Kenaikan Suku Bunga AS Bawa 'Berkah' Buat Negara Berkembang?

chd, CNBC Indonesia
28 July 2022 16:25
Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pengetatan kebijakan moneter bank sentral Amerika Serikat (AS) yang masih terjadi hingga bulan ini membuat investor cenderung beralih ke pasar keuangan beberapa negara berkembang di Asia.

Hal ini karena otoritas moneter beberapa negara berkembang di Asia cenderung dapat menjinakkan inflasi tanpa memicu kekacauan yang menyebabkan investor asing lari.

Pasar keuangan yang cenderung stagnan menandakan investor cenderung tak terburu-buru untuk keluar dari pasar keuangan tersebut.

Selain itu, pasar saham di tiga negara di kawasan Asia Tenggara yakni bursa saham Indonesia, bursa saham Malaysia, dan bursa saham Filipina cenderung mengabaikan sentimen dari kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed), di mana ketiganya justru cenderung cerah pada perdagangan Kamis (28/7/2022) hari ini.

Padahal saat The Fed semakin agresif sebelum tahun ini, bursa saham ketiga negara di Asia Tenggara itu terpengaruh cukup besar dan mengalami koreksi yang cukup besar.

Pada penutupan perdagangan hari ini, IHSG terpantau melesat 0,85% ke posisi 6.956,817. Sedangkan bursa saham Malaysia (KLCI) melonjak 1,1% ke 1.486,84. Bahkan, bursa saham Filipina melompat 2,28% menjadi 6.379,26.

Tak hanya pasar sahamnya yang mengabaikan sentimen dari The Fed, mata uang Indonesia (rupiah), Malaysia (ringgit), dan Filipina (peso) juga justru cerah bergairah, seakan tidak mempedulikan sentimen dari The Fed.

Per pukul 15:00 WIB, rupiah menguat 0,53% ke posisi Rp 14.930/US$, sedangkan ringgit Malaysia juga menguat 0,19% ke RM 4,449/US$.

"Menurut kami, pada hari ini, pasar saham dan mata uang negara berkembang, sudah cenderung oversold," kata Masafumi Yamamoto, kepala strategi mata uang di Mizuho Securities di Tokyo, dikutip dari Reuters.

Sebelumnya pada Rabu siang waktu AS atau Kamis dini hari tadi waktu Indonesia, The Fed memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR) sebesar 75 basis poin (bp) menjadi 2,25% hingga 2,5%.

Hal ini sesuai dengan prediksi beberapa pelaku pasar yang memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunganya sebesar 75 bp pada bulan ini.

Sebelumnya, investor di global masih khawatir bahwa upaya berkelanjutan The Fed untuk menurunkan inflasi dapat mendorong ekonomi ke jurang resesi, atau bahkan mungkin sudah berada dalam resesi.

Namun, kekhawatiran itu mereda setelah Ketua The Fed, Jerome Powell mengatakan dia tidak berpikir AS saat ini dalam resesi, menambahkan bahwa "ada terlalu banyak area ekonomi yang memiliki kinerja sangat baik."

Di pasar obligasi pemerintah RI, pada hari ini imbal hasil (yield) surat berharga negara (SBN) untuk tenor 10 tahun memang cenderung melandai, di mana yield SBN tenor 10 tahun tersebut menurun signifikan sebesar 10,2 basis poin (bp) ke posisi 7,313%, dari sebelumnya pada perdagangan kemarin di 7,415%.

Meski yield melandai, tetapi sejatinya mampu bertahan cukup baik.  

Pergerakan pasar keuangan di beberapa negara berkembang di Asia pada hari ini cenderung berlawanan arah dengan yang terjadi di tahun 2013, di mana saat itu, India dan Indonesia termasuk lima negara yang disebut "rapuh", karena sikap agresif The Fed.

Pada tahun 2013, rupiah bahkan ambles 21%, sedangkan yield SBN acuan tenor 10 tahun melonjak 330 basis poin (bp), dan IHSG cenderung flat saat bursa saham global mencetak reli saat itu.

"Apa yang kami terkejut sejauh ini adalah bahwa kali ini pasar keuangan Asia sebenarnya bertahan relatif baik mengingat tekanan yang mereka alami," kata Thu Ha Chow, kepala pendapatan tetap untuk Asia di aset manajer Robeco.

Meski begitu, masih ada risiko yang dapat menghambat cerahnya bursa saham di beberapa negara di Asia Tenggara, di mana salah satunya yakni bank sentral Indonesia (Bank Indonesia/BI) yang cenderung lambat dalam merespons The Fed yang semakin agresif.

Tak hanya China dan Jepang saja yang masih mempertahankan suku bunga acuannya, BI dan bank sentral Thailand (Bank of Thailand/BoT) juga masih mempertahankan suku bunga acuannya.

"Ketika air pasang habis dan Anda masih tidak melakukan hal yang benar serta menaikkan suku bunga, maka semua taruhan dibatalkan," kata Howe Chung Wan, kepala pendapatan tetap Asia di Principal Global Investors di Singapura, dikutip dari Reuters.

Dia memperkirakan bahwa inflasi dapat menembus target BI tahun ini dan memaksa kenaikan suku bunga lebih cepat dari yang diinginkan pembuat kebijakan. Tapi, lanjutnya, jika itu terjadi di pasar yang yakin inflasi global bisa dijinakkan, maka investor akan menemukan kepercayaan diri.

"Di sinilah investor di negara berkembang akan berada, ketika kita terlalu berfokus pada The Fed, ketika kita berpikir inflasi memuncak, ini adalah tempat yang kita inginkan," tambah Wan.

TIM RISET CNBC INDONESIA  

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular