
Dampak Krisis Nyata, Mulai Hampiri Fintech, Ini Buktinya!

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi global yang kian ganas memaksa sejumlah bank sentral dunia menaikkan suku bunga acuan ke level yang lebih tinggi. Dalam upaya tersebut bank sentral lewat kebijakan moneternya merekayasa sedemikian rupa agar peredaran uang di masyarakat menjadi lebih sedikit.
Uang beredar yang lebih sedikit mendorong turunnya permintaan hingga inflasi dapat terjaga. Di sisi lain, turunnya permintaan berarti pengeluaran konsumsi akan turun yang pada akhirnya menjadi ancaman terjadinya resesi yang ditandai dengan kontraksi dalam dua kuartal beruntun.
Salah satu yang menjadi perhatian utama adalah penyedia layanan teknologi finansial (fintech) yang mengalami pertumbuhan luar biasa dalam beberapa tahun terakhir. Laporan State of Venture 2021 yang diterbitkan CB Insights menyebut pendanaan fintech memecahkan beberapa rekor tahun lalu, dengan US$ 132 miliar terkumpul atau meningkat 169% dari tahun 2020. Fintech juga merupakan salah satu sub sektor yang paling 'basah' dan memperoleh US$ 1 untuk setiap US$ 5 dana yang dikeluarkan oleh perusahaan modal ventura.
Saat ini, kondisi moneter yang kian ketat mulai menghantam pendanaan di fintech. Segmen utama yang kinerjanya sangat tertekan adalah aset kripto yang telah kehilangan US$ 2 triliun dalam kapitalisasi pasar. Perusahaan peminjam aset yang menawarkan terobosan decentralized finance (DeFi) juga sedang kesusahan dalam menjalani operasi bisnis. Sejumlah perusahaan kripto kini menghadapi badai PHK masal dan berada di ambang kebangkrutan.
Kinerja perusahaan fintech yang lebih konvensional dibandingkan dengan kripto sedikit lebih baik, meskipun sama-sama sedang mengalami masa sulit.Terbaru, raksasa pembayaran Stripe yang terakhir dihargai oleh investor swasta sebesar US$ 95 miliar atau setara dengan 1.425 triliun (asumsi kurs Rp 15.000/US$), memotong nilai internal sahamnya sebesar 28%, berdasarkan laporan dari The Wall Street Journal.
Stripe mengatakan kepada karyawan melalui email pada hari Jumat bahwa harga saham internal perusahaan turun menjadi sekitar US$ 29, dibandingkan dengan US$ 40 pada valuasi 409A sebelumnya. Langkah tersebut menurunkan penilaian dari saham tersebut menjadi US$ 74 miliar.
Valuasi 409A adalah penilaian independen dari nilai pasar wajar (fair market value/FMV) dari saham biasa perusahaan swasta yang biasanya digunakan untuk menentukan harga opsi pembelian saham kepada karyawan.
Aksi jual pasar yang berkepanjangan, di mana saham teknologi besar mengalami pelemahan terbesar dalam lebih dari satu dekade, telah memperlambat laju penggalangan dana swasta dan mendorong perusahaan rintisan untuk memangkas biaya dan serta merampingkan perusahaan. Kondisi ini sangat kontras dari lingkungan penggalangan dana tahun lalu, ketika pasar yang kuat membantu Stripe pada satu titik menjadi startup paling berharga di AS.
Lingkungan yang lebih keras sudah merugikan beberapa startup fintech terkenal lain. Awal tahun ini, perusahaan pembayaran Swedia Klarna Bank AB, yang menawarkan layanan beli sekarang, bayar nanti (buy now pay later/BNPL) melakukan penggalangan dana baru dengan penilaian US$ 6,7 miliar, turun 85% dari penilaian US$ 45,6 miliar yang diperolehnya pada Juni 2021.
Selanjutnya ada juga fintech asal Inggris SumUp yang telah mencapai penilaian 8 miliar euro dalam putaran pendanaan terbarunya baru-baru ini, mengumpulkan 590 juta euro dalam kesepakatan yang dibagi antara utang dan ekuitas.
Realisasi valuasi ini jauh lebih kecil daripada yang diharapkan, dengan Bloomberg melaporkan pada bulan Januari bahwa SumUp sedang mempertimbangkan untuk meningkatkan putaran pendanaan baru dan mencari penilaian sekitar 20 miliar euro.