Sudah Dibantu China, Harga Batu Bara Tetap Gagal Cetak Rekor
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara melandai dan gagal mencetak rekor baru Pada perdagangan Kamis (18/8/2022), harga batu kontrak September di pasar ICE Newcastle ditutup di US$ 435 per ton. Turun 0,43% dibandingkan hari sebelumnya.
Pelemahan kemarin memutus rally yang berlangsung sejak 12 Agustus atau enam hari terakhir. Pelemahan juga membuat pasir hitam gagal mendekatkan pasir hitam ke level tertingginya di US$ 446 per ton yang tercipta pada 2 Maret 2022.
Secara keseluruhan, harga batu bara masih melesat 9,5% dalam sepekan secara point to point. Dalam sebulan, harga batu bara melesat 24,3% sementara dalam setahun terbang 159,7%.
Melandainya harga batu bara kemarin juga memperpanjang tren negatif tahun ini yakni harga pasir hitam jatuh begitu mendekati rekor baru. Pelaku pasar langsung melakukan aksi profit taking begitu harga batu bara melambung tinggi dan mendekati rekor baru.
Pada 23 Mei 2022, harga batu bara sempat melambung dan menyentuh US$ US$ 421,5 pada 20 Mei 2022 tetapi kemudian amblas 1,94%. Pada 12 Juli 222, harga batu bara juga kembali melambung hingga ke titik US$ 438,40 tetapi langsung melandai 2,2%. Pada 26 Juli, harga batu bara sempat menyentuh US$ 440 per ton tetapi kemudian melandai 3,6% pada hari berikutnya.
Cerita sama terulang kemarin di mana harga batu bara yang nyaris mencetak rekor baru langsung melandai. Padahal, faktor utama dari kenaikan harga batu bara yakni persoalan gas di Eropa masih berlanjut.
Faktor pendukung lain juga datang dari China. Beijing yang merupakan konsumen batu bara terbesar kini dihadapkan pada gelombang panas yang bisa mengancam ketahanan energi mereka.
Dilansir dari Nikkei Asia, perusahaan-perusahaan di bagian barat daya China telah melaporkan adanya hambatan produksi hingga 24 Agustus mendatang karena persoalan listrik. Permintaan listrik di wilayah Chongqing dan Liangjiang melonjak tajam karena panasnya cuaca. Chongqing merupakan basis produksi mobil dan komputer. Jika ada masalah terhadap listrik wilayah tersebut maka rantai pasok global akan terganggu.
Persoalan bermula dari kekeringan dan panasnya cuaca di barat daya China. Kekeringan membuat pembangkit listrik tenaga air berkurang produksinya. Padahal, pembangkit tersebut menjadi sumber utama penopang energi bagi sektor pertanian dan beberapa industri.
Produsen dan sektor pertanian kemudian beralih ke bensin sehingga membuat penggunaan bensin meningkat 15% dalam dua minggu terakhir. Pasokan pun kemudian berkurang.
Menyusul krisis di wilayah tersebut, Presiden Xi Jinping bahkan telah memerintahkan pejabat setempat untuk mengatasi persoalan. Jinping meminta pejabat mengatasi persoalan kekeringan di sejumlah wilayah provinsi sehingga tidak mengganggu pasokan listrik untuk produksi perusahaan.
Selain barat adya China, hub industri seperti Sichuan, Chongqing, Jiangsu, Zhejiang dan Shanghai juga tengah dihadapkan pada kenaikan permintaan listrik karena panasnya cuaca.
"Kita harus menjadi ketahanan energi untuk masyarakat dan juga sektor penting lainnya. Kami akan mengambil sejumlah langkah mengatasi persoalan sulit ini," tutur Wakil Perdana Menteri Han Zheng, dikutip dari Nikkei Asia.
Pada Juli-Agustus tahun lalu, China juga dilanda krisis energi yang ikut melambungkan harga batu bara.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(mae/mae)