Biasanya Beli, Kini BI Kok Jualan SBN Saat Rupiah Keok?

Cantika Adinda Putri & MAIKEL JEFRIANDO, CNBC Indonesia
25 July 2022 10:24
Gedung BI
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) melakukan hal tak biasa ketika situasi perekonomian penuh ketidakpastian, terutama ketika rupiah alami pelemahan terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Adalah penjualan surat berharga negara (SBN)

"Penjualan SBN dilakukan dalam rangka pengelolaan operasi moneter tapi juga mendorong yield SBN di pasar sekunder itu bergerak naik," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers pekan lalu.

Diketahui dalam dua tahun terakhir, BI cukup gencar melakukan pembelian SBN. Terutama saat dilepas oleh investor ketika pasar keuangan guncang akibat pandemi covid-19 pada 2020 silam. Hal ini mendorong berlimpahnya likuiditas di pasar.

Untuk APBN 2020 SBN yang diserap berjumlah Rp473,42 triliun. Terdiri dari pembelian SBN dari pasar perdana (SKB I) sebesar Rp75,86 triliun dan pembelian SBN secara langsung dalam rangka burden sharing (SKB II) sebesar Rp397,56 triliun. Selain itu, Bank Indonesia juga membeli SBN dari pasar sekunder sebesar Rp166,20 triliun dalam rangka stabilisasi nilai tukar Rupiah dan pasar SBN.

Pada APBN 2021 berjumlah mencapai Rp358,32 triliun, terdiri dari Rp67,87 triliun melalui lelang utama, Rp75,46 triliun melalui lelang tambahan (GSO), serta 215 triliun melalui private placement. Selain itu, Bank Indonesia juga membeli SBN dari pasar sekunder sebesar Rp8,62 triliun dalam rangka stabilisasi nilai tukar Rupiah dan pasar SBN.

Pembelian SBN di pasar perdana untuk APBN 2022 (per 28 Juni 2022) mencapai Rp32,78 triliun, terdiri dari Rp13,81 triliun melalui lelang utama, Rp6,96 triliun melalui lelang tambahan (GSO), serta Rp12,01 triliun melalui private placement. Bank Indonesia juga berkomitmen untuk pembelian SBN berdasarkan SKB III sebesar Rp224 triliun untuk pembiayaan kesehatan dan kemanusiaan dalam APBN 2022.

Likuiditas yang melimpah itu kini dianggap sudah berlebihan. Sehingga BI mulai melakukan normalisasi mengarah ke pengetatan kebijakan moneter dengan melakukan penjualan SBN untuk menarik likuiditas.

Sebenarnya upaya pengetatan sudah dimulai dari kebijakan lain. Salah satunya kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM). Sejak 1 Maret sampai 15 Juli 2022 menyerap likuiditas perbankan sekitar Rp219 triliun. Kenaikan GWM secara bertahap hingga September 2022.

"Normalisasi moneter telah dilakukan dalam beberapa bulan terakhir, termasuk mell kenaikan GWM, dan akan dipercepat memerhatikan pentingnya mitigasi risiko nilai tukar dan inflasi di tengah ketidakpastian yang masih tinggi serta perlunya memberikan sinyal yang lebih kuat," jelas Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo kepada CNBC Indonesia.

Mengenai jumlah penjualan, BI akan melihat kondisi pasar. "Jumlah penjualan dalam implementasinya akan selalu memerhatikan dinamika pasar dan pertimbangan-pertimbangan dari sisi kebijakan," terangnya.

David Sumual, Ekonom PT Bank BCA Tbk kepada CNBC Indonesia menuturkan bahwa langkah BI sebenarnya tidak jauh berbeda dari Amerika Serikat (AS). Hanya AS ambil langkah lebih cepat karena lonjakan inflasi yang amat mengkhawatirkan.

Risiko yang perlu diperhatikan BI ketika penjualan SBN adalah pihak pembelinya. David meragukan asing akan tertarik sehingga mendorong terjadinya inflow. "Kalau dilihat kan pengennya asing, cuma sekarang kenyataannya inflow terus," imbuhnya.

Sedangkan apabila pembelinya adalah investor dalam negeri khususnya perbankan, mungkin situasinya akan berdampak terhadap penyaluran kredit.

Irman Faiz, Analis Makroekonomi Bank Danamon meragukan kebijakan tersebut akan berpengaruh terhadap stabilitas nilai tukar rupiah. Meskipun ada kemungkinan yield SBN bisa dikerek naik. Dolar AS kini bergerak di sekitar level Rp 15.000.

"Saya rasa untuk dampaknya terhadap rupiah akan relatif tidak sustainable karena memang sekarang asing sulit masuk ke domestik karena banyak faktor. Tidak hanya yield spread tetapi juga pengetatan likuiditas global dan juga ketidakpastian dari resesi global," papar Irman kepada CNBC Indonesia.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Investor Berbondong-bondong Beli Surat Utang RI, Ini Penyebabnya!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular