Komoditas: Berkah Sekaligus Kutukan Buat Indonesia

Maesaroh, CNBC Indonesia
18 August 2022 13:04
Bongkar Muat Batu bara di Terminal  Tanjung Priok TO 1, Jakarta Utara.
Foto: Bongkar Muat Batu bara di Terminal Tanjung Priok TO 1, Jakarta Utara. (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perut bumi Indonesia diberkahi dengan sumber daya alam yang melimpah. Tanah yang subur juga membuat Indonesia menghasilkan berbagai komoditas yang mendulang keuntungan.

Namun, sumber daya alam Indonesia tidak hanya membawa keuntungan. Sumber daya alam tersebut juga telah menimbulkan sejumlah "petaka" mulai dari mengundang penjajah hingga ketergantungan ekonomi.

Portugal dan Belanda melalui Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC, menjajah bumi Nusantara karena ingin menguasai komoditas perkebunan seperti lada, rempah-rempah, dan pala.

Pada masa tanam paksa (1830-1870), Indonesia juga pernah diperas VOC untuk menghasilkan dan mengekspor sejumlah komoditas mulai dari kopi, gula, teh, dan tembakau.

Setelah merdeka, Indonesia pernah beberapa kali diberkahi booming komoditas. Booming tersebut membuat ekonomi Indonesia terimbas dampak positif mulai lonjakan ekspor hingga pertumbuhan ekonomi.

Dilansir dari BCA Indonesian Economic Outlook 2022: Boom Time, at Last?, berikut tiga periode booming komoditas yang pernah dialami Indonesia:

1. Karet (1950-1952)

Booming karet dipicu oleh Perang Korea yang berlangsung pada 1950-1953. Perang tersebut membuat permintaan akan komoditas seperti karet melambung, terutama dari Amerika Serikat yang terlibat dalam perang.
Namun, Indonesia tidak mampu memanfaatkan booming komoditas tersebut.

Booming bahkan membuat pemerintah Indonesia memiliki ketergantungan yang besar dari perdagangan internasional.

2. Minyak dan gas (1973-1981)

Booming komoditas minyak dan gas dipicu oleh tindakan boikot negara-negara OPEC (Timur Tengah) atas campur tangan Dunia Barat kepada Israel.

Booming komoditas beriringan dengan pesatnya investasi asing yang masuk ke Indonesia. Kedua faktor tersebut mendorong pemerintah Orde Baru membangun infrastruktur secara besar-besaran.

Periode booming komoditas IndonesiaSumber: BCA
Periode booming komoditas Indonesia

 

Boediono dalam bukunya Ekonomi Indonesia dalam Lintas Sejarah menjelaskan komposisi industri migas (pengolahan minyak) pada PDB Indonesia meningkat dari 0,6% pada 1975 menjadi 5% pada 1985.

Namun, Indonesia tidak bisa memanfaatkan secara maksimal windfall penerimaan migas. PT Pertamina (Persero) sebagai penggerak utama sektor migas bahkan terjerat korupsi senilai US$ 10,5 miliar karena salah urus.

Boediono memaparkan nilai ekspor minyak bumi mencapai puncaknya pada 1981-1982 dengan rata-rata tahunan mencapai US$ 14,6 miliar. Angkanya merosot tajam menjadi US$ 7,7 miliar pada 1985.

Pada tahun anggaran 1981/1982 dan 1982/1983, migas menyumbang 67% dari penerimaan dalam negeri pemerintah. Saat penerimaan migas turun drastis maka Indonesia pun terjebak dalam double defisit, yakni defisit Neraca Pembayaran dan defisit neraca perdagangan.

"Semasa boom minyak, uang minyak mengalir masuk dengan sendirinya dan sumber-sumber perpajakan non-migas terabaikan. Indonesia ketinggalan dibanding dengan negara-negara di kawasan dalam mengembangkan sumber-sumber perpajakan," tulis Boediono.

Boediono mengatakan dengan dana minyak yang berlimpah, pemerintah melalui APBN menjadi motor penggerak motor utama ekonomi.

Penerimaan migas yang melimpah membuat Indonesia lengah untuk mengembangkan sumber penerimaan negara dan ini menimbulkan masalah fiskal saat harga minyak turun pada dekade 1980an.

"Situasi itu juga melengahkan kita untuk mendorong ekspor non-migas dan ketimpangan ekspor ini kemudian menimbulkan masalah penyesuaian neraca pembayaran yang tidak kalah rumit sewaktu harga minyak berbalik arah," tutur Boediono.

3. Batu bara/CPO/ mineral

Booming terjadi 2004-2013 dan dipicu oleh melambungnya perekonomian emerging market terutama China, India, dan Brazil. Permintaan akan komoditas seperti batu bara, mineral mentah, hingga minyak sawit mentah (CPO) melonjak tajam seiring kencangnya pertumbuhan di negara tersebut. Ekspor dan penerimaan negara pun melesat.

Bila sebelumnya Indonesia menggantungkan migas, CPO menjadi primadona baru sebagai komoditas andalan ekspor Indonesia. Kontribusinya ke total ekspor bahkan mencapai 15%.

Indonesia adalah produsen terbesar CPO di dunia dengan total produksi mencapai 46,88 juta ton pada 2021.


Booming komoditas membawa perekonomian Indonesia tumbuh 6-6,5% pada periode 2007-2013 setelah hanya berkutat di kisaran 4% pada 2004.

Bank Dunia juga memperkirakan booming CPO mampu mengentaskan kemiskinan hingga 1,3 juta. Namun, booming komoditas membuat Indonesia melupakan hilirisasi terhadap komoditas mentahnya seperti bauksit, nikel, hingga tembaga. Indonesia mulai menggiatkan hilirisasi sejak 2014 setelah booming berakhir.

Penerimaan booming komoditas bahkan habis untuk mendanai subsidi BBM. Pada 2011, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sumber Daya Alam (SDA) menembus Rp 213,8 triliun, jauh di atas targetnya yakni Rp 191,98 triliun.

Namun, penerimaan kemudian terkuras karena subsidi energi membengkak menjadi Rp 255,6 triliun. Realisasi tersebut jauh di atas yang ditetapkan dalam APBN-P sebesar Rp 195,29 triliun.

Pada 2012, peneriman PNBP SDA mencapai Rp 225,8 triliun, di atas target yang ditetapkan sebesar Rp 217,2 triliun. Pada tahun tersebut, subsidi juga bengkak menjadi Rp 306,5 triliun, jauh di atas yang dialokasikan yakni Rp 202,4 triliun.

Dampak booming Indonesia seperti hilang setelah krisis finansial global serta anjloknya harga minyak mentah. Perekonomian Indonesia langsung anjlok ke 4,9% pada 2015. Indonesia juga berjuang melepaskan diri dari jepitan defisit ganda, defisit fiskal dan defisit transaksi berjalan.

Pada tahun ini, booming komoditas kembali terjadi. Pemicunya kali ini adalah perang Rusia-Ukraina. Perang membuat harga komoditas pangan dan energi ke level yang belum pernah tercatat sebelumnya.

Harga CPO, batu bara, minyak mentah, dan nikel mencapai level tertingginya dalam beberapa tahun. Ekspor Indonesia mencatatkan rekor tertinggi dalam sejarah pada April tahun ini dengan nilai US$ 27,33 miliar.

Pemerintah juga menerima tambahan penerimaan sebesar Rp 420 triliun dari booming komoditas. Kenaikan penerimaan tersebut dimanfaatkan untuk menambah subsidi energi. Dengan subsidi tersebut, inflasi dan pertumbuhan ekonomi Indonesia memang menjadi terjaga.

Namun, melandainya harga komoditas kini sudah mulai terasa. Indonesia pun dituntut untuk segera bekerja keras kembali meningkatkan penerimaan tanpa bantuan komoditas lagi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular