Manuver Isu Minyak! Arab Saudi Makin Kaya, Negara Lain Merana

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
26 August 2022 06:15
Ilustrasi: Labirin pipa dan katup minyak mentah di Strategic Petroleum Reserve di Freeport, Texas, AS 9 Juni 2016. REUTERS / Richard Carson / File Foto
Foto: Ilustrasi: Labirin pipa dan katup minyak mentah di Strategic Petroleum Reserve di Freeport, Texas, AS 9 Juni 2016. REUTERS / Richard Carson / File Foto

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia kembali ditutup naik pada perdagangan Rabu (24/8), setelah Arab Saudi menyarankan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC+) untuk memangkas produksi.

Pada Rabu (24/8), harga minyak mentah dunia jenis West Texas Intermediate (WTI) berakhir naik 34 sen menjadi US$ 95,23/barel, sedangkan jenis Brent menguat 51 sen dan dibanderol US$ 101,73/barel dan menjadi posisi tertinggi selama tiga pekan.

Kenaikan pada harga minyak mentah dunia terjadi setelah Menteri Energi Arab Saudi Abdulaziz bin Salman mengatakan rencananya untuk menstabilkan harga minyak mentah yang sempat turun. Ia menyarankan OPEC dan sekutunya untuk memangkas produksi demi mengerek harga.

Selain itu, kesepakatan nuklir antara Iran dengan AS akan berpotensi untuk membawa kembali minyak Iran ke pasar. Faktor lainnya seperti potensi resesi hingga pemeliharaan kilang minyak mentah telah mendorong harga minyak mentah lebih rendah dalam beberapa pekan terakhir, sehingga ikut memicu OPEC+ untuk membuat kebijakan.

Diketahui, harga minyak mentah dunia telah ambles di beberapa pekan terakhir ke US$ 95/barel dari US$ 120/barel karena perlambatan ekonomi China dan potensi resesi global yang terus membayangi.

Lantas, seberapa keuntungan Arab Saudi dari melonjaknya harga minyak dunia?

Saat perang Rusia-Ukraina dimulai pada 24 Februari 2022 lalu, negara Barat dan Uni Eropa kemudian melarang minyak mentah Rusia, sehingga harga minyak mentah dunia pun melonjak karena persediaan minyak mentah di pasar menjadi lebih sedikit.

Padahal, jika melansir data BP Statistical Review 2021, produksi minyak Rusia merupakan terbesar ketiga di dunia setelah AS dan Arab Saudi dan berkontribusi sebanyak 12,1% dari total produksi minyak dunia.

Dengan begitu, negara Barat dan sekutunya pun meminta OPEC+ untuk meningkatkan produksi minyak mentah untuk mengisi kekosongan pasokan dunia.

Berdasarkan data dari Organization of The Petroleum Exporting Country bahwa produksi minyak mentah dari Arab Saudi meningkat dari bulan ke bulan hingga pada Juni 2022, di tengah lonjakan harga minyak mentah karena dampak perang Rusia-Ukraina.

Tidak hanya itu, nilai ekspor minyak mentah dari Arab Saudi juga meningkat. Central Department of Statistics & Information melaporkan ekspor minyak mentah per Juni 2022 mencapai SAR 117,7 miliar dan menjadi yang tertinggi sejak Januari 2017. Porsi ekspor minyak mentah tersebut juga mendominasi total ekspor Arab Saudi sebesar 79,7% dan melesat 719% dari bulan sebelumnya di 2021.

Pendapatan Arab Saudi dari minyak mentah di kuartal II-2022 sebesar US$ 66,8 miliar, meroket 89% dari periode yang sama tahun lalu. Sementara sepanjang semester I-2022, pendapatannya sebesar US$ 116 miliar, melesat 75% dari semester I-2021

Sektor minyak mentah berkontribusi sebanyak 46% dari produk domestik bruto (PDB), sehingga adanya peningkatan pada produksi dan ekspor ikut mendorong pertumbuhan ekonominya. Badan Statistik Arab Saudi melaporkan PDB Arab Saudi pada kuartal II-2022 melesat hingga mencapai 11,8%.

"Pertumbuhan dinamis ini terutama disebabkan oleh peningkatan aktivitas terkait minyak sebesar 23,1%," tulis badan tersebut.

Bahkan, Dana Moneter Internasional (IMF) dalam laporan tahunannya berjudul World Economic Outlook 2022 memperkirakan bahwa ekonomi Arab Saudi akan menjadi yang tercepat tingkat pertumbuhannya di dunia.

IMF memprediksikan hingga akhir tahun 2022, PDB Arab Saudi akan berada di 7,6%. Pertumbuhan tersebut menjadi yang tertinggi di antara ekonomi dunia yang meliputi ekonomi maju maupun ekonomi negara berkembang.

IMF menilai pertumbuhan ekonomi Arab Saudi ditopang oleh harga minyak mentah yang tinggi serta peningkatan produksinya dan memprediksikan peningkatan pada surplus transaksi berjalan hingga 17,4% dari PDB dan inflasi bertahan di 2,8%.

Sanksi yang diberikan Amerika Serikat (AS) dan sekutu ke Rusia membuat harga minyak mentah melambung. Krisis energi pun melanda hingga membuat inflasi semakin meninggi.

Kenaikan harga komoditas dunia tentunya dapat menekan ekonomi dari negara-negara yang bergantung dengan impor. Negara-negara di Eropa sudah merasakannya, krisis energi, inflasi yang tinggi juga melanda. 

Inflasi di Jerman sendiri pada bulan Juli tercatat sebesar 7,5% yang merupakan level tertinggi dalam 40 tahun terakhir, sementara di zona euro sebesar 8,9% yang merupakan rekor tertinggi sepanjang masa. 

Kemudian, di Inggris inflasi melesat 10,1% (yoy) menjadi yang tertinggi dalam 40 tahun terakhir.

Sri Lanka menjadi contoh yang paling parah. Ketergantungan impor menjadi salah satu penyebab Sri Lanka tak mampu membayar utangnya hingga mengalami krisis ekonomi dan bangkut.

Diketahui, Sri Lanka sangat bergantung pada impor bahan-bahan pertanian dan bahan bakar. Sehingga, ketika harga komoditas global meninggi, maka akan membebani biaya impor.

Biaya impor yang kian membengkak telah mengikiskan cadangan devisanya, sehingga Sri Lanka tidak memiliki mata uang yang cukup untuk membayar impor bahan bakar dan solar. Pemerintahnya terpaksa menghentikan penjualan bahan bakar minyak (BBM) ke masyarakat biasa.

Pada 4 Juli 2022, Menteri Energi Sri Lanka, Kanchana Wijesekera, mengeluarkan peringatan atas stok bahan bakar negara yang mengatakan hanya ada cukup bensin yang tersisa untuk kurang dari satu hari di bawah permintaan reguler, dengan pengiriman berikutnya tidak akan jatuh tempo selama dua minggu lagi.

Ditambah dengan harga minyak mentah dunia yang meroket membuat harga BBM dalam negeri pun juga melambung. Akibatnya inflasi Sri Lanka kembali menyentuh rekor tertinggi sepanjang masa di Juli 2022 ke 60,8%, sementara inflasi pangan meningkat hingga 90,9%.

Bensin di Sri LankaFoto: Sunday Times, Ceylon Petroleum

Bagaimana dengan Indonesia?

Melonjaknya harga minyak mentah dunia juga berimbas pada harga BBM dalam negeri, pemerintah pun boncos menanggulangi subsidi.

Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat mengatakan bahwa harga BBM jenis RON 90 atau Pertalite seharusnya dibanderol dengan nilai Rp 17.100/liter, tapi harga saat ini masih di Rp 7.650/liter. Artinya ada selisih Rp 9.450/liter yang harus ditanggung oleh pemerintah dengan subsidi.

Hal tersebut membuat belanja negara pun membengkak, hingga menyentuh Rp 520 triliun. Angka subsidi tersebut melampaui rencana APBN untuk subsidi energi di Rp 152,5 triliun.

Diketahui, Pertalite berkontribusi sebanyak 80% dari total konsumsi BBM di dalam negeri. Sedangkan jika mengacu pada data Badan Pusat Statistik (BPS), bensin memiliki bobot 4% terhadap inflasi.

Sehingga, adanya kenaikan pada harga BBM khususnya Pertalite akan membuat inflasi RI meningkat. Jika harga BBM naik 10%, maka angka inflasi dapat naik hingga 0,4 poin persentase. Namun, jika harga BBM naik 30%, maka inflasi bisa terdorong 1,2 poin persentase.

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan bahwa APBN 2022 tidak kuat lagi untuk menahan kenaikan harga BBM.

Seperti diketahui, harga minyak mentah di pasar global masih berada di level US$ 100 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) masih dipatok US$ 63 per barel. Sehingga, ada selisih yang cukup banyak untuk setiap barelnya.

Namun, pemerintah telah mengungkapkan skenario terburuk apabila harga BBM yang khususnya Pertalite naik, dengan memberikan bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat kelas bawah.

Dana tersebut berasal dari sisa program penanganan Pandemi Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC PEN) dengan jumlah Rp 18 triliun. 

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular