RI Butuh Suku Bunga Rendah Buat Bangkit dari 'Kubur'

Maesaroh, CNBC Indonesia
21 July 2022 16:45
Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan Bulan Juli 2022 dg Cakupan Triwulanan (Tangkapan layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan Bulan Juli 2022 dg Cakupan Triwulanan (Tangkapan layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 20-21 Juli 2022 memutuskan untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,5%. Keputusan tersebut diambil demi memulihkan perekonomian yang 'terkubur' alias kontraksi selama empat kuartal pada kuartal II-2020 hingga kuartal I-2021 karena pandemi covid.

Dalam RDG bulan ini, BI juga mempertahankan suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%.

Suku bunga acuan sebesar 3,5% sudah bertahan sejak Februari 2021 atau sudah bertahan selama 18 bulan terakhir. Level 3,5% adalah suku bunga acuan terendah dalam sejarah Indonesia.



Ketegasan BI untuk mempertahankan suku bunga demi menjaga momentum pertumbuhan ini mematahkan proyeksi banyak pelaku pasar.
Polling CNBC dari 14 lembaga/institusi menunjukkan tujuh lembaga memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga sementara tujuh lain memperkirakan bank sentral RI akan mempertahankan BI-7DRR.

Gubernur BI Perry Warjiyo memperkirakan ekonomi domestik akan tumbuh di bias bawah kisaran BI yang ada di kisaran 4,5-5,3%.

Perlambatan tersebut sejalan dengan melandainya perekonomian global yang diperkirakan hanya akan tumbuh 2,9% pada tahun ini. Angka tersebut lebih rendah dibandingkan proyeksi BI sebelumnya yakni 3,5%.

Perlambatan global, utamanya akan berdampak besar terhadap kinerja ekspor Indonesia. Padahal, ekspor merupakan salah satu motor penggerak utama pertumbuhan Indonesia dalam dua tahun terakhir.

Perry menambahkan pertumbuhan domestik juga tengah terancam dengan laju inflasi yang sangat kencang. Inflasi Indonesia menembus 0,61% (month on month/MoM) pada Juni, melesat dibandingkan yang tercatat pada Mei yakni 0,40%.

Secara tahunan (year on year/yoy), inflasi pada Juni juga menembus 4,35%. Catatan tersebut adalah yang tertinggi sejak Juni 2017 atau dalam lima tahun terakhir di mana pada saat itu inflasi tercatat 4,37%.

"Keputusan suku bunga BI-7DRR didasarkan assessment dengan mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, perkiraan inflasi ke depan khususnya inflasi inti dan implikasinya pada pertumbuhan ekonomi," tutur Perry, dalam konferensi pers, Kamis (21/7/2022).

Ekonomi Indonesia tumbuh 5,01 % (yoy) pada kuartal I-2022, lebih rendah dibandingkan pada kuartal IV-2022 yang tercatat 5,02%. Perry mengingatkan pertumbuhan ekonomi domestik saat ini ditopang oleh ekspor, konsumsi rumah tangga, dan investasi.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan konsumsi rumah tangga berkontribusi terhadap 56% Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Laju konsumsi tentu saja dipengaruhi oleh suku bunga acuan BI. Jika suku bunga acuan naik maka konsumsi bisa melambat. Jika suku bunga naik, gerak pertumbuhan investasi juga bisa melandai karena suku bunga pinjaman akan lebih mahal.

"Risiko perlambatan itu mempengaruhi kenapa masih mempertahankan BI rate," ujar Perry.

Inflasi inti Indonesia menembus 2,63 % (yoy) pada Juni lalu. Level tersebut adalah yang tertinggi sejak Mei 2020 (2,69%).
Perry menjelaskan inflasi inti masih terjaga meskipun ke depannya inflasi umum akan melejit.

BI memperkirakan inflasi Indonesia akan menyentuh 4,5-4,6% pada tahun ini, lebih tinggi dibandingkan proyeksi sebelumnya yakni 4,2%.
Namun, inflasi lebih dipengaruhi oleh lonjakan harga pada kelompok volatile dan harga diatur pemerintah seperti kenaikan harga BBM non-subsidi.

Perry menegaskan BI hanya akan berpegang pada laju inflasi inti dalam menentukan suku bunga. Pasalnya, inflasi inti lebih mencerminkan keseimbangan permintaan dan penawaran di dalam ekonomi nasional.

"Inflasi inti 2,63% menunjukkan meskipun permintaan di dalam negeri meningkat, tapi diiringi produkitivitas yang meningkat. Ini kenapa inflasi inti masih terkelola," tutur Perry.

Dia menambahkan tekanan inflasi ke depan bersumber dari penawaran, dari harga pangan dan energi non-subsidi. Inflasi yang bersumber dari permintaan atau inti masih terkendali.

"Inflasi inti masih di batas sasaran 2-4% dalam arti belum melebihi 4%," ujarnya.

Perry mengakui ada tekanan terhadap rupiah. Namun, tekanan tersebut tidak hanya dialami mata uang Garuda tetapi mata uang negara lain. Depresiasi rupiah (4,9%) masih lebih kecil dibandingkan ringgit Malaysia (6,4%), bhat Thailand (8,88%), atau rupee India (7,07%).

Dia menambahkan kinerja positif transaksi berjalan juga diyakini akan menopang stabilitas rupiah ke depan. Transaksi berjalan diperkirakan akan bergerak di kisaran surplus 0,3% hingga defisit 0,5% dari PDB pada tahun ini.

Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan inflasi inti dan umum akan meningkat ke depan. Kondisi tersebut mempersempit ruang BI untuk mempertahankan suku bunga acuan.

"Kami memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuan hingga 75 bps menjadi maksimum 4,25% pada semester II-2022," tutur Faisal, dalam Macro Brief.

Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana mengatakan BI kemungkinan akan menimbang dampak dari kebijakan bank sentral Amerika Serikat (AS) kepada pasar domestik terlebih dahulu sebelum menentukan kebijakan suku bunga. Sebagai catatan, The Fed akan menggelar FOMC (Federal Open Meeting Committee) pekan depan.

"Kami memperkirakan BI akan mengawasi pergerakan inflasi inti serta reaksi pasar terhadap keputusan FOMC" tutur Wisnu, kepada CNBC Indonesia.

Wisnu menambahkan jika inflasi inti melonjak ke atas 3% atau rupiah terdepresiasi cukup setelah rapat FOMC dalam maka besar kemungkinan BI akan menaikkan suku bunga bulan depan.

"Namun, hingga BI belum memberi tanda-tanda kenaikan," imbuhnya.

Ekonom DBS Radhika Rao mengatakan keputusan BI mempertahankan suku bunga bulan ini menunjukkan inflasi belum menjadi game changer bagi penentuan suku bunga.

Dia memperkirakan BI baru akan mengubah kebijakan jika inflasi inti menembus 3% lebih.
"Inflasi inti diperkirakan menembus 3% lebih pada akhir kuartal III-2022. Mungkin saat itulah BI baru akan mempertimbangkan kenaikan," tuturnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular