
Komoditas: Berkah Sekaligus Kutukan Buat Indonesia

Jakarta, CNBC Indonesia - Perut bumi Indonesia diberkahi dengan sumber daya alam yang melimpah. Tanah yang subur juga membuat Indonesia menghasilkan berbagai komoditas yang mendulang keuntungan.
Namun, sumber daya alam Indonesia tidak hanya membawa keuntungan. Sumber daya alam tersebut juga telah menimbulkan sejumlah "petaka" mulai dari mengundang penjajah hingga ketergantungan ekonomi.
Portugal dan Belanda melalui Vereenigde Oostindische Compagnie/VOC, menjajah bumi Nusantara karena ingin menguasai komoditas perkebunan seperti lada, rempah-rempah, dan pala.
Pada masa tanam paksa (1830-1870), Indonesia juga pernah diperas VOC untuk menghasilkan dan mengekspor sejumlah komoditas mulai dari kopi, gula, teh, dan tembakau.
Setelah merdeka, Indonesia pernah beberapa kali diberkahi booming komoditas. Booming tersebut membuat ekonomi Indonesia terimbas dampak positif mulai lonjakan ekspor hingga pertumbuhan ekonomi.
Dilansir dari BCA Indonesian Economic Outlook 2022: Boom Time, at Last?, berikut tiga periode booming komoditas yang pernah dialami Indonesia:
1. Karet (1950-1952)
Booming karet dipicu oleh Perang Korea yang berlangsung pada 1950-1953. Perang tersebut membuat permintaan akan komoditas seperti karet melambung, terutama dari Amerika Serikat yang terlibat dalam perang.
Namun, Indonesia tidak mampu memanfaatkan booming komoditas tersebut.
Booming bahkan membuat pemerintah Indonesia memiliki ketergantungan yang besar dari perdagangan internasional.
2. Minyak dan gas (1973-1981)
Booming komoditas minyak dan gas dipicu oleh tindakan boikot negara-negara OPEC (Timur Tengah) atas campur tangan Dunia Barat kepada Israel.
Booming komoditas beriringan dengan pesatnya investasi asing yang masuk ke Indonesia. Kedua faktor tersebut mendorong pemerintah Orde Baru membangun infrastruktur secara besar-besaran.
![]() Periode booming komoditas Indonesia |
Boediono dalam bukunya Ekonomi Indonesia dalam Lintas Sejarah menjelaskan komposisi industri migas (pengolahan minyak) pada PDB Indonesia meningkat dari 0,6% pada 1975 menjadi 5% pada 1985.
Namun, Indonesia tidak bisa memanfaatkan secara maksimal windfall penerimaan migas. PT Pertamina (Persero) sebagai penggerak utama sektor migas bahkan terjerat korupsi senilai US$ 10,5 miliar karena salah urus.
Boediono memaparkan nilai ekspor minyak bumi mencapai puncaknya pada 1981-1982 dengan rata-rata tahunan mencapai US$ 14,6 miliar. Angkanya merosot tajam menjadi US$ 7,7 miliar pada 1985.
Pada tahun anggaran 1981/1982 dan 1982/1983, migas menyumbang 67% dari penerimaan dalam negeri pemerintah. Saat penerimaan migas turun drastis maka Indonesia pun terjebak dalam double defisit, yakni defisit Neraca Pembayaran dan defisit neraca perdagangan.
"Semasa boom minyak, uang minyak mengalir masuk dengan sendirinya dan sumber-sumber perpajakan non-migas terabaikan. Indonesia ketinggalan dibanding dengan negara-negara di kawasan dalam mengembangkan sumber-sumber perpajakan," tulis Boediono.
Boediono mengatakan dengan dana minyak yang berlimpah, pemerintah melalui APBN menjadi motor penggerak motor utama ekonomi.
Penerimaan migas yang melimpah membuat Indonesia lengah untuk mengembangkan sumber penerimaan negara dan ini menimbulkan masalah fiskal saat harga minyak turun pada dekade 1980an.
"Situasi itu juga melengahkan kita untuk mendorong ekspor non-migas dan ketimpangan ekspor ini kemudian menimbulkan masalah penyesuaian neraca pembayaran yang tidak kalah rumit sewaktu harga minyak berbalik arah," tutur Boediono.