Waspada! 4 Hal Ini Bisa Bikin Bursa Saham RI Ketar-Ketir

Feri Sandria, CNBC Indonesia
27 July 2022 13:40
Karyawan melintas di depam layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (5/7/2022). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Foto: Layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar modal dalam negeri yang sempat melonjak tajam awal tahun ini mulai melambat, diterpa oleh beragam sentimen yang datang dari dalam hingga luar negeri.

Indeks Harga Saham Gabungan secara konsisten mengalami pertumbuhan pesat hingga menyentuh level penutupan tertinggi pada 21 April lalu di posisi 7276,19 atau naik 10,55% dari akhir tahun lalu. Kenaikan tersebut terjadi meski The Fed menyetujui menaikkan suku bunga siklus pertama sebesar 25 bps pada pertengahan Maret.

Akan tetapi pasca libur panjang lebaran, IHSG sempat tertekan dalam sebelum kemudian bangkit dan kembali menyentuh level psikologis di atas 7.000. Akan tetapi inflasi tinggi dan kondisi moneter ketat di ranah global ikut membuat IHSG kehabisan bahan bakar dan kini bergerak cukup volatil.

Hingga penutupan perdagangan kemarin return IHSG memang masih yang tertinggi di kawasan Asia Pasifik yakni tumbuh 4,41%. Sepanjang tahun 2022 hanya bursa RI dan Singapura yang mampu menguat di kawasan Asia Pasifik.

Walaupun mencatatkan kinerja fantastis - setidaknya dibandingkan dengan bursa acuan global lainnya - bukan berarti bursa saham RI tidak memiliki tantangan yang harus di hadapi dalam jangka pendek dan menengah.

Pandangan serupa juga diungkapkan oleh Nicko Yosafat, Analis Ciptadana Sekuritas Asia, yang menyebut empat tantangan bagi pertumbuhan ekonomi, yang pada akhirnya ikut mempengaruhi pergerakan pasar modal.

Pertama, adalah terkait wabah pandemi covid-19 dan cacar monyet. Covid-19 memang sudah mereda signifikan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, terlihat dari penurunan kasus dan serapan anggaran stimulus pandemi yang hanya 27% dari total yang dialokasikan.

Akan tetapi, kelegaan tersebut hanya sesaat karena WHO baru saja mendeklarasikan cacar monyet sebagai darurat kesehatan global baru saat ini dengan 16.000 kasus di 75 negara.

Situasi ini menjadi sangat penting untuk diperhatikan mengingat pasar akan merespons negatif kegagalan menanggulangi penyebaran wabah penyakit.

Kedua, adalah perang Rusia-Ukraina yang tidak kunjung usai dapat memberikan dampak negatif bagi perekonomian Indonesia secara luas. Kondisi kembali memanas setelah Rusia menghantam pelabuhan Ukraina awal pekan ini. Konflik berkelanjutan membuat rantai pasok komoditas seperti pangan dan energi terhambat.

Dampak ke Indonesia akan terasa langsung lewat naiknya harga BBM dan produk olahan gandum, mengingat Rusia dan Ukraina merupakan pemasok utama ke RI. Keduanya jika tidak berhenti dapat memicu inflasi yang saat ini sudah melewati batas target BI ke angka yang lebih tinggi lagi.

Ketiga, adalah proteksionisme pangan yang masih berlanjut baik lewat embargo ekspor maupun pembatasan kuota. Indonesia sendiri sempat memberlakukan larangan ekspor kelapa sarit secara singkat dan membuat sejumlah negara pusing, termasuk India. Kini Indonesia diprediksi ikut terdampak atas keputusan sama yang diambil India untuk melarang ekspor gandum.

Keempat, adalah pengetatan moneter yang mau tidak mau pasti akan diambil oleh Bank Indonesia. Saat ini BI menjadi salah satu bank sentral paling kalem di dunia yang mana belum pernah sekalipun menaikkan suku bunga sejak pandemi dan saat ini masih berada di level terendah dalam 18 bulan beruntun.

Saat ini untuk membatasi likuiditas, BI telah menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) dan melakukan intervensi di pasar obligasi dengan menjual surat berharga negara (SBN) yang pekan lalu mencapai Rp 390 miliar. Hingga akhir pekan lalu, jumlah obligasi yang dimiliki BI mencapai Rp 1.263 triliun, naik drastis dari posisi sebelum pandemi yang hanya Rp 273,2 triliun.

Ketiga alasan yang disebutkan sebelumnya akan mempercepat tekanan inflasi, yang pada akhirnya memaksa BI untuk mengambil langkah untuk mengetatkan kebijakan moneter. Iklim suku bunga tinggi juga berpotensi membatasi pertumbuhan konsumsi yang memiliki dampak signifikan pada ekonomi luas.

Pengetatan belanja konsumer dilakukan masyarakat mulai dari pembatasan anggaran pengeluaran bulanan hingga menghindari paparan atas aset berisiko termasuk saham. hal tersebut menjadi ancaman utama bagi pasar modal domestik ke depan.

Karyawan melintas di depan layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (5/7/2022). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)Foto: Layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)
Karyawan melintas di depan layar digital pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (5/7/2022). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

TIM RISET CNBC INDONESIA


(fsd/hps)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jangan Harap Suku Bunga Rendah Terulang, Kecuali Krisis Besar!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular