
Bukan Suku Bunga, BI Pilih Jual SBN Demi 'Lindungi' Rupiah

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) memperketat likuiditas di pasar keuangan dengan menjual Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Penjualan SBN diharapkan bisa membantu menekan inflasi sekaligus menarik minat investor asing.
BI berencana menjual SBN tenor pendek 0-5 tahun sebesar Rp 70 triliun. Bank sentral RI tersebut juga akan menjual SBN tenor yang lebih panjang ke pasar sekunder.
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual mengatakan langkah BI menjual SBN bisa membantu mengurangi likuiditas dan permintaan kredit sehingga menekan inflasi.
Dengan adanya tambahan SBN di pasar sekunder dari BI maka perbankan atau lembaga pembiayaan non-perbankan bisa membeli SBN tersebut.
Likuiditas perbankan yang semula disediakan untuk penyaluran kredit bisa berkurang karena bank lebih memilih membeli SBN yang berisiko lebih kecil. Kondisi tersebut bisa mengurangi jumlah uang beredar sehingga inflasi diharapkan bisa melandai.
"Dana yang semula buat kredit bisa dibelikan SBN sehingga likuiditas dan peredaran uang lebih ketat," tutur David, kepada CNBC Indonesia.
Dia menambahkan penjualan SBN adalah langkah lanjutan BI dalam kebijakan moneter ketatnya. Sebelumnya, BI juga telah meningkatkan giro wajib minimum (GWM) sebagai bagian dari pengetatan likuiditas.
Kewajiban GWM rupiah untuk bank umum konvensional, yang sebelumnya sebesar 5% naik menjadi 6% mulai 1 Juni 2022, dan naik bertahap menjadi 7,5% mulai 1 Juli 2022, dan 9% mulai 1 September 2022.
David menjelaskan langkah lanjutan dari pengetatan kebijakan moneter setelah GWM dan penjualan SBN sekunder bisa jadi adalah kenaikan suku bunga acuan.
Dia menambahkan langkah BI untuk menjual SBN juga diharapkan semakin menarik investor asing. Pasalnya, yield SBN akan meningkat sehingga keuntungan yang diperoleh lebih besar.
Seperti diketahui, pasar SBN masih mencatatkan outflow besar pada tahun ini karena derasnya aliran modal asing yang keluar. BI mencatat hingga 21 Juli 2022, capital outflow pada pasar SBN menembus Rp 138 triliun.
"Kalau bisa asing yang belum tapi kenyataannya asing malah jual terus bukan beli," imbuh David.
Besarnya proporsi kepemilikan BI di SBN membuat yield yang ada sekarang belum mencerminkan kondisi sebenarnya sehingga kurang menarik bagi asing.
Menurut data Kementerian Keuangan per 20 Juli 2022, kepemilikan BI dalam SBN mencapai 25,94% sementara asing hanya 14,45%. Kondisi ini berbanding terbalik dengan periode pra-pandemi di mana BI hanya memiliki 9,93% SBN pemerintah sementara asing sebesar 38,57%.
Kepemilikan BI melonjak tajam karena ada kebijakan burden sharing. Kebijakan tersebut mengharuskan BI membeli SBN pemerintah dalam jumlah tertentu untuk digunakan sebagai pembiayaan pemerintah dalam memitigasi dampak pandemi Covid-19.