September 2022 13:30
PHE WMO operasikan kembali anjungan PHE 12. (Dok. Pertamina Hulu Energi)
Foto: PHE WMO operasikan kembali anjungan PHE 12. (Dok. Pertamina Hulu Energi)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia ambles kembali pekan ini dengan tren negatif masih terus membayangi pergerakan harga si emas hitam.

Pada perdagangan Jumat (2/9/2022) harga minyak jenis Brent ditutup di harga US$ 93,02/barel atau anjlok 7,89% dalam sepekan secara point-to-point.

Sedangkan yang jenis Light Sweet atau West Texas Intermediate (WTI) harganya ditutup di US$ 86,87/barel atau melemah 6,65% dalam sepekan.

Harga minyak mentah global berada dalam tren penurunan setelah sempat melambung dan bertahan di harga tinggi pasca-invasi Rusia ke Ukraina. Harga minyak mentah Brent sempat menyentuh harga US$ 128/barel pada 8 Maret lalu.

Sejak invasi Rusia ke Ukraina tanggal 24 Februari lalu, harga minyak Brent tidak pernah turun di bawah level US$ 95/barel, kecuali dalam empat hari perdagangan sebulan terakhir. Dua di antaranya bahkan dicatatkan pada hari Kamis dan Jumat pekan ini.

Meski melemah secara mingguan, harga minyak mentah pada Jumat ditutup menguat dari hari sebelumnya karena ekspektasi pedagang bahwa OPEC+ akan membahas pengurangan produksi pada pertemuan pada 5 September. Meski demikian, kekhawatiran atas lockdown di China dan pelemahan ekonomi global masih membatasi kenaikan.

Kondisi pengendalian Covid-19 di China telah memukul harga minyak mentah beberapa hari terkahir. Shenzhen, pusat teknologi informasi di Negeri Tirai Bambu, memperluas karantina wilayah (lockdown) untuk meredam penyebaran virus Corona.

Pemerintah setempat memutuskan untuk melarang acara di luar ruangan. Sementara lokasi hiburan dalam ruangan juga ditutup untuk sementara.

Sebanyak 10 distrik di Shenzhen, yang total berpenduduk 13 juta jiwa, kini juga tidak bisa menikmati makan-minum di restoran. Aktivitas belajar-mengajar di sekolah pun ditiadakan. Pemerintah meminta warga untuk tidak bepergian ke luar kota kecuali untuk urusan mendesak.

Meski sudah lebih dari dua tahun, pandemi virus Corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) masih saja membuat negara yang dipimpin Presiden Xi Jinping itu "parno". Kebijakan tanpa toleransi (zero tolerance) terhadap Covid-19 masih berlaku. Begitu ada klaster penyebaran, lockdown jadi jawaban.

"Ini akan membuat permintaan energi di China akan stagnan," ujar Norbert Rucker, Analis Julius Baer, seperti dikutip dari Reuters.

Padahal China adalah salah satu pasar minyak terbesar dunia. Bahkan Negeri Panda adalah importir minyak nomor satu.

Alhasil, permintaan di China akan sangat menentukan harga minyak. Saat permintaan kemungkinan rendah karena bolak-balik lockdown, maka tidak heran harga anjlok.

Selain itu kondisi ekonomi global dengan suku bunga tinggi untuk meredam tingginya inflasi ikut menjadi sentimen negatif bagi pergerakan harga minyak. Kenaikan tinggi suku bunga global oleh sebagian orang ditakutkan akan mendorong sejumlah ekonomi utama dunia ke jurang resesi.

Apabila resesi terjadi, permintaan global akan bahan bakar fosil tersebut ikut tereduksi signifikan, sehingga harganya berpotensi melemah, kecuali kartel minyak OPEC+ memotong pasokan secara signifikan dan membuat harga semakin kompetitif.

TIMRISETCNBC INDONESIA


Next Article Naik-naik ke Puncak Gunung, Minyak "To The Moon" karena Eropa

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular