Jakarta, CNBC Indonesia - Skandal korupsi kembali menerpa salah satu perusahaan terbuka yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kali ini kasus korupsi terjadi di emiten baja pelat merah Krakatau Steel (KRAS) turut dan menyeret nama para mantan direksinya, termasuk mantan direktur utama perusahaan, Fazwar Bujang (FB).
Meski kasus korupsi relatif jarang, bila dibandingkan dengan lingkup pemerintahan, perusahaan terbuka yang telah menerapkan tata kelola yang baik juga tidak kebal atas tindak pidana yang merugikan banyak pihak tersebut. Upaya korupsi yang dilakukan sebagian orang untuk memperkaya diri sempat terjadi di sejumlah emiten Tanah Air mulai dari maskapai penerbangan hingga perusahaan konstruksi.
Berikut adalah sejumlah emiten yang petingginya sempat berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta kasus mega korupsi yang menyeret sejumlah nama besar baik itu individu maupun korporasi.
Emiten Karya
Eks Direktur Operasi Waskita Karya (WSKT) Adi Wibowo didakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp27 miliar terkait pengadaan dan pembangunan kampus IPDN Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Mengutip CNN Indonesia, Dakwaan telah dibacakan jaksa KPK pada awal bulan lalu, Senin (6/6) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Adi disebut mengatur proses pelelangan untuk memenangkan PT Waskita Karya dan mengalihkan sebagian pekerjaan ke pihak lain (perusahaan subkontraktor) tanpa izin tertulis dari PPK. Ia juga mengajukan pencairan pembayaran 100% atas pelaksanaan pekerjaan yang tidak sesuai dengan kondisi kemajuan pekerjaan sebenarnya dalam pengadaan pembangunan Gedung Kampus IPDN Kabupaten Gowa.
Kasus ini telah lama bergulir, bahkan Adi Wibowo telah dipecat dari jabatannya sebagai anggota direksi perusahaan sejak tahun 2018 yang disetujui oleh pemegang saham.
Tidak hanya Adi, kasus ini juga ikut menyeret sejumlah nama petinggi lain di lingkaran emiten karya. Awal tahun ini KPK memanggil Direktur Utama (Dirut) WSKT, Destiawan Soewardjono; Dirut Adhi Karya (ADHI), Entus Asnawi Mukhson; dan Dirut PT Hutama Karya, Budi Harto sebagai saksi. Selain itu KPK juga memanggil direktur keuangan tiga perusahaan tersebut.
Sebelumnya, pada tahun 2013 lalu salah satu petinggi emiten karya juga terjerat kasus korupsi di proyek Hambalang yakni Mantan Direktur Operasional ADHI, Teuku Bagus Muhammad Noor, yang mengakui perusahaannya mengeluarkan uang miliaran rupiah untuk memuluskan pemenangan proyek tersebut.
Kemudian ada juga dugaan kasus korupsi yang menimpa Wijaya Karya (WIKA) dalam Pembangunan Jembatan Waterfront City Tahun Anggaran 2015-2016 di Kabupaten Kampar, Riau. Meski demikian kasus ini tidak menyeret nama eksekutif pimpinan tertinggi perusahaan.
Dugaan korupsi di tubuh emiten penerbangan nasional ini sudah sejak lama berhembus. Hal itu semakin diperkuat oleh hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait pengadaan pesawat Garuda tahun 2011-2021 yang disampaikan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Jaksa Agung ST Burhanuddin menyebut, tindak pidana korupsi yang merugikan negara senilai Rp 8,8 triliun tersebut menyeret dua orang tersangka baru yang terlibat, yaitu Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk tahun 2005-2014 Emirsyah Satar (ES) dan mantan Direktur Utama PT Mugi Rekso Abadi (MRA) Soetikno Soedarjo (SS). Sehingga, secara total sudah ada lima tersangka yang menjadi tikus berdasi di maskapai BUMN tersebut.
Seperti dikutip dari siaran pers Kejagung, ada tiga berkas perkara masing-masing atas nama tersangka AW (Agus Wahjudo selaku Executive Project Manager Aircraft Delivery 2009-2014, Anggota Tim Pengadaan Pesawat CRJ-1000, dan Anggota Tim Pengadaan Pesawat ATR 72-600), tersangka SA (Setijo Awibowo selaku Vice President Strategic Management Office 2011-2012, Anggota Tim Pengadaan Pesawat CRJ-1000, dan Anggota Tim Pengadaan Pesawat ATR 72-600), dan tersangka AB (Albert Burhan selaku VP Treasure Management 2005-2012).
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Ketut Sumedana mengatakan, pelaksanaan tahap II tersebut terkait dugaan tindak pidana korupsi pengadaan 18 unit pesawat Sub 100 seater tipe jet kapasitas 90 seat jenis Bombardier CRJ-100 pada tahun 2011.
Di mana diketahui dalam rangkaian proses pengadaan pesawat CRJ-1000 tersebut baik tahap perencanaan maupun tahap evaluasi tidak sesuai dengan Prosedur Pengelolaan Armada (PPA) GIAA.
Menurut Ketut, ES selaku Direktur Utama, H selaku Direktur Teknik, tersangka AW, tersangka AB dan tersangka SA bersama tim perseroan/tim pengadaan melakukan evaluasi dan menetapkan pemenang Bombardier CRJ-1000 secara tidak transparan, tidak konsisten dalam penetapan kriteria, dan tidak akuntabel dalam penetapan pemenang.
Akibat proses pengadaan pesawat CRJ-1000 dan pengambilalihan pesawat ATR72-600 yang dilakukan tidak sesuai dengan PPA, prinsip-prinsip pengadaan BUMN dan prinsip business judgment rule, mengakibatkan performance pesawat selalu mengalami kerugian saat dioperasikan, sehingga menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar US$ 609.814.504 atau nilai ekuivalen Rp 8.819.747.171.352.
Meskipun Emirsyah dan Soetikno ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung, namun tidak dilakukan penahanan karena para tersangka sedang menjalani masa tahanan terkait kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kasus dugaan korupsi PT Asabri telah menyeret sejumlah nama besar di pasar modal. Skandal korupsi tersebut diduga telah merugikan negara hingga Rp 23 triliun.
Jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan kasus perusahaan asuransi jiwa BUMN lainnya yakni PT Asuransi Jiwasraya (Persero) periode 2013-2018 dengan kerugian negara, juga berdasarkan hitungan BPK, mencapai Rp 16,8 triliun.
Besaran hitungan BPK ini beda tipis dengan proyeksi awal Kejaksaan Agung (Kejagung) atas kasus Jiwasraya yakni Rp 17 triliun. Dari jumlah Rp 16,8 triliun itu, terdiri dari kerugian investasi di saham Rp 4,65 triliun dan reksa dana Rp 12,16 triliun.
Meskipun merupakan dua kasus yang berbeda, temuan pihak berwenang menyebut bahwa sejumlah nama terseret dalam dua mega skandal tersebut. Misalnya, Benny Tjokrosaputroatau Bentjok, Direktur Utama PT Hanson International Tbk (MYRX), dan Heru Hidayat, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM). Keduanya juga ditetapkan sebagai tersangka di kasus korupsi Asabri.
Permasalahan Jiwasraya (JS) dimulai dari manipulasi laporan keuangan. Proses rekayasa laporan keuangan JS telah dilakukan lebih dari satu dekade lalu, pada 2006 laporan keuangan menunjukkan nilai ekuitas Jiwasraya negatif Rp 3,29 triliun karena aset yang dimiliki jauh lebih kecil dibandingkan dengan kewajiban. Oleh karenanya, BPK memberikan opini disclaimer untuk laporan keuangan 2006 dan 2007 karena penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini kebenarannya.
Pada 2015, OJK melakukan pemeriksaan langsung terhadap JS dengan aspek pemeriksaan investasi dan pertanggungan. Audit BPK di 2015 menunjukkan terdapat dugaan penyalahgunaan wewenang JS dan laporan aset investasi keuangan yang overstated dan kewajiban yang understated.
Pada Mei 2018 terjadi pergantian direksi. Setelah itu, direksi baru melaporkan terdapat kejanggalan laporan keuangan kepada Kementerian BUMN. Hasil audit KAP atas laporan keuangan JS 2017 antara lain mengoreksi laporan keuangan interim yang semula mencatatkan laba Rp 2,4 triliun menjadi Rp 428 miliar.
Sementara kasus korupsi Asabri terjadi di perusahaan pengelola dana pensiun TNI dan Polri terkait manipulasi investasi dengan melibatkan pihak-pihak yang bukan merupakan manajer investasi dan tidak menggunakan analisis dalam penempatan dananya.
Mirip dengan yang terjadi di Jiwasraya, pada skandal korupsi Asabri, Bentjok, Heru dan komplotannya juga menempatkan dana ke saham-saham gorengan, ini dilakukan dengan harga yang telah dimanipulasi sehingga bernilai tinggi. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa kinerja portofolio investasi Asabri terlihat baik. Sejumlah saham perusahaan publik yang masuk dalam pusaran manipulasi pasar ini termasuk Sugih Energy (SUGI), IPO saham Bumi Citra Permai (BCIP) dan Sekawan Intipratama (SIAP).
Kemudian saham-saham non-likuid itu sendiri dimanipulasi sedemikian rupa agar terlihat ramai berpindah tangan dengan cara melakukan transaksi semu yakni saham dijual dan dibeli oleh pihak yang sama dengan nominee (nama alias) yang berbeda agar tidak terdeteksi oleh regulator.
Korupsi dengan skala besar ini membuat banyak pihak berang, hingga JPU menuntut hukuman mati atas keterlibatan salah satu tersangka di kasus Asabri yakni Heru Hidayat. Meskipun tuntutan tersebut ditolak hakim, ini merupakan kali pertama tersangka kasus yang terkait dengan transaksi dan manipulasi di pasar modal dituntut hukuman mati.
Sejumlah nama lain yang ikut terjerat dalam kasus Asabri termasuk Edwin Soeryadjaya yang merupakan putra sulung perintis Grup Astra dan eks Komisaris Utama PT Sinergi Millenium Sekuritas Betty. Selain itu kasus ini juga menyeret 10 Manajer Investasi (MI) atas keterlibatannya dalam transaksi dan pengelolaan dana.
TIM RISET CNBC INDONESIA